JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masyarakat sempat dikejutkan dengan kebijakan kontroversial akibat kebijakan kantong plastik berbayar tidak gratis jika berbelanja di pasar-pasar modern sejak tanggal 21 Februari 2016, bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional. Ketentuan mengenai kantong plastik berbayar ini diatur dalam Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) cq Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3: S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar menimbulkan pro kontra hingga digugat ke Mahkamah Agung.

Ketua Yayasan Peduli Bumi Indonesia Ananda Mustajab Latif mengatakan dalam surat edaran tersebut ditetapkan minimal harga satu kantong plastik adalah Rp200. Namun kebijakan ini tak diwajibkan untuk pasar tradisional yang masih menguasai kurang-lebih 70 persen transaksi perdagangan retail. Demikian juga dengan warung-warung, PKL, kantin-kantin, dan toko-toko serta gerobak rombong rokok yang jumlah pun tidak sedikit terutama di kota-kota besar.

Dia menjelaskan, beberapa ketentuan dalam SE 1230/2016 ini antara lain bahwa pengusaha ritel tidak lagi menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma kepada konsumen. "Apabila konsumen masih membutuhkan kantong plastik maka konsumen diwajibkan membeli kantong plastik dari gerai ritel," kata Ananda kepada gresnews.com, Minggu (29/5).

Ketua Yayasan Peduli Bumi Indonesia ini menyebutkan, terkait harga kantong plastik, pemerintah, BPKN, YLKI, dan APRINDO menyepakati harga jual kantong plastik selama uji coba penerapan kantong plastik berbayar sebesar minimal Rp200 per kantong sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara itu, harga kantong plastik akan dievaluasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama APRINDO setelah uji coba berjalan sekurang-kurangnya tiga bulan.

Menurutnya jenis kantong plastik yang disediakan oleh pengusaha ritel, Pemerintah, BPKN, YLKI, dan APRINDO disepakati memiliki spesifikasi kantong plastik yang tidak menimbulkan dampak lingkungan. "Harus memenuhi standar nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah atau lembaga independen yang ditugaskan," ucapnya.

Selanjutnya, dia menambahkan, APRINDO menyepakati bahwa mereka berkomitmen mendukung kegiatan pemberian insentif kepada konsumen, pengelolaan sampah, dan pengelolaan lingkungan hidup melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) dengan mekanisme yang akan diatur oleh masing-masing pengusaha ritel; Ketentuan ini juga berlaku untuk usaha ritel modern yang bukan anggota APRINDO.

TAK MEMENUHI SNI - Tujuan dari kebijakan berbayar dari kantong plastik adalah guna menekan laju sampah kantong plastik yang selama ini menjadi bahan pencemar dan beban bagi lingkungan hidup. Namun, kata Ananda, masih banyak plastik yang dipakai belum memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Produk plastik atau apapun yang diproduksi di Indonesia seharusnya memenuhi SNI agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan kerancuan antara kebijakan dengan produk plastik yang dijual di pasaran," tegasnya.

Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendorong ketentuan produk plastik berstandar SNI tersebut agar terjadi interaksi yang positif antara produsen, regulator, dan konsumen.

Ananda menilai bukan berarti kebijakan kantong plastik “tidak gratis” tersebut keliru.Namun akan lebih efektif apabila disertai kewajiban mengikuti ketentuan SNI tentang produk ramah lingkungan.

Selain itu, persepsi pengurangan timbulan sampah harus juga memahami mata rantai produk plastik dari hulu hingga hilir. "Ibaratnya, hulu adalah sumber dan proses bahan baku, sedangkan hilir adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA)," imbuhnya.

Lanjutnya, proses antara hulu dan hilir inilah yang masih tumpang tindih dan seringkali terlihat inkonsisten antara regulasi pemerintah dengan perilaku regulator baik Kementerian LHK maupun Pemda di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Sebenarnya bila prinsip ramah lingkungan ini juga dimasukkan dalam setiap kebijakan kantong plastik atau bahkan semua produk terkait bahan plastik yang di produksi di seluruh pelosok tanah air. "Maka dapat dipastikan tingkat restorasi dan kualitas lingkungan akan jauh lebih baik," harapnya.

Staf Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Natalya Kurniawati mengatakan kebijakan kantong plastik berbayar tidak selamanya mengurangi masyarakat untuk menggunakan kantong plastik dalam setiap belanja.

"Kami lebih ke arah mendidik perilaku konsumen untuk tidak lagi menggunakan kantong plastik dengan membatasi produksi kantong plastik yang disediakan di pasar modern, supermarket dan tempat belanja lainnya," kata Natalya kepada gresnews.com, Minggu (29/5) malam.

Natalya mengaku perlunya kesadaran dari konsumen untuk membawa kantong sendiri yang terbuat dari bahan kain, atau tas yang sesuai standar. Selain itu, dia menyampaikan, tempat-tempat belanja, seperti pasar modern, untuk membatasi kantong plastik di hari-hari tertentu agar masyarakat meninggalkan penggunaan kantong plastik dan beralih ke kantong yang sesuai standar yang ditentukan pemerintah.

"Kami minta penyediaan kantong plastik di pasar-pasar modern ataupun tempat belanja lainnya agar disiapkan seminggu sekali saja," ujarnya.

DIGUGAT - Sejumlah pihak yang kontra dengan aturan ini menggugat Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup Nomor S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan telah dilayangkan lewat Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/4/2016).

"Surat Edaran bertentangan dengan Pasal 612 KUH Perdata. Oleh sebab itu, kami gugat ke MA," ujar salah satu advokat yang menggugat, Mohammad Aqil, lewat keterangan persnya, Selasa (19/4/2016).

Selain Aqil, ada pula delapan advokat lainnya, yakni Ronny Asril, Harry Syahputra, Wibisono Oedoyo, Endang Suparta, Abdul Lukman Hakim, Muhammad Irfan Elhadi, Suwirman Sikumbang dan Roni Saputra.

Dalam pasal yang dimaksud, negara menjamin kewajiban sang penjual untuk menyerahkan kebendaan secara nyata dan utuh kepada tiap pembeli. Kantong plastik itu pun dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari kewajiban penjual.

Selain itu, surat edaran kantong plastik berbayar juga dianggap bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Hal ini karena barang yang mencemari lingkungan seharusnya tidak boleh diperjualbelikan, termasuk kantong plastik.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah jelas menyatakan kantong plastik adalah sumber sampah yang tidak dapat diurai bumi dan memiliki kontribusi 14 persen dari total jumlah sampah di Indonesia.

Para penggugat berharap, MA menyatakan surat edaran tidak sah dan pemerintah menerbitkan kembali aturan yang jauh lebih efektif dan konkret untuk mencegah dampak yang disebabkan oleh kantong plastik.

BACA JUGA: