JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik soal Blok Masela masih terus berlanjut. Pemantiknya adalah pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang mendadak mengatakan, opsi pembangunan Blok Masela akan menggunakan skema pipanisasi alias dibangun di darat (onshore). Pernyataan itu sontak ditanggapi keras pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang selama ini tampak ngotot untuk menggunakan metode offshore (di tengah laut).

Belum lagi kemudian muncul kabar Presiden Joko Widodo sudah memutuskan pengelolaan Blok Masela dilakukan dengan membangun kilang di darat. Kabar ini pun segera dibantah pihak Istana dengan mengatakan Presiden Jokowi belum mengambil putusan apapun soal Blok Masela. "Presiden masih mengkaji seluruh aspek proyek Masela. Mengingat besarnya skala dan kompleksitas proyek gas Blok Masela, keputusan harus dibuat dengan sangat berhati hati," kata Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi Sapto Pribowo.

Menyikapi polemik ini, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kurtubi mengatakan, kekacauan dan polemik berkepanjangan terkait Blok Masela adalah akibat kacaunya peraturan di bidang perminyakan dan gas bumi. Pangkalnya adalah UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang mempreteli kewenangan Pertamina dalam mengoperasikan kilang Liquefaction Natural Gas (LNG).  

Beleid tersebut menyerahkan kewenangan pengoperasian kilang LNG kepada kontraktor. "Akibatnya, kontraktor lebih memikirkan kepentingan dirinya. Mestinya yang membangun LNG Plant dan yang mengoperasikan LNG Plant setelah jadi, adalah negara melalui PT Pertamina Tbk (Persero) sebagai pemegang kuasa pertambangan," kata Kurtubi kepada gresnews.com, Minggu (28/2).

Kontraktor, kata Kurtubi, tentu saja ingin yang termurah yaitu membangun di laut sehingga tidak perlu membangun jaringan pipa seperti jika pengolahan dilakukan di darat. Sementara, mayarakat Maluku ingin pengelolaan Blok Masela dilakukan di darat karena akan membawa multiplier effect diantaranya penerimaan pajak daerah dan juga penyerapan tenaga kerja untuk menghidupkan perekonomian setempat.

Tarik menarik antara kepentingan kontraktor dan masyarakat inilah yang membuat pemerintah seperti bingung untuk memutuskan untuk berpihak ke mana. Alhasil polemik soal Blok Masela terus berkepanjangan.

UU Migas yang tidak pro terhadap pertamina, kata Kurtubi, telah menghancurkan sistem operasional dan niaga LNG. Pertamina diberi kewenangan terbatas, sedangkan kontraktor diberi keleluasaan dengan membangun pabriknya. Karena itu, dia mengusulkan agar UU Migas direvisi untuk mengurai kisruh Blok Masela.

Tujuannya agar hak membangun kilang bisa dikembalikan ke Pertamina dan Pertamina bisa menunjukkan otoritas kepada bank bahwa ia memiliki cadangan agar bank memberikan pinjaman dalam membangun pabrik LNG.  "Yang merusak LNG nasional itu UU Migas. Dari awal saya katakan, ini memang harus disempurnakan dan alhamdulillah sudah masuk prolegnas 2016," terangnya.

Menurut Kurtubi, jika aturan ini dikembalikan seperti dalam UU Nomor 8 tahun 1971, polemik Blok Masela tak perlu terjadi. "Pertamina yang bangun pabrik LNG di Arun dan Badak, demikian pula setelah pabrik LNG selesai dibangun Pertamina juga yang mengoperasikan proses LNG itu, maka terbentuklah PT LNG Arun dan PT LNG Badak, dibawah kekuasaan negara," tegas Kurtubi.

Dengan kembalinya "kedaulatan" Pertamina dalam membangun kilang LNG, diharapkan, kilang gas alam cair (LNG) di daerah Laut Arafuru, Maluku itu, bakal dibangun di darat sesuai harapan masyarakat Maluku. Masyarakat di Maluku dan Maluku Utara sendiri memang berharap kilang dibangun di darat. Mereka bahkan sempat mengirimkan terguran keras kepada Menteri ESDM Sudirman Said yang terkesan ngotot membela kepentingan Inpex selaku operator yang ingin membangun kilang di laut.

Tokoh masyarakat Maluku Sujud Sirajuddin mengatakan, semua elemen di Maluku, mulai dari rakyat, pemuda, akademisi, birokrat dan tokoh Maluku mendukung pembangunan kilang di darat. Bahkan, kata dia, Wakil Presiden Jusuf Kalla dipastikan mendukung kilang di darat, karena Wapres Kalla juga tokoh perdamaian Maluku.

"Sangat mengherankan, ketika semua orang mendukung pembangunan di darat, tetapi Menteri ESDM seolah memiliki agenda sendiri. Menteri ESDM semestinya sadar sebagai pembantu presiden, bukan dia yang presiden. Menteri harus menjadi supporting. Jangan berlaku seolah menjadi presiden," kata Sujud dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (28/2).

Sujud berharap, perwakilan rakyat Maluku yang ada di DPR dan DPD bisa menyuarakan keinginan masyarakat ini. "Kita juga belum dengar suara dari Pak Wapres, Jusuf Kalla, karena beliau merupakan representasi orang Indonesia Timur. Beliau juga tokoh perdamaian Maluku dan warga istimewa Kota Ambon, tetapi ketika rakyat Maluku memperjuangkan untuk memperbaiki kesejahteraan melalui Blok Masela, justru beliau belum bersuara. Kita minta Pak Wapres untuk mendorong kilang ini dibangun di darat. Dalam situasi seperti ini semestinya beliau hadir," tegas Sujud.

Budayawan Heintje Hitalessy mengatakan, dia curiga ada kepentingan yang lebih kuat dibanding kepentingan rakyat yang menyebabkan keinginan rakyat itu tidak diakomodir. "Kami hanya mau tanya sebenarnya apa mau ditutupi di Maluku. Apa yang mereka mau, kalau kemauan rakyat sudah tidak didengar? Semua pemimpin dipilih rakyat, tetapi ketika memimpin mereka lupa dengan untuk apa mereka dipilih. Hormati dan hargai keinginan orang Maluku yang ingin lebih baik dengan kekayaan alam yang ada," ujarnya.

Heintje menegaskan, keberadaan Blok Masela bukan hanya untuk Maluku, tetapi untuk semua provinsi di kawasan timur akan memperoleh pengaruh ekonomi. Untuk itu, Heintje mengajak semua untuk bersolidaritas dalam Blok Masela ini. "Dengan sikap dari seluruh komponen di Maluku, maka tidak ada jalan lain, kecuali membangun kilang di darat," pungkasnya.

PEMERINTAH AMBIGU - Sikap pemerintah dalam menghadapi tekanan publik terkait Blok Masela ini sendiri terkesan ambigu. Di satu sisi, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, pemerintah akan mengambil keputusan yang memberikan manfaat bagi masyarakat Maluku, Indonesia, dan semua pihak.

Sudirman mengaku, saat ini proses pembahasan kilang Blok Masela masih terus dilakukan pemerintah. Kementerian ESDM, kata Sudirman, sudah melaksanakan amanah Presiden Jokowi, untuk melakukan analisa terkait pengembangan wilayah Maluku, diantaranya Maluku bagian Selatan, supaya hasil dari Blok Masela ini bisa membawa kesejahteraan bagi Indonesia khususnya di Provinsi Maluku.

"Kami juga sudah melaporkan soal dua skenario pengembangan kilang Blok Masela, informasi tersebut adalah mengenai bagaimana dampak bagi pengembangan wilayah di Maluku bagian Selatan serta berapa investasi yang dibutuhkan jika di darat (onshore) atau di laut (offshore)," jelasnya.

Sudirman juga mengaku sudah melakukan komunikasi dengan pemerintah dan masyarakat Maluku terkait kesiapan pemerintah dan masyarakat Maluku untuk ikut mengelola Blok Masela. "Untuk Gubernur Maluku telah menyampaikan setuju dan mendukung apapun keputusan dan kebijakan dari Presiden Jokowi terhadap pengembangan Blok Masela, kemudian Pak Gubernur siap menyosialisasikan kepada masyarakat Maluku, apabila keputusan sudah diambil," ungkap Sudirman.

Masalahnya, meski terkesan membela kepentingan rakyat Maluku, Sudirman di sisi lain justru seperti "menyindir" suara-suara yang selama ini mendesak agar pembangunan kilang Masela dilakukan di darat, termasuk pernyataan Rizal Ramli.

"Tidak perlu berpolemik, yang pura-pura berjuang untuk rakyat, yang suka mengklaim paling tahu, yang mau coba mengganti investor Masela berhentilah membohongi rakyat, karena suatu saat akan terbongkar, " kata Sudirman.

Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri yang sebelumnya tegas meminta Blok Masela dibangun di darat, kini terkesan ragu soal itu. Jusuf Kalla mengatakan, karena Blok Masela merupakan proyek besar, maka pemerintah sangat berhati-hati memutuskannya. "Karena proyeknya besar, jadi tentu lebih hati-hati dan juga perhitungannya juga harus baik," jelas JK, di sela acara The Economist Events´ Indonesia Summit. Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (25/2).

Soal kapan pengambilan keputusan dilakukan, JK mengatakan masih akan menunggu hari baik. "Masih menunggu hari yang baik," ucapnya. Dia mengatakan, pada saat ini, pemerintah sedang mengkaji keputusan yang akan diambil.

BELUM DIKAJI - Masalahnya, soal kajian Blok Masela, ternyata pihak yang ditunjuk melakukan kajian yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ternyata belum membuat kajian khususnya terkait masalah pendanaan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Sofyan Djalil mengatakan, pihaknya belum mengkaji skema dana untuk pengembangan kawasan Blok Masela.

"Dana yang anda sebutkan itu kita belum bicara, tapi yang penting adalah pembangunan kawasan Maluku dan sekitar Masela, begitu proyek masela dijadikan, bukan seperti dulu. Dulu di Arun, (pembangunan) di Arun saja. Nah sekarang bagaimana kita kaitkan ini dengan pembangunan regional," ujar Sofyan di Jakarta, Selasa (23/2).

Sofyan hanya menegaskan, pembangunan Blok Masela harus memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal, ekonomi Provinsi Maluku dan juga berdampak ke provinsi di sekelilingnya. "Dananya nanti kita pikirkan, apakah dana dari participating interest (PI/saham partisipasi) pemerintah daerah atau APBN. Yang penting bagaimana kemaslahatan masyarakat dan pembangunan regional terjadi," kata Sofyan.

Sebelumnya, pihak Kementerian ESDM sendiri telah membuat kajian terkait pendanaan pembangunan Blok Masela. Namun hasilnya dinilai sarat kepentingan dan kontroversial. Pasalnya, menurut kajian pihak ESDM pembangunan kilang LNG di laut lebih murah daripada di darat. Hasil kajian ini pun dibantah pihak Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya. Rizal Ramli mengatakan, pembangunan di darat lebih murah dengan US$ 16 miliar (darat) melawan US$ 23-26 miliar (Laut).

Tak hanya lebih murah, kilang LNG Masela akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) dan nilai tambah ekonomi luar biasa besar bagi rakyat setempat jika dibangun di darat. "Kalau lewat darat tentu akan mampu memberi multiplier effect seluasnya, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja, penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia," ujar Rizal. (dtc)

BACA JUGA: