JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Untuk menyukseskan pelaksanaan  tax amnesty Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membentuk gugus tugas (task force). Pembentukan satgas ini  untuk mempertegas alur koordinasi dan proses penyampaian data antar instansi terkait program tax amnesty.

Keputusan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Gugus Tugas (Task Force) dalam rangka Implementasi Kebijakan Pengampunan Pajak tertanggal 4 Oktober 2016. Satgas ini terdiri atas empat tim. Antara lain tim pengarah, tim bidang teknis dan administrasi pelaksanaan pengampunan pajak, tim bidang repatriasi dana yang berada di dalam negeri dan investasi, serta tim bidang hukum.

Namun langkah presiden ini dinilai sejumlah pihak sebagai sikap kepanikan pemerintah terkait penerimaan negara yang belum mencapai target yang diharapkan. "Kalau dilihat pembentukan satgas tidak hanya karena pemerintah ingin serius mengejar target penerimaan tax amnesty. Tetapi saya kira karena adanya defisit APBN yang melebar," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Thohir kepada gresnews.com, Sabtu (15/10).
 
Politisi PAN ini menambahkan,  meskipun penerimaan yang didapat dari tax amnesty sangat signifikan, namun dipastikan tidak akan bisa menutupi penerimaan negara yang masih di bawah target yang diinginkan.

"Sebab defisit pendapatan pajak dan tax amnesty belum dapat mengejar penerimaan, jika dengan asumsi tax amnesty masuk adalah Rp165 triliun, maka defisit pemasukan mencapai sekitar  2,51 persen," ujarnya.
 
Untuk itu ia mengingatkan, untuk  memperhatikan bagaimana jika tax amnesty tidak memenuhi target RP 165 triliun. Maka akan berdampak serius pada penerimaan negara. Sebab defisit akan semakin besar. "Itu pun kalau setoran pajak non pengampunan pajak berjalan sesuai rencana," ujarnya.

BERBURU UTANG LUAR NEGERI - Sementara secara terpisah, Ketua Asosiasi Ekonomi Politik (AEPI)  Salamuddin Daeng mengatakan, di saat pemerintah genjar-genjarnya memburu uang para pengemplang pajak atau uang haram dari tax amnesty, di saat yang sama kebohongan besar muncul. Pemerintah juga tengah berburu utang luar negeri untuk menutupi defisit APBN  tahun 2016.

Staff Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno ini  menjelaskan, berdasar data publikasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) defisit ditetapkan 2,7 persen GDP (batas maksimum 3 persen GDP) atau sekitar Rp296,7 triliun, dengan demikian pihak pemerintah dapat meminjam atau berutang sebesar defisit  yang ditetapkan dalam APBN tersebut.

Namun demikian ia mengatakan, terbukti sejak Januari 2016 hingga Juni 2016 pemerintah Jokowi telah mencetak utang luar negeri sebesar US$16, 089 miliar atau Rp217,2 triliun. Demikian juga dari januari hingga September 2016 pemerintah Jokowi telah mencetak Surat Utang  Negara ( SUN) sebesar Rp186 triliun. Padahal baru sampai kuartal III dan belum sampai akhir tahun.

Dengan demikian, sampai saat ini pemerintah Jokowi sudah menambah utang pemerintah sebesar Rp403 202 triliun. Dimana berarti jumlah tersebut telah melebihi target defisit yang ditetapkan dalam APBN 2016.

Atas dasar itu, menurut Salamuddin pemerintah sudah melanggar UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 yang menetapkan 3 persen PDB (pemerintah hanya diperbolehkan  menambah utang Rp328,8 triliun). "Sehingga dengan alasan itu,  pemerintahan Jokowi- JK bisa saja diturunkan," ujarnya.

PRESIDEN TAK INGIN DIANGGAP GAGAL - Namun peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Mohammad Reza justru melihat pembentukan task force tax amnesty merupakan fasilitas ekslusif bagi para WP yang selama ini tidak taat membayar pajak. Bahkan di task force itu sendiri ada tim hukum yang siap untuk "mengamankan celah hukum" dari implementasi tax amnesty.

"Intinya Presiden tidak mau program TA ini dianggap gagal dan semaksimal mungkin mencapai target tebusan Rp165 triliun atau bahkan lebih. Tentu hal ini akan jadi prestasi politik tersendiri," kata Reza kepada gresnews.com, Sabtu (15/10).

Dia menilai tujuan TA yang utama adalah repatriasi,  sedang dalam perkembangannya masih minim dibandingkan deklarasi dalam negeri.

Menurutnya, untuk realisasi defisit hingga September 2016 sudah 75 persen. Sedangkan pendapatan negara realisasinya mencapai 60 persen dari target,  tertolong oleh PNBP (75 persen). Sementara itu,  penerimaan pajak baru 58 persen. Jika belanja dan transfer daerah terus digenjot,  kemungkinan pendapatan negara khususnya pajak  hingga akhir tahun realisasinya bisa sekitar 80-85 persen. Sehingga defisit anggaran masih tetap lebar.

"Strategi front loading pemerintah saya kira dapat menekan belanja,  tapi berpengaruh pada pertumbuhan yang lebih lambat," ujarnya.

Kendati demikian pemerintah menyatakan masih optimisi penerimaan negara akan mencapai target,  hingga akhir tahun. Apalagi ada program tax amnesty yang diperkirakan dapat menjawab semua keraguan itu.

Menteri Keuangan (Kemenkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penerimaan dari program tax amnesty akan masuk dalam penerimaan pajak. Bahkan masih ada waktu tiga bulan untuk  mencapai target yang telah ditentukan pada tahun  2016. Dimana target penerimaan perpajakan sebesar Rp1.546,7 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp273,8 triliun.

Untuk diketahui, penerimaan negara bidang pajak hingga 25 September 2016 lalu, mencapai 55 persen dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan ( APBN-P) 2016 yakni, sebesar Rp726 triliun. Angka tersebut naik 13,7 persen dibandingkan tanggal 25 September 2015  sebesar Rp 660 triliun.

BACA JUGA: