JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi VI DPR RI menyatakan pada dasarnya sepakat dengan rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membentuk holding terhadap perusahaan BUMN. Sebab pembentukan holding BUMN dapat menghindarkan perselisihan antar perusahaan BUMN.

Diakui Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir saat ini perusahaan BUMN belum bersinergi dengan baik. Sehingga terkadang antar perusahaan BUMN sering berselisih paham dalam hal bisnis maupun saat melakukan tender. Dia mencontohkan perselisihan yang terjadi antara PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dan PT Hutama Karya (Persero) dalam memperebutkan tender.

Perusahaan BUMN menurutnya tak selayaknya berselisih paham. Dalam hal visi misi, seharusnya perusahaan BUMN beradu visi, misi, efisiensi dan harga saat mengikuti tender dengan perusahaan asing. Hal ini tak akan terjadi jika perusahaan BUMN, sudah terbentuk holding. Ia mengatakan, saat  mengikuti tender bukan perusahaan-perusahaan BUMN yang terlibat tetapi cukup induk holding yang terlibat dalam tender.

Hafisz mengatakan pembentukan holding akan terbentuk perusahaan BUMN yang lebih spesifik. Dia mencontohkan seperti BUMN strategis dijadikan 8 atau 10 induk holding BUMN. Nantinya induk-induk holding tersebut akan membawahi perusahaan-perusahaan BUMN. Menurutnya dengan pembentukan holding akan sangat efektif karena sifatnya jangka panjang.

"Jadi BUMN konstruksi yang berbicara induk holdingnya, begitu juga transportasi dan pelabuhan yang berbicara hanya induk holdingnya," kata Hafisz di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (22/2).

Hafisz juga menyinggung rencana Kementerian BUMN membentuk holding BUMN perbankan. Menurutnya dengan pembentukan holding BUMN perbankan dapat memperkuat modal kerja dan membiayai program pembangunan infrastruktur pemerintah.

Dia mencontohkan perbankan BUMN ingin membiayai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di India, jika hanya Bank Mandiri yang mendanai pembangunan PLTA tersebut, dari segi permodalan Bank Mandiri tidak kuat untuk mendanainya.

Hal itu berbeda jika pembangunan PLTA tersebut didanai oleh holding  perbankan BUMN. Menurutnya dengan pembentukan holding BUMN perbankan, masing-masing aset perbankan dijadikan satu sehingga aset bisa terkumpul ratusan triliun.

Mekanisme penggabungannya, misalnya Bank Mandiri memiliki aset sebesar Rp840 triliun, Bank BRI asetnya sebesar Rp800 triliun, Bank BTN asetnya sebesar Rp300 triliun, Bank BNI asetnya Rp400 triliun, seluruh aset tersebut akan digabung menjadi satu dengan total ribuan triliun.

"Mereka (perbankan BUMN) asetnya jadi sama. Jadi saling memiliki. Itulah esensi sebuah holding," kata Hafisz.

Kendati demikian, Hafisz  mengingatkan dalam pembentukan holding Kementerian BUMN harus meminta persetujuan DPR karena BUMN merupakan aset rakyat dan kekayaan negara yang dipisahkan. Jika mengacu kepada UU Perbendaharaan Negara, kekayaan BUMN dikelola secara komersil oleh direksi dan komisaris. Jika tidak diawasi aset negara dan tidak dikelola secara benar. Untuk itu fungsi DPR adalah mengawasi dan menuntut tanggung jawab direksi dan komisaris.

Dia menambahkan meski pembentukan holding belum diatur UU, pemerintah masih bisa menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) untuk memuluskan pembentukan holding BUMN. Namun penerbitan PP tersebut tidak bertentangan dengan UU yang berlaku.

Oleh karena itu, saat ini Komisi VI DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) BUMN, RUU tersebut akan mengatur mengenai pembentukan holding BUMN. Sebab dalam pembentukan holding BUMN, secara bersamaan juga akan mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Perusahaan BUMN. Jika AD/ART perusahaan BUMN berubah, maka Kementerian BUMN harus meminta persetujuan DPR.

"Kalau tidak diawasi, siapa yang bertanggung jawab. Kita harus awasi karena ini aset negara," kata Hafisz.

POTENSI PERAMPOKAN ASET - Namun Anggota Komisi VI DPR RI Nasril Bahar mengingatkan bahwa pembentukan induk holding akan berakibat perusahaan BUMN di luar induk holding statusnya akan menjadi anak usaha. Dimana sejauh ini terdapat perbedaan definisi antara DPR dengan Kementerian BUMN mengenai status anak usaha BUMN.

Menurut versi Kementerian BUMN, status anak usaha BUMN tidak lagi menjadi aset negara. Namun, menurut DPR mengacu kepada UU Perbendaharaan Negara bahwa anak usaha BUMN merupakan aset negara.

Nasril mengungkapkan, Komisi VI DPR khawatir  terjadinya perubahan status itu akan menimbulkan perampokan atas perusahaan BUMN yang statusnya berubah menjadi anak usaha. Sebab aset-aset anak usaha BUMN itu dianggap bulan lagi aset negara.

"Artinya, ini menggugurkan perusahaan BUMN menjadi anak usaha. Bayangkan saja ada 10 BUMN, dijadikan satu holding, kan perusahaan lainnya menjadi anak usaha. Dirampok itu, bisa hilang aset negara," kata Nasril kepada gresnews.com.

Untuk itu Nasril meminta sebelum membentuk holding BUMN, Kementerian BUMN harus bisa menunjukkan holding BUMN apa saja yang sukses dalam menjalankan bisnisnya, baik itu holding semen, holding pupuk atau pun holding perkebunan. Kementerian BUMN juga diminta memaparkan tujuan pembentukan holding tersebut kepada Komisi VI DPR RI. "Jangan dikit-dikit holding tapi bentuk holdingnya gak jelas. Pasti keberatan kita," kata Nasril.

BACA JUGA: