JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah sepertinya masih bingung untuk memutuskan pengelolaan Blok Masela. Pemerintah memang dihadapkan pada dua model pengelolaan yaitu di lepas pantai (offshore) atau di darat (onshore). Kedua model ini membawa konsekuensi tersendiri bagi masyarakat Maluku, khususnya Kabupaten Maluku Tenggara di mana Blok Masela berada.

Masyarakat setempat menginginkan pengelolaan Blok Masela dilakukan di darat. Harapannya tentu akan ada tenaga kerja diserap dan roda ekonomi lainnya bergerak termasuk pajak. Sementara Inpex dan Shell selaku pemegang kontrak investasi menginginkan pengelolaan di lepas pantai dengan alasan murah.

Dalam rapat terbatas membahas masalah ini di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (1/2) sore, Presiden Joko Widodo mengaku belum bisa memutuskan cara mana yang mau digunakan. Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengakui masih adanya perbedaan pandangan yang sangat tajam antara pengelolaan di darat dan di laut.

Karena itu, kata Pramono, Presiden Jokowi tidak memutuskan sistem pengelolaan Blok Masela segera pada hari itu. "Presiden akan mengundang secara khusus investor dalam hal ini Inpex dan Shell untuk didengarkan karena mereka yang nanti akan menjalankan," tegas Pramono seperti dikutip setkab.go.id, Senin (1/2) sore.

Meski begitu, Pramono Anung membantah, perbedaan ini telah membuat Presiden Jokowi bingung. Perbedaan pendapat ini, kata dia, justru memperkaya Presiden dalam mengambil keputusan.

"Bahwa ada yang berargumentasi di laut dengan sejumlah argumentasi yang ada. Dari cost recovery kemudian juga pendapatan negara dan sebagainya dan sebagainya. Termasuk juga yang berasumsi di darat akan menimbulkan multiplier effect bagi masyarakat sekitar," kata Pramono.

Jokowi mengambil langkah hati-hati dengan alasan proyek lapangan gas abadi Blok Masela, di Kabupaten Maluku Tenggara itu akan menjadi proyek gas terbesar di dunia. "Memang perlu kesabaran untuk memutuskan. Karena keputusannya tidak boleh salah," ujar Pramono Anung.

Jokowi sendiri di awal rapat menekankan dua hal penting terkait pengelolaan Masela. Pertama, adalah amanat konstitusi yang menyatakan secara tegas dan jelas bahwa pemanfaatan sumber daya alam itu harus benar-benar untuk semua orang dan bukan untuk segelintir orang atau sekelompok orang.

"Kedua juga perlu saya sampaikan bahwa kita harus bisa memanfaatkan minyak dan gas," kata Presiden.

Pemanfaatan minyak dan gas tersebut, lanjut Jokowi, harus menciptakan nilai tambah, untuk memberikan multiplier effect seperti yang telah disampaikan pada saat rapat yang lalu. Multiplier yang dimaksud pada perekonomian daerah dan pada perekonomian wilayah Timur terutama.

"Oleh sebab itu kali ini saya persilakan bisa Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional-red) atau menteri yang lain untuk menyampaikan mengenai nilai tambah atau multiplier effect yang berkaitan dengan pembangunan daerah," jelas Jokowi.

Presiden memang masih akan memanggil investor dan kontraktor untuk membahas masalah ini lebih lanjut. Jokowi mengaku mengaku masih ingin mengetahui secara langsung hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan wilayah di sekitar blok Masela.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, tahapan berikutnya Presiden memang akan mengundang pihak Inpex dan Shell. "Kemudian sesudah itu barangkali dalam waktu dekat akan segera difinalkan," ujarnya.

HARAPAN MASYARAKAT - Dalam rapat kemarin, ikut pula hadir Gubernur Maluku Said Assagaff. Presiden Jokowi menegaskan ingin mendengarkan langsung bagaimana aspirasi masyarakat Maluku terkait pengelolaan Blok Masela.

"Tapi ini juga karena ada Pak Gubernur (Maluku) saya kira juga perlu kita dengar juga hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan wilayah keinginannya seperti apa," kata Jokowi.

Gubernur Maluku Said Assagaff mengatakan, dia mengapresiasi rapat yang dipimpin oleh Presiden Jokowi itu, yang meminta pendapat dari pemerintah daerah. Dia menegaskan, yang terpenting bagi rakyat Maluku adalah masyarakat bisa sejahtera dan berharap pertumbuhan ekonomi terjadi dalam beberapa tahun yang akan datang terkait pengembangan gas di Pulau Masela.

"Saya berterima kasih bisa mendengar beberapa tentang perbedaan dan itu menjadi masukan yang sangat berharga," kata Assagaff.

Dia sendiri berkeyakinan, Jokowi akan mengambil keputusan terbaik yang bisa diterima semua pihak dan dengan senang hati karena ini untuk kepentingan rakyat banyak. Hal senada juga disampaikan Menteri ESDM Sudirman Said.

"Kami sepakat saya kira bahwa Presiden pasti akan mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa, bagi pembangunan daerah, bagi pertumbuhan ekonomi wilayah daerah,” kata Sudirman.

Menurutnya, pesan Presiden adalah apapun yang dipilih maka yang paling utamakan adalah bagaimana keberadaan Blok Masela itu bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi setempat.

Sudirman mengakui mengambil keputusan apakah akan dikelola secara onshore atau offshore bukan keputusan mudah. Semua adalah hitung-hitungan bisnis. Jika dibangun offshore, maka dibutuhkan investasi sebesar US$14,3 miliar.

Sedangkan, jika dibangun onshore, yaitu di Pulau Tanimbar atau Selaru, maka biayanya US$19,8 miliar. Kemudian, jika dibangun onshore yang lokasinya di Pulau Aru dengan jarak 600 kilometer (km) maka dibutuhkan investasi sebesar US$22,3 miliar.

"Itu angka-angka yang dikemukakan sejak awal. Pasti investor inginnya yang nggak telalu mahal," ujar Sudirman Said.

Sudirman meminta jangan sampai terjadi perpecahan di antara masyarakat karena masalah lokasi pembangunan blok Masela. Alasannya, Sudirman menilai tahapan proyek masih cukup jauh.

"Saya mengingatkan masyarakat jangan terbelah karena barangnya masih jauh, masih 10 tahun lagi. Makanya saya sekarang netral, nggak punya preferensi, sebagaimana presiden juga tidak punya preferensi," kata Sudirman.

Dia menambahkan, saat ini yang ditunggu adalah Plan of Development (PoD) atau rencana pembangunan dari para investor yang berminat menggarap blok Masela. "Jadi keputusan untuk memberikan izin kepada investor melalui detailed study, merancang. Jadi masih jauh ini. Nah, 2019 awal atau 2018 akhir, akan ada keputusan final, apakah akan jadi berjalan atau tidak," tutur Sudirman.

JADI PERTANYAAN DPR - Polemik soal pengelolaan Blok Masela ini juga sebelumnya menjadi pertanyaan anggota DPR. Komisi VII DPR ingin mengetahui dengan tegas apakah pengelolaan Masela akan dilakukan offshore dengan fasilitas pengolahan kilang terapung (FLNG) atau skema onshore dengan menggunakan pipa di darat.

"Isu yang paling hangat pada blok Mahakam sampai saat ini apakah ini akan di Offshore atau Onshore," tanya anggota Komisi VII Kurtubi saat Rapat Kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM Sudirman Sid di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (26/1).

Menurut Kurtubi, persoalan ini mestinya tidak terjadi jika tata kelola migas itu tidak seperti sekarang. "Jadi UU Migas itu merusak industri LNG nasional. Mestinya dengan UU Nomor 8 Tahun 1971 hak untuk membangun pabrik LNG itu Pertamina, meskipun pendanaan tidak dari APBN," kata politisi dari Fraksi Nasdem ini.

Mestinya, lanjut Kurtubi, Pertamina bisa menunjukkan otoritas kepada bank bahwa ia memiliki cadangan agar bank memberikan pinjaman dalam membangun pabrik LNG. "Pertamina yang bangun pabrik LNG di Arun dan Badak, demikian pula setelah pabrik LNG selesai dibangun Pertamina juga yang mengoperasikan proses LNG itu, maka terbentuklah PT LNG Arun dan PT LNG Badak, di bawah kekuasaan negara," paparnya.

Ia menegaskan, industri LNG menjadi rusak dikarenakan UU Migas yang menghancurkan sistem itu. Sehingga yang membangun pabrik LNG adalah kontraktornya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII dari daerah pemilihan Malku Mercy Chriesty Barends meminta pemerintah bersifat terbuka terhadap masalah Blok Masela ini. "Sebagaimana diketahui masalah Blok Masela sudah menjadi perdebatan yang cukup lama. Bagi Maluku sudah sejak tahun 2008, sampai hari ini ternyata masih berlarut-larut juga. Kita sangat butuh kejelasan tentang Blok Masela ini," terang Mercy.

"Kami sebagai wakil rakyat yang mewakili Maluku butuh beberapa hal untuk menjadi jaminan bagi masyarakat Maluku, ketika produksi hendak dilakukan UU mensyaratkan bahwa pemegang hak produksi itu akan melepaskan fee 10% bagi wilayah yang dimandatkan negara," tambahnya.

Mercy berharap apapun keputusan baik onshore maupun offshore pengelolaan itu setinggi-tingginya akan menguntungkan Indonesia dan menyejahterakan masyarakat Maluku secara khusus. (dtc)

BACA JUGA: