JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik soal lokasi pembangunan kilang pengolahan gas Blok Masela di darat (onshore) atau laut (offshore) selesai sudah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan proyek pengembangan gas alam cair (liquid natural gas/LNG) di Blok Abadi, Masela, dibangun di darat. Pertimbangannya demi pengembangan ekonomi daerah dan nasional.

Presiden Jokowi telah melakukan berbagai pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Menurutnya, pengoperasian Blok Masela mesti memberikan manfaat yang nyata, terutama dari segi ekonomi dan peningkatan kesejahteraan untuk masyarakat di sekitar daerah tersebut.

Jokowi menjelaskan proyek Blok Masela ini merupakan proyek jangka panjang dan menyangkut dana yang tidak sedikit hingga ratusan triliun. "Dari kalkulasi perhitungan pertimbangan-pertimbangan, yang sudah saya hitung, kami putuskan dibangun di darat," kata Jokowi didampingi Menteri ESDM Sudirman Said, Mensesneg Pratikno, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, serta Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi di Bandara Soepadio, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (23/3).

"Dan setelah keputusan ini, akan ditindaklanjuti Menteri ESDM dan SKK Migas, saya kira itu yang bisa saya sampaikan," ucapnya.

Menteri ESDM Sudirman Said akan meneruskan keputusan ini kepada investor blok tersebut, yaitu Inpex dan Shell. Selama ini Inpex dan Shell telah menyiapkan skenario pembangunan proyek Masela di laut (offshore), dengan alasan biaya investasinya lebih murah.

Sudirman mengaku bersyukur Presiden Jokowi telah mengambil keputusan lokasi pembangunan Blok Masela. Sejak sidang kabinet awal Februari lalu, Presiden Jokowi sudah mendapatkan penjelasan dan berbagai argumen. "Kami menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Bapak Presiden. Minta dibangun di darat, dan kami sebagai penanggung jawab sektor akan menyampaikan ke investor untuk mengkaji ulang seluruh keputusan, karena keputusan investasi diambil pada akhir 2018," ujar Sudirman yang mendampingi Presiden Jokowi.

Menurut Sudirman, Inpex dan Shell akan diberikan kesempatan untuk mengkaji ulang penghitungan proyek, dengan skema onshore seperti keputusan Jokowi. Dengan keputusan yang berbeda dari skema awal ini maka akan ada penundaan waktu pembangunan proyek. "Tapi saya minta SKK Migas berdiskusi agar penundaan tidak panjang," ujarnya.

Manajer Communication and Relation Inpex Usman Slamet menyambut baik atas putusan Presiden Jokowi. Sesuai prosedur, revisi plan of development (POD) yang diajukan Inpex akan dikembalikan dan direvisi ulang. "Kami masih menunggu keputusan presiden secara resmi kepada Inpex dan Shell," kata Usman di Jakarta, Rabu (23/3).

Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR RI) dari Fraksi Nasdem Kurtubi menilai keputusan Presiden Jokowi untuk memakai skema darat (onshore) bagi Blok Masela adalah keputusan yang tepat. Lantaran memberikan multiplier effect yang besar bagi ekonomi Maluku dan dapat menyerap lapangan kerja yang lebih besar. "Sehingga kesenjangan pembangunan antar wilayah Barat dan Timur bisa dikurangi," kata Kurtubi kepada gresnews.com, Rabu (23/3).

Jika kandungan gas Masela cukup maka dapat juga dibangun kilang LPG Mini untuk menghemat ongkos kirim LPG dari Jawa/Kalimantan ke kawasan Maluku dan Nusa Tenggara. "Dengan keputusan presiden ini, maka beda pendapat di antara menteri yang sempat menajam, tentu akan sirna," kata Kurtubi.

LEBIH MURAH - Menurut Abdulrachim, Tenaga Ahli Bidang Kebijakan Energi Kemenko Maritim dan Sumber Daya, pembangunan kilang LNG di darat lebih murah US$ 6 miliar dibandingkan di laut. "Hitungan kami di Kemenko Maritim, kalau di darat itu US$ 16 miliar, di laut itu US$ 22 miliar," ujarnya, Rabu (23/3).

Dia menjelaskan, jika kilang dibangun di laut maka ada risiko dan beban biaya yang mesti ditanggung. Belum lagi masalah material yang bila berada di laut akan korosif plus harga materialnya yang lebih mahal. Masalah lainnya bila dibangun di laut, bila kapal kena air laut selama 24 tahun perlu penggantian. "Kapal floating liquefied natural gas (FLNG) untuk offshore jauh lebih mahal, kapalnya besar banget," ujarnya.

Sebelumnya polemik masalah lokasi pembangunan kilang ini dipicu oleh perbedaan pendapat tajam antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said yang cenderung opsi di laut dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang cenderung memilih opsi darat. Dalih Sudirman saat itu bahwa pembangunan kilang di laut lebih murah.

Perhitungan Menteri ESDM, investasi yang ditanamkan untuk membangun kilang di laut atau (offshore) membutuhkan investasi sebesar US$14,3 miliar. Sedangkan, jika dibangun di darat (onshore) yaitu di Pulau Tanimbar atau Selaru, maka biaya untuk pembangunan kilang mencapai US$19,8 miliar. Sementara apabila dibangun onshore dengan lokasi di Pulau Aru dengan jarak 600 kilometer (km) maka dibutuhkan investasi sebesar US$22,3 miliar.

Namun hitungan tersebut dibantah Rizal Ramli. Menurut Rizal, justru pembangunan di darat lebih murah dengan US$ 16 miliar (darat) melawan US$ 23-26 miliar (Laut). Tak hanya lebih murah, kilang LNG Masela akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) dan nilai tambah ekonomi luar biasa besar bagi rakyat setempat jika dibangun di darat.

"Kalau lewat darat tentu akan mampu memberi multiplier effect seluasnya, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja, penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia," ujar Rizal.

Polemik ini kemudian merembet ke isu adanya kepentingan Inpex, sang kontraktor Blok Masela, di belakang pendapat Sudirman Said. Tak mau dituduh, Sudirman membalas sengit dengan mengatakan jangan membohongi rakyat. Hanya saja, balasan itu tak ditegaskan Sudirman dialamatkan kepada siapa.

Sementara itu Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Surnayadi pun mengingatkan pembahasan pengembangan Blok Masela telah berlangsung sejak 16 tahun. Selama itu, dana sebesar US$1,2 miliar sudah dihabiskan. Dana itu habis hanya untuk pembahasan revisi plan of development (PoD) pembangunan infrastruktur gas di lahan abadi tersebut.

Menurutnya, jika 2018 akhir ditetapkan proyek terus berjalan pengembangannya, maka untuk gas dari ladang abadi Blok Masela baru bisa dinikmati pada 2024. Kemudian pada 2025 pemerintah baru bisa merasakan hasilnya dengan melakukan ekspor hasil produksi gas. Itupun kalau PoD disetujui kilang dibangun di laut.

Jika kemudian berubah lagi menjadi di darat, maka hitungannya akan berbeda lagi. "Jadi kalau onshore, para kontraktor akan pikir lagi, dan mereka akan revisi PoD paling lambat 2019. FID mundur lagi sampai tiga tahun, onstream 2027," ungkap Amien di Gedung Nusantara V, DPR, Jakarta, Rabu (2/3). (dtc)

BACA JUGA: