JAKARTA, GRESNEWS.COM - Akhir tahun lalu Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf mengkritik mahalnya harga obat di Indonesia yang membebani sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Beban JKN makin besar karena pemerintah harus menanggung obat-obat paten dan generik bermerek yang mahal. Pemerintah harus bertindak bila tak mau program JKN ini kolaps karena mahalnya harga obat.

Hingga muncullah paket kebijakan ekonomi XI yang salah satunya ditujukan untuk mendorong perkembangan industri farmasi dan alat kesehatan. Pemerintah menyebutkan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan ini untuk menjamin sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka JKN dan mendorong keterjangkauan harga obat di dalam negeri.

PT Kimia Farma (Persero) Tbk mengaku optimistis harga obat bisa turun dikarenakan adanya insentif yang diberikan pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi jilid XI mengenai pengembangan industri farmasi dalam negeri. Kendati demikian penurunan harga obat-obatan dalam negeri belum tentu bisa bersaing dengan produk impor.

Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk Rusdi Rosman mengatakan paket kebijakan tersebut tentunya mendorong Indonesia dapat mandiri dalam hal bahan baku obat-obatan. Di satu sisi kebijakan tersebut dapat membuat harga obat menjadi lebih murah dibandingkan dengan jika bahan baku obat yang selama ini diperoleh dari impor.

Rusdi menjelaskan harga murah saja belum cukup untuk dapat bersaing dengan obat impor di dalam negeri. Karena itu Kimia Farma mengembangkan pasar luar negeri yaitu di Amerika dan Jepang. Hal itu didukung dengan adanya rekan kerja perusahaan yang sudah memiliki pasar di kedua negara tersebut, sehingga jika produk obat-obatan tidak laku di dalam negeri maka produk tersebut akan dikirim ke Amerika dan Jepang.

Di satu sisi, Kimia Farma juga sudah bekerjasama dengan investor dari Korea Selatan yaitu Sungwun Pharmacopia CO Ltd. Melalui mekanisme kerjasama joint venture tersebut keduanya akan membangun pabrik bahan baku obat yang bisa menghasilkan obat-obatan yang paling laris di dalam negeri. Rencananya pembangunan pabrik tersebut dengan investasi Rp110 miliar tersebut berada di wilayah Lippo Cikarang. Untuk tahap pertama, pabrik ini direncanakan akan memproduksi 14-15 jenis active pharmaceutical ingredient. Per tahn diprediksi dapat menghasilkan 30 ton bahan baku aktif, yang terdiri dari delapan bahan baku obat dan tujuh bahan suplemen.

"Saya belum bisa perkirakan bahan baku kita bisa bersaing dengan impor," kata Rusdi, Jakarta, Rabu (7/4).

Dia menilai dengan adanya pembangunan pabrik bahan baku obat di wilayah Lippo Cikarang, Kimia Farma dapat menekan angka impor bahan baku obat-obatan sebanyak 50 persen. Dia menambahkan tentunya penurunan angka impor bahan baku obat-obatan juga harus didukung dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh Kimiar Farma.

"Mudah-mudahan dapat turun (impor) 50 persen bahan baku dari luar negeri," kata Rusdi.

Menurutnya, proses pembangunan pabrik akan dimulai 2016 ini. Diharapkan dalam tempo 1,5-2 tahun ke depan, pabrik yang berlokasi di Lippo Cikarang ini telah beroperasi. Dengan demikian pembangunan pabrik diprediksi selesai akhir tahun 2017 dan sudah bisa memproduksi bahan baku obat aktif untuk mencukupi sekitar 20% kebutuhan nasional.

KONTRIBUSI BUMN FARMASI - Deputi Bidang Usaha Agro dan Industri Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro mengatakan kontribusi seluruh perusahaan BUMN Farmasi hanyalah 5 persen untuk industri farmasi karena sudah banyak sekali perusahaan farmasi yang memberikan kontribusi. Sedangkan BUMN hanya menyokong sebagian ke sektor industri farmasi di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan.

Menurutnya, obat-obat yang beredar di masyarakat seperti jenis parasetamol dan obat generik, dalam mekanisme pembuatan obat tersebut banyak sekali puluhan jenis bahan bakunya. Namun untuk bahan-bahannya, BUMN farmasi masih belum bisa memproduksi, maka dari itu untuk memenuhi bahan-bahan dasar pembuatan obat-obatan diperoleh dari impor.

"Kami ingin mereka (BUMN Farmasi) kurangi ketergantungan impor bahan baku obat," Wahyu.

Maka dari itu untuk mengurangi impor obat-obatan, Wahyu menuturkan perlu adanya sinergi antar perusahaan BUMN, salah satunya membuat garam farmasi melalui kerjasama BUMN Farmasi dengan PT Garam (Persero). Menurutnya, untuk kebutuhan garam farmasi, BUMN Farmasi membutuhkan kira-kira 6.000 ton per tahun. Kemudian diikuti oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk dengan membangun pabrik garam farmasi dengan kapasitas 200 ribu ton untuk tahap pertama. Untuk tahap kedua, kapasitasnya akan ditambah sebesar 400 ribu ton.

"Nah ini kalau bisa jangan impor. Semua sudah terbangun, tahun depan swasembada, jadi tidak perlu impor," kata Wahyu.

Selama ini garam farmasi yang digunakan oleh BUMN farmasi sebagai bahan baku obat dipenuhi dengan cara impor hampir 92 persen masih impor. Garam farmasi ini paling banyak untuk cairan infus, oralit, dialisat (cairan untuk cuci darah bagi gagal ginjal), dan banyak lagi. Demikian juga untuk membuat sabun dan shampo memerlukan garam farmasi.

BACA JUGA: