JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merencanakan untuk membentuk sejumlah induk (holding) perusahaan yang bergerak di bidang sejenis. Salah satunya pembentukan holding BUMN migas yang ditargetkan terealisasi akhir tahun ini. Kementerian BUMN pun telah memberi sinyal bahwa PT Pertamina (Persero) akan menjadi induk dari holding BUMN migas tersebut.

Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengungkapkan salah satu kriteria perusahaan BUMN yang akan menjadi lead holding BUMN migas adalah perusahaan yang sahamnya masih 100 persen dimiliki pemerintah.

Kriteria tersebut pun seakan menunjuk kepada PT Pertamina (Persero) yang sahamnya murni hanya dimiliki pemerintah. Nantinya lead holding BUMN migas tersebut akan membawahkan PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk dan PT Energy Management Indonesia (Persero).

Edwin mengungkapkan ada beberapa skema yang disiapkan dalam membentuk holding BUMN migas. Diantaranya,  di sektor migas terdapat PGN dan anak usaha Pertamina yaitu PT Pertagas. Menurutnya, dalam holding BUMN migas tersebut tidak diperlukan dua perusahaan sejenis yang bergerak di bidang yang sama yakni gas. Untuk itu dimungkinkan Pertagas akan digabungkan dengan PGN.

Kendati demikian, penggabungan kedua perusahaan itu bisa terealisasi dengan melihat bagaimana penanganan gas domestik dan jaringan pipanisasi akan lebih cepat terealisasi.  "Nanti kalau sudah ada PGN buat apa lagi ada Pertagas, kan sama. Kalau sudah ada satu holding, buat apa ada dua perusahaan yang sama. Bisa jadi Pertagas dan PGN merger," kata Edwin di Kementerian BUMN, kemarin.

Oleh karena itu, rencana Kementerian BUMN tersebut akan dikaji oleh PT Danareksa (Persero), PT Bank Mandiri (Persero) dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero). Ketiga perusahaan financial advisor tersebut akan mengkaji dari sisi keuangan, ruang lingkup dan secara legalnya, apakah pembentukan holding tersebut dapat meningkatkan nilai dan membuat BUMN menjadi lebih kuat, lincah, dan besar atau justru sebaliknya.

Kajian juga akan menunjuk perusahaan BUMN yang memiliki potensi sebagai induk holding. Selain itu juga dikaji pembentukan holding BUMN migas tersebut apakah ada perubahan status kepemilikannya atau tidak. Edwin sendiri menargetkan kajian pembentukan holding BUMN migas dapat diselesaikan pada semester 1 tahun 2016.

"Kalau tidak bisa diwujudkan tujuannya maka akan repot juga," kata Edwin.

Menanggapi rencana Kementerian BUMN itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean menyambut baik pembentukan holding BUMN migas tersebut. Apalagi Pertamina sebagai induk holding BUMN migas, karena memang secara konsep besarnya perusahaan BUMN migas harus dijadikan satu dalam BUMN migas.  Namun dia mengingatkan, jika rencana Kementerian BUMN ingin menggabungkan Pertagas dengan PGN, maka saham asing yang ada di PGN harus dibeli kembali (buy back) oleh pemerintah.

Menurutnya jika pemerintah tidak membeli kembali sahamnya di PGN, patut diduga ada aset negara yang dimiliki oleh Pertagas berpindah secara tidak langsung ke pihak asing. Sebagaimana diketahui, porsi saham asing di PGN sebesar 47 persen dan 53 persen milik negara. Menurutnya jika hal itu terjadi akan menimbulkan  kerugian negara, mengingat asing memiliki 47 persen saham di PGN.

"Makanya PGN harus buy back saham supaya tidak ada lagi saham asing di sana," kata Ferdinand kepada gresnews.com.

Kendati demikian, dia mengaku telah memperoleh informasi bahwa dalam revisi UU Migas, akan ada tiga BUMN yang bergerak di sektor migas yaitu SKK Migas akan dijadikan BUMN migas di sektor hulu, sedangkan PGN dan Pertamina akan dijadikan BUMN migas di sektor hilir. Jika hal itu benar maka ia menilai akan semakin kacau dunia migas Indonesia. Sebab saat ini kondisi dunia migas Indonesia banyak sekali terjadi tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan oleh regulator,  baik dari sisi hulu maupun hilir.

Oleh karena itu, dia mengusulkan kepada pemerintah agar menjadikan Pertamina sebagai holding yang merangkap regulator yang mewakili pemerintah. Semua institusi baik itu SKK Migas maupun perusahaan BUMN migas seperti PGN dijadikan sebagai anak usaha Pertamina.

"Jadi memang konsepnya harus holding supaya ada satu BUMN induk yang menjadi regulator," kata Ferdinand.

FSP MENOLAK - Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Arief Puyuono justru tak sepakat. Ia menilai holding BUMN migas saat ini belum diperlukan karena PGN saat ini sudah menjadi perusahaan publik. Sedangkan Pertamina dan Pertagas masih dimiliki 100 persen oleh pemerintah, sehingga akan berpotensi menimbulkan banyaknya penolakan dari pekerja PGN dan pemegang saham publik PGN.

Ia juga menilai pembentukan holding BUMN migas justru akan memperpanjang rantai birokrasi dan hanya menghambur-hamburkan biaya. Selain itu akan memperlambat aksi korporasi PGN dan anak perusahaan yang berada di bawah holding BUMN migas.  Karena dalam setiap aksi korporasi mereka harus meminta izin kepada Kementerian BUMN, dari sisi holding juga harus meminta izin kepada SKK Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

"Jika ditambah holding BUMN migas akan semakin panjang rentetan birokrasi dan tidak efisien," kata Arief kepada gresnews.com.

Dia menuturkan justru sebaiknya sektor BUMN migas lebih banyak memberikan sumbangan dividen kepada pemerintah. Untuk itu sebaiknya terdapat pemisahan tugas secara jelas oleh negara. Misalnya, Pertamina fokus kepada sektor pengelolaan minyak bumi. Pertamina tidak perlu lagi mengelola gas. Sedangkan PGN fokus kepada pengelolaan gas nasional. Artinya, PGN akan mengambil alih Pertagas.

BACA JUGA: