JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah memutuskan bahwa fasilitas pengelolaan gas untuk Blok Masela akan dibangun di darat. Keputusan ini tentunya bakal ditindaklanjuti oleh pihak pengelola alias pemegang kontrak pengelolaan Blok Masela yaitu Inpex dan Shell untuk merevisi kembali Plan of Development (POD) mereka. Maklum, sebelumnya Inpex dan Shell memang datang dengan skenario membangun fasilitas pengelolaan gas di laut alias offshore.

Mengingat adanya perubahan yang lumayan ekstrem, pengamat ekonomi Salis Aprilian mengatakan, tidak akan mudah bagi Inpex dan Shell untuk merevisi POD. Alasannya, karena Scope of Work (SOW) antara kilang di darat dan di laut sama sekali berbeda. "Inpex dan Shell sebagai operator blok tersebut harus menginvestasikan waktu, tenaga dan dana untuk memperbaiki POD," kata Salin, di Jakarta, Sabtu (26/3).

Dia memperkirakan, untuk merevisi POD, Inpex dan Shell akan membutuhkan waktu sekitar enam bulan sampai 12 bulan. "Bahkan bisa lebih dari 12 bulan karena menyangkut rencana pemasangan pipa bawah laut dari lapangan abadi ke darat, termasuk harus melakukan bathymetry survey (survei yang dilakukan untuk mengetahui nilai kedalaman dari dasar laut) dan mendesain foot print pabrik LNG di darat. Kemudian harus disesuaikan dengan topografi dan rencana tata ruang serta peruntukan pulau, hal itu tentunya memerlukan waktu," kata mantan Direktur Utama PT Pertamina EP itu.

Kedua, setelah revisi POD selesai, maka hasil revisi itu diusulkan kembali ke SKK Migas untuk ditinjau dan diajukan ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said untuk disetujui. Setelah disetujui pemerintah, secara paralel operator harus melakukan pematangan komersial ke LNG buyers untuk menandatangani Gas Sales Agreement (GSA) dan melakukan kegiatan hulu seperti pengeboran, menyelesaikan sumur gas, dan membangun fasilitas produksi di laut.

Lalu, melakukan pembebasan tanah, mengurus perizinan dan membuat Front End Engineering Design (FEED). Setelah seluruh tahap tersebut selesai, barulah keluar keputusan investasi (Final Investment Decision/FID) dari perusahaan atau operator tersebut.

Ketiga, memulai fase pengerjaan proyek. Hal itu termasuk membuka tender Engineering, Procurement, Construction (EPC), persetujuan pemenang oleh SKK Migas, mobilisasi pekerja dan equipment untuk memulai pembangunan hingga commisioning dan start up. Keempat, dimulainya produksi dengan mengapalkan LNG.

Salis mengatakan, empat tahapan proyek tersebut memang harus dilakukan dalam pengembangan Blok Masela jika mengikuti konsep onshore LNG. Menurutnya, setiap tahap akan memiliki tantangan dan kerumitan tersendiri. Jika semua berjalan normal dan lancar maka diperkirakan selesai dalam tujuh tahun sampai sembilan tahun.

"Sehingga jika semua pekerjaan dilakukan tahun ini, baru tahun 2023 sampai 2025 Blok Masela dapat memproduksi LNG," kata Salis.

Salis mengungkapkan berdasarkan hasil kajian dari McKinsey tahun 2014, Indonesia akan membutuhkan LNG untuk mengimbangi kekurangan supply gas karena kebutuhan gas di Indonesia yang terus meningkat. Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit gas hingga 3 juta metric tons per annum (MTPA) LNG atau sekitar 700 MMSCFD di tahun 2019.

Menurutnya, jika benar perkiraan LNG Blok Masela diproduksi tahun 2025, tentunya sebagian besar akan dipakai untuk menutupi kebutuhan gas domestik. Hanya sebagian kecil dimungkinkan Indonesia masih bisa mengekspor gas.

Kemudian dalam kajian lain, dunia sedang dilanda banjir LNG dari Australia, Qatar, Angola, Mozambique, Yaman di tahun 2025. Sehingga harganya menjadi sangat kompetitif. "Kalau benar demikian, maka LNG akan terseok bersaing di internasional," prediksi Salis.

Menurutnya, jika situasi tersebut harus dihadapi oleh Indonesia, pemerintah harus menerapkan konsep hulu dan hilir dalam pengembangan gas Masela. Pemerintah meminta Inpex dan Shell hanya berkewajiban mengeksploitasi gas dari dasar laut ke permukaan laut dengan menjual gas setelah dimurnikan di Floating Production Storage and Offloading (FSPO). Setelah itu, bagi perusahaan yang membutuhkan dipersilakan untuk membeli di FSPO, hal itulah yang disebut berjualan gas dengan harga Free On Board (FOB).

Menurutnya, pemerintah bisa meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta untuk membeli gas tersebut, yang diambil dari kapal-kapal CNG yang disewa dari perusahaan BUMN atau swasta. Dengan begitu, industri-industri strategis nasional dapat tumbuh dan bergandengan dengan industri maritim untuk memperkokoh kedaulatan Indonesia.

"Kapal-kapal CNG dapat menyuplai gas sampai ke pelosok pulau-pulau gas dimanapun, baik untuk bahan bakar atau pembangkit listrik, petrokimia, pabrik keramik maupun smelter," kata Salis.

SKEMA EKONOMIS - Skenario yang diungkapkan Salis di atas memang merupakan skenario "mulus" dimana gas dijual kepada pembeli dalam negeri. Lantas bagaimana jika Inpex dan Shell atau perusahaan lain ingin menjual gas Masela ke pasar dunia? Ini, kata Salis, akan menjadi persoalan lain.

Jika mengapalkan CNG dalam jarak jauh lebih dari 3.000 kilometer, menurutnya, harga gas yang dijual diyakini tidak akan ekonomis. Salis menuturkan jika hal itu terjadi, maka CNG dapat dikirim ke PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur untuk dijadikan LNG. Kemudian, LNG tersebut dikapalkan ke pembeli yang dituju. "Ini baru bisa ekonomis," katanya.

Proses ini, kata dia, juga bisa membawa keuntungan buat PT Badak NGL. Badak, kata Salis, tengah mengalami kekurangan pasokan gas pada tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Karena itu dari delapan train pengolahan gas yang ada, hanya tiga yang kini dioperasikan. Dengan adanya gas dari Masela, maka lima train yang menganggur dapat ikut dioperasikan.

Kelima train itu, kata Salis, dapat menyerap dan memproduksi LNG hingga 12 juta ton per tahun (MTPA). Dia menambahkan jika semua gas Masela hanya mencapai 7,5 MTPA yang akan dijadikan LNG, maka sudah lebih cukup untuk diproses di Bontang dan tidak perlu membangun pabrik baru LNG. "Konsep inti akan memberi multiplier effect bagi masyarakat Maluku," kata Salis.

Salis menjelaskan dengan nilai investasi yang jauh lebih kecil hanya sekitar US$9 miliar dengan konsep CNG dibanding US$14 miliar sampai US$18 miliar pada konsep LNG dan penyelesaian proyek yang jauh lebih cepat tiga tahun dibanding tujuh tahun sampai sembilan tahun, maka banyak yang dapat diperbuat oleh pemerintah. Pemerintah dapat membangun infrastruktur seperti jalan dan jembatan, airport, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, universitas atau peningkatan kesejahteraan masyarakat.

"Bahkan, bukan hanya Maluku saja yang menikmati dari Blok Masela tetapi gas Masela dapat didistribusikan ke semua pulau termasuk Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan wilayah Timur Indonesia," ujar Salis.

Salis mengatakan, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah agar dapat mengelola Blok Masela secara ekonomis. Pertama, jika Indonesia ingin mengembangkan proyek gas Masela lebih cepat dan ekonomis, pemerintah harus memisahkan antara proyek hulu dan hilir. Beban negara akan menjadi lebih kecil dengan skema cost recovery yang lebih efisien.

Menurutnya, skema ini sekaligus akan mendorong industri hilir maju lebih cepat. Lalu, Inpex dan Shell dapat berjualan gasnya di FPSO, lalu para pembeli mengambilnya dengan harga FOB melalui kapal CNG.

Kedua, jika ada pembeli internasional yang berminat atau penjual domestik yang mengekspor gas tersebut, gunakan fasilitas PT Badak untuk membuat LNG kemudian dikapalkan ke negara tujuan. Ketiga, pemerintah harus mempertimbangkan pembangunan pabrik LNG, jika pemerintah masih mempunyai asetnya di PT Badak yang bisa dimanfaatkan.

Apalagi, jika gas tersebut sebagian besar untuk domestik. Maka dengan menjadikannya LNG akan memboroskan dua kali biaya yaitu membuat LNG dan regasifikasi. Jadi konsep CNG sangat masuk akal. "Jadi kesimpulannya, keputusan presiden yang menolak pembangunan LNG di laut sudah sangat tepat," kata Salis.

KEMUNGKINAN HENGKANG - Terkait keputusan pemerintah untuk membangun pengolahan gas Blok Masela di darat, Menteri ESDM Sudirman Said sendiri sudah menjamin bahwa kedua investor yaitu Inpex dan Shell tidak akan hengkang. Sudirman mengatakan, terkait hal itu, pihaknya melalui SKK Migas telah meminta kepada Inpex dan Shell untuk melakukan revisi POD sesuai dengan skema LNG di darat.

Sementara itu, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, sudah mengadakan pertemuan dengan pihak Inpex dan Shell pada Selasa (23/3) malam. Dalam pertemuan tersebut kedua pihak telah sepakat untuk merevisi POD dari laut ke darat. "Kami bisa simpulkan, jika Inpex dan Shell tidak ada rencana keluar dari Blok Masela. Hanya butuh waktu untuk menghitung ulang  semuanya," kata Amien.

Hanya saja Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono menilai, masih ada kemungkinan Inpex dan Shell mundur dari Masela. Kedua investor itu, kata dia, akan memiliki pertimbangan untuk mengikuti keputusan pemerintah membangun fasilitas pengolahan gas di darat. Dalam pertimbangan itu, kata Arief, bisa saja kedua investor mempertimbangkan mundur dengan beberapa pertimbangan.

Pertama, risiko sosial dan keamanan investasi yang akan ditanggung Inpex dan Shell jika kilang dibangun di darat. Misalnya, risiko konflik dengan masyarakat hingga soal jaminan keamanan akan aset-asetnya di darat.

Kedua, dalam teori ekonomi bahwa perusahaan jika ingin mendirikan pabrik dipastikan pabrik akan lebih dekat dengan sumber bahan bakunya. "Begitu juga dengan Blok Masela yang ada di tengah laut dalam, dipastikan akan lebih ekonomis jika membangun gas floating refinery di dekat sumber gas jika dibandingkan dibangun di darat," katanya.

Ketiga, infrastruktur yang dibangun di darat jauh lebih mahal dibandingkan di laut sebab di darat diperlukan lahan untuk membangun refinery, membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang sangat mahal untuk membeli lahan serta membangun jalan dan pelabuhan besar untuk tempat bersandar VLCC gas. Keempat, risiko pencemaran di lingkungan darat akibat pengelolaan gas jauh lebih besar dan akan menciptakan konflik sosial dengan masyarakat.

Kelima, jika terjadi kecelakaan ledakan akibat meledaknya refinery akan berbahaya bagi penduduk di sekitarnya, Keenam, bank yang akan mendanai Blok Masela jika dilakukan onshore tentunya akan berpikir ulang karena bank-bank luar negeri sudah mencatatkan Indonesia Timur masuk dalam garis high country risk investment.

Ketujuh, jika dibangun dengan offshore, tidak perlu bangun pelabuhan cukup dengan Shipping Transit Station (STS) di tengah laut. Kedelapan, jika onshore diperlukan jaringan pipa bawah laut untuk menyalurkan gas mentah ke refinery di darat, hal itu sudah memakan biaya pemeliharaan untuk pipa gas bawah laut.

Kesembilan, jika yang diinginkan agar gas Masela bisa memberikan trickle down effect terhadap industri lainnya di sekitar Blok Masela seperti industri keramik, industri pupuk dan lain-lain, perlu nota kesepahaman antara pemerintah dengan Inpex dan Shell agar disediakan kuota gas LNG untuk industri di sekitarnya.

"Jika kemungkinan Inpex dan Shell tidak berinvestasi kembali di blok Masela, Kementerian ESDM harus bekerja keras mencari investor baru," kata Arief.

BACA JUGA: