JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) kembali akan memangkas investasi dalam pembangunan fasilitas Liquified Natural Gas (LNG) Blok Masela di darat (onshore) menjadi sebesar US$7 miliar. Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, hitungan-hitungan tersebut jauh lebih kecil daripada estimasi biaya investasi kilang LNG Masela yang sebelumnya untuk coba dihemat dari hitungan awal sebesar US$19,3 miliar kemudian diturunkan menjadi US$15 miliar.

Angka pemangkasan ini, kata Luhut, merupakan hasil kesimpulan rapat Kementerian ESDM, Rabu (14/9) kemarin. Penghematan, menurut Luhut, bisa tercapai jika Inpex Corporation selaku Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Blok Masela hanya mengerjakan pengeboran sumur di lapangan abadi dan membangun fasilitas LNG-nya saja. Inpex tidak perlu memikirkan soal distribusi gasnya.

"Saat ini kami tengah hitung, biar bagaimana pengembangannya dapat dibagi dua. Salah satunya pengeboran hingga kilang, kemudian dari sana ke industri pengguna, jika tahap pertama saja, cost dapat ditekan," kata Luhut di Gedung Badan Pusat Pengkajian Teknologi (BPPT), Jakarta, Kamis (15/9).

Dalam kesempatan tersebut, dia menginginkan, agar semua perusahaan Indonesia mau bermitra dengan Inpex dalam mengelola dari sisi distribusi LNG. Jika investasi dapat ditekan, tingkat pengembalian internal Blok Masela (Internal Rate of Return/IRR) dapat sesuai dengan harapan yaitu 15 persen.

IRR, kata Luhut, juga dapat dicapai dengan insentif penambahan kontrak pengelolaan Blok Masela selama 10 tahun seperti yang diinginkan Inpex. "Kami bisa pastikan, IRR mencapai 15 persen, namun kami masih pikirkan cara hitungannya, supaya investasi dapat lebih murah," paparnya.

Sebelumnya, dalam pertemuan dengan jajaran pimpinan Inpex Corporation, Luhut meminta revisi Plan of Development (POD) Lapangan Abadi di Blok Masela diselesaikan dalam 8 bulan, sejak 6 September 2016. Revisi PoD ini sendiri terjadi karena Lapangan Abadi awalnya menggunakan skema kilang LNG di laut (offshore).

Namun karena Presiden Joko Widodo pada Maret lalu memutuskan kilang LNG Blok Masela dibangun di darat, maka PoD sebelumnya harus direvisi. Luhut menegaskan, percepatan ini perlu dilakukan agar PoD dapat segera disetujui pemerintah dan Blok Masela resmi memasuki tahap produksi pada 2018. Gas dari Blok Masela ditargetkan mulai mengalir (onstream) pada 2024 atau 6 tahun sejak POD ditandatangani.

Langkah lain yang menurut Luhut bisa dikebut adalah izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dari perhitungan Luhut, pengurusan izin AMDAL tak perlu waktu sampai 3 tahun, cukup 1,5 tahun saja. "Tadi kita bicara kita ingin prosesnya semua dipercepat, itu misalnya dari kacamata kita di AMDAL 3 tahun, kita suruh bikin 1,5 tahun, bisa nggak tuh dia (Inpex). Terus PoD, bisa nggak lebih cepat," tegasnya.

Pada pertemuan dengan Inpex, Luhut juga menjamin Internal Rate Return (IRR) untuk Inpex di Masela sebesar 15%. Dengan IRR sebesar 15%, maka biaya investasi yang dikeluarkan Inpex bisa kembali dalam waktu kurang lebih 7 tahun sejak gas mulai berproduksi.

IRR sebesar 15% dinilai ideal agar pengembangan Blok Masela cukup ekonomis bagi Inpex. "Kita mau project IRR mereka tetap 15 persen, jangan kurang karena kalau kurang jadi nggak menarik," ucapnya.

Terkait rencana pemerintah ini, Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemangkasan investasi menjadi sebesar US$7 miliar untuk pembangunan fasilitas kilang LNG Blok Masela di darat ini harus dilakukan dengan hitung-hitungan transparan dan disepakati oleh para pihak.

Komaidi menegaskan, dalam skema pemangkasan investasi ini jangan sampai tujuannya hanya untuk menekan biaya semurah mungkin. Pemerintah harus bertujuan untuk untuk mencari harga wajar sesuai keekonomian.

"Saya kira memastikan PoD (Plan of Development-red) revisi sesuai peruntukkan proyek, sehingga pemerintah melalui SKK Migas harus lebih detail melihat satu per satu, agar tidak merugikan negara," kata Komaidi kepada gresnews.com, Kamis (15/9).

PENGAWASAN BPK-KPK - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo DP Irhamna mengatakan, pihaknya tidak yakin biaya pembangunan fasilitas LNG onshore untuk Blok Masela bisa ditekan hingga US$7 miliar. Menekan biaya hingga sebesar itu, kata dia, akan membebankan keuangan negara.

Dia juga menyebutkan, dari rencana pemangkasan biaya investasi ini yang harus diawasi ialah monitoring operasional proyek dari awal hingga akhir. "Upaya tersebut harus melibatkan KPK, BPK, hingga PPATK sehingga proyek tersebut feasible," kata Ariyo kepada gresnews.com, Kamis (15/9) .

Terkait hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri memang telah menegaskan akan memantau proses negosiasi pembangunan fasilitas pengelolaan gas di sejumlah wilayah, termasuk Blok Masela. Bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo sempat menegaskan KPK tidak sekadar mengawasi namun akan menindak jika dalam proses tersebut terjadi pelanggaran hukum. "Kalau ada hal-hal yang mengarah ke irregularity (tidak beres) saat ini, sangat dimungkinkan (penindakan)," kata Agus.

Sementara itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, aspek keadilan juga harus ditekankan dalam kontrak pengelolaan gas di tanah air mengingat saat ini terdapat 15 blok migas yang segera beroperasi. Pahala menilai, Peraturan Pemerintah Republik lndonesia Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi masih belum pro rakyat.

Misalnya, peraturan terkait kewajiban kontraktor menawarkan participating interest sebesar 10 persen kepada Badan Usaha Milik Daerah ketika satu blok migas akan beroperasi. Hal ini sulit terlaksana karena kebanyakan BUMD tidak memiliki modal. Akhirnya untuk bisa memiliki 10 persen saham itu BUMD membentuk perusahaan patungan dengan pihak swasta.

Akhirnya, pembagian participating interest antara BUMD dengan kontraktor menjadi tidak sesuai dengan peraturan. "Pembagiannya menurut kita janggal, melihat kondisi ini dan ada 15 blok migas segera beroperasi, ini harus dicegah. Kita kirim surat ke Presiden minta PP Nomor 35 Tahun 2004 untuk direvisi Pasal 34 dan Pasal 3," kata Pahala.

REVISI PROFIT SHARING - Sementara itu, terkait pengelolaan Blok Masela, pihak Inpex sendiri dikabarkan siap melakukan pengembangan blok migas tersebut. Namun Inpex bersama Exxon (yang akan mengelola Blok East Natuna) meminta pemerintah benar-benar merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 (PP 79/2010) khususnya terkait Profit Sharing Contract.

Luhut Pandjaitan mengatakan, melalui revisi PP 79/2010, pemerintah ingin memangkas pajak-pajak yang harus ditanggung investor saat melakukan eksplorasi untuk mencari cadangan minyak dan gas di Indonesia. Selain itu, revisi PP 79/2010 juga memberikan peluang kepada investor untuk mendapatkan bagi hasil yang lebih besar ketika berhasil memproduksi migas di laut dalam.

Bagi hasil yang berlaku di Indonesia saat ini adalah 85% untuk negara, dan 15% untuk investor (85:15). Sementara saat ini cadangan migas Indonesia umumnya berada di laut dalam. Bagi hasil sebesar 15% kurang menarik bagi investor.

Inilah sebabnya hasil revisi PP 79/2010 amat dinantikan oleh perusahaan-perusahaan migas yang menjadi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di Indonesia, misalnya Inpex dan Exxon.

"Kenapa PP 79 kita ubah? Orang selalu bicara bagi hasil 85:15. Kalau di deep water nggak bisa lagi. Mana ada orang yang mau (dengan bagi hasil hanya 15 persen) kalau risikonya tinggi? Saya sampaikan ke Presiden, jawaban Presiden setuju, kita revisi PP 79. Kita sekarang punya pemimpin yang nggak ragu-ragu. Exxon bilang oke, kita mulai move," pungkas Luhut.

Baik Blok East Natuna dan Blok Masela adalah dua ladang gas terbesar Indonesia saat ini. Cadangan gas di East Natuna mencapai 46 triliun kaki kubik (TCF), di Masela 10 TCF. (dtc)

BACA JUGA: