JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah menjual PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) kepada investor terganjal UU Penerbangan No 1 Tahun 2009. Sebagai jalan keluarnya, Komisi IV DPR RI menyarankan pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (perpres) yang khusus mengatur soal penjualan seluruh saham Merpati.

Sebagaimana diketahui, UU Penerbangan No 1 Tahun 2009 mengatur adanya asas cabotage. Asas ini menegaskan batas kepemilikan asing atas saham airlines nasional maksimal 49 persen. UU tersebut tidak memandang apakah divestasi terhadap perusahaan penerbangan itu dilakukan dalam kondisi keuangan yang sulit ataupun tidak.

Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir menilai Merpati sudah tidak layak lagi untuk diperjuangkan untuk hidup kembali. Dia menilai persaingan dunia airlines sudah sangat ketat. Karena itu DPR meminta pemerintah untuk tak lagi menyuntikkan modal kepada Merpati.

"Harus dicarikan solusi permodalan lewat skema kerjasama. Karena itu, opsi menjual Merpati adalah salah satu jalan pemecahannya," kata Hafisz kepada gresnews.com, di Jakarta, Jumat (29/1).

Nah, lantaran ada ganjalan asas cabotage di UU Penerbangan, pemerintah disarankan menerbitkan Perpres agar ada dasar hukum bagi pemerintah mencari investor untuk Merpati. Dengan begitu, penjualan saham Merpati bisa digenjot hingga melampaui batasan 49 persen.

Terlebih saat ini, kata dia, sudah era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). kemudian di sektor lain, seperti properti, asing juga sudah bisa masuk. Karena itu, wajar jika Merpati dilepas saja ke investor asing yang berminat.

Hafisz mengatakan, beban pemerintah terlalu berat jika harus selalu menyuntikkan modal lagi kepada Merpati. Untuk itu, pemerintah harus menempuh skema bisnis yang sudah ditentukan.

Dia menambahkan hal yang penting dalam permasalahan Merpati adalah Merpati bisa jalan atau hidup kembali. "Yang penting Merpati bisa jalan dan utangnya selesai. Itu yang penting," kata Hafisz.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana menjelaskan sebelum Merpati dijual kepada investor, pemerintah harus membentuk tim penilai terhadap aset-aset yang dimiliki oleh Merpati. Tim penilai tersebut nantinya yang merekomendasikan aset-aset Merpati apa saja yang layak dijual dan tidak layak dijual.

Menurutnya jika hasil dari tim penilai tersebut menyatakan bahwa aset milik Merpati bernilai di atas Rp100 miliar, maka harus meminta persetujuan dari Komisi VI DPR RI. Namun jika di antara Rp10 miliar sampai Rp100 miliar, maka hanya meminta persetujuan oleh Presiden.

Azam menilai pemerintah terlampau lambat dalam menindaklanjuti rekomendasi dari Panitia Kerja Merpati. Menurutnya dalam rekomendasi tersebut terdapat usulan-usulan strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Pemerintah pun juga harus mempunyai road map yaitu dengan cara tetap melayani jalur-jalur perintis, tetapi jangan dibuka kepada pihak swasta. Kesalahan pemerintah kepada Merpati adalah ketika Merpati sukses membuka jalur perintis, kemudian pemerintah juga membuka kesempatan swasta masuk.

Hal inilah yang membuat Merpati kolaps karena harus langsung beradu dengan swasta. Seharusnya pemerintah berpihak kepada penerbangan perintis BUMN. "Kita tidak mengambil keputusan tentang penjualan Merpati. Pemerintah yang telat dalam menjalankan rekomendasi DPR," kata Azam kepada gresnews.com.

PATUHI UU - Terkait usulan DPR agar pemerintah menerbit Perpres penjualan Merpati, Deputi Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K.Ro menepis kemungkinan itu. Dia mengatakan, untuk penyelamatan Merpati, Kementerian BUMN harus mengikuti aturan UU Penerbangan.

Untuk itu, pemerintah belum bisa memutuskan apakah asas cabotage yang membatasi kepemilikan saham asing di airlines nasional hanya sebesar 49 persen bisa diubah. karena itu, pemerintah untuk menghidupkan kembali Merpati hanya bisa berupaya mencari investor yang berminat sesuai aturan yang ada.

Karena itu, kata Aloysius, Kementerian BUMN berupaya upaya mendatangkan investor yang dinilai mampu untuk menyelamatkan Merpati. "Ini kan dalam rangka penyelamatan BUMN, jadi dia harus dihidupkan dengan undang investor strategis, strategic sales. Kita selesaikan di sini approve (persetujuan) dari regulator, Kemenkeu dan Kemenko," kata Aloy.

Aloy belum dapat mengungkapkan kepada investor mana Merpati akan ditawarkan. Namun hal tersebut baru bisa dilakukan setelah ada keputusan pemerintah. "Investor ajukan proposal dulu. Investor juga ambil risiko loh. Merpati minus Rp 5,3 triliun, negatif ekuitasnya," ujarnya.

Menurutnya jika disetujui oleh pemerintah, nantinya Kementerian BUMN akan meminta persetujuan kepada Komisi VI DPR RI. Jika disetujui oleh DPR, langkah selanjutnya Kementerian BUMN akan melakukan tender kepada investor strategis.

Dia menargetkan persetujuan dari pemerintah dalam waktu minggu ini, kemudian akan dibahas dengan DPR di bulan Februari.

MASIH DIBAHAS - Merpati memang sedang dalam kondisi mati suri sejak tak beroperasi lagi mulai Februari 2015 lalu. Salah satu opsi yang dipilih untuk membangkitkan BUMN yang asetnya sudah minus Rp5,3 triliun ini, pemerintah tengah membahas opsi privatisasi.

Pemerintah berniat mencari investor untuk Merpati agar bisa beroperasi lagi. Upaya ini dilakukan setelah Kementerian BUMN menyelesaikan masalah tunggakan gaji karyawan Merpati yang nilai mencapai Rp300 miliar.

Saat ini opsi privatisasi itu tengah dibahas di lingkup Kementerian Koordinator Perekonomian. "Ada beberapa BUMN yang mau diprivatisasi, kebanyakan bermasalah, ya kayak Merpati," ungkap Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, usai rapat koordinasi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (28/1).

Hanya saja pembahasan soal ini memang terkesan berlarut-larut. Rencana untuk privatisasi BUMN penerbangan tersebut perlu dibahas lebih lanjut oleh pemerintah, sebelum pengambilan keputusan.

"Masih perlu rapat lagi," kata Menteri Perhubungan Ignasius Jonan usai rapat koordinasi di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, Jakarta, Kamis (28/1)

Jonan menambahkan, Merpati sulit untuk dijual ke investor asing. Dikarenakan dalam aturan yang berlaku, investor asing hanya boleh memiliki 49% atas saham perusahaan penerbangan. Merpati pun menurutnya, tidak akan mendapat pengecualian. Kecuali ada perubahan undang-undang.

Sejauh ini Jonan belum ada rencana untuk pengajuan revisi atas UU. "Tidak akan dikecualikan, kalau mau dikecualikan, UU-nya harus diubah," kata Jonan. (dtc)

BACA JUGA: