JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus berupaya untuk mengurangi ketergantungan bahan obat dari luar negeri. Hampir 92 persen obat-obatan yang ada di Indonesia berasal dari impor.  Banyaknya bahan baku obat yang tergantung impor telah menyebabkan harga obat di Indonesia sangat mahal. Ketergantungan itu akibat industri kimia dasar di Indonesia saat ini belum berkembang.

Deputi Bidang Usaha Agro dan Industri Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro menyebutkan kontribusi seluruh perusahaan BUMN Farmasi hanya 5 persen terhadap industri farmasi. Sementara BUMN hanya menyokong sebagian ke sektor industri farmasi di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan.

Menurutnya, obat-obat yang beredar di masyarakat seperti jenis Parasetamol dan obat generik, dalam mekanisme pembuatannya memerlukan banyak sekali atau  puluhan jenis bahan baku. Namun untuk bahan-bahan tersebut, BUMN farmasi masih belum bisa memproduksi. Maka dari itu untuk memenuhi bahan-bahan dasar pembuatan obat-obatan itu harus dipenuhi dari impor.

"Kita ingin mereka (BUMN Farmasi) kurangi ketergantungan impor bahan baku obat," kata Wahyu, di Jakarta, Kamis (24/3).

Untuk mengurangi impor obat-obatan, Wahyu menuturkan perlu ada sinergi antarperusahaan BUMN. Salah satunya dengan membuat garam farmasi melalui kerjasama BUMN Farmasi dengan PT Garam (Persero). Menurutnya untuk kebutuhan garam farmasi, BUMN Farmasi membutuhkan kira-kira 6000 ton per tahun. Kemudian diikuti oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk dengan membangun pabrik garam farmasi dengan kapasitas 200 ribu ton untuk tahap pertama. Sedang tahap kedua, kapasitasnya direncanakan akan ditambah sebesar 400 ribu ton.

"Nah ini kalau bisa jangan impor. Semua sudah terbangun, tahun depan swasembada jadi tidak perlu impor," kata Wahyu.

Rencana Kementerian BUMN untuk mengurangi skala impor ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang membuka peluang bagi kepemilikan asing untuk menguasai 100 persen saham di sektor hulu di bidang farmasi di Indonesia. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk menghapuskan subsidi proteksi bagi perusahaan BUMN di sektor farmasi.

Diakui, selama ini industri farmasi dalam negeri kalah bersaing dan bergantung subsidi serta perlindungan yang diberikan pemerintah. Ketergantungan industri farmasi terhadap subsidi dan perlindungan itu kemudian menyebabkan harga produk obat-obatan menjadi lebih mahal karena sebagian besar bahan bakunya masih impor.

KAJI PENCABUTAN SUBSIDI - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana sempat mempertanyakan kebijakan tersebut karena masyarakat akan kesulitan mendapatkan obat-obatan murah jika tidak disubsidi dari pemerintah. Menurutnya saat ini ada 17 juta jiwa masyarakat dalam posisi rentan miskin, dimana hidupnya masih bergantung dengan subsidi. Untuk itu pemerintah diminta tidak mengambil kebijakan sesaat yang dapat membahayakan hidup masyarakatnya.

Di satu sisi, dia menilai masyarakat juga tidak merasakan subsidi yang diberikan pemerintah di sektor farmasi karena masyarakat masih terasa mahal saat membeli obat. Menurut Azam, jika dirasa biaya obat mahal, pemerintah seharusnya memberikan subsidi untuk bea masuk atau biaya PPN untuk obat-obatan.

Untuk itu, Azam meminta pemerintah mengkaji secara mendalam kebijakan penghapusan subsidi itu,  karena dengan menghilangkan subsidi di sektor farmasi akan sangat membahayakan kesejahteraan masyarakat. Dia mencontohkan seperti kebijakan pemerintah menghapuskan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dampaknya daya beli masyarakat menurun dan target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga tidak tercapai.

"Jangan sebelum dikaji sudah dilemparkan statement berbahaya kepada masyarakat," kata Azam kepada gresnews.com.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan dibukanya peluang kepemilikan asing menguasai 100 persen saham di sektor hulu farmasi, karena produk obat di dalam negeri cukup mahal. Hal itu akibat lebih dari 90 persen bahan baku obat dalam negeri berasal dari impor. Sehingga pemerintah berpikir, agar bisa memproduksi bahan baku obat di dalam negeri maka pemerintah membuka peluang asing untuk memiliki saham sampai 100 persen agar asing dapat memproduksi di dalam negeri sehingga bahan baku bisa lebih murah.

Dia menjelaskan jika asing masuk dan memproduksi sektor hulu atau  bahan baku farmasi, tentunya akan membawa dampak positif bagi Indonesia. Secara otomatis pemerintah bisa mengurangi importasi bahan baku obat tersebut.

Untuk itu, kebijakan membuka kepemilikan asing 100 persen saham di sektor hulu farmasi juga masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid IX. Menurutnya dengan cara itu pemerintah dapat menurunkan importasi bahan baku obat yang selama ini harus impor dari luar.  "Kalau asing bisa masuk untuk memproduksi di hulu untuk bahan baku obat kan lebih bagus," kata Saleh.

BACA JUGA: