JAKARTA, GRESNEWS.COM - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan telah mengetahui hasil kajian pengembangan Blok Masela di laut Arafura Maluku dari konsultan  independen asal Amerika Serikat (AS) Poten dan Patners. Kajian tersebut untuk mengetahui kelayakan pembangunan kilang Blok Masela apakah secara kilang terapung atau pembangunan kilang di darat.

Sebab sebelumnya Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli mempersoalkan usulan Inpex Corporation dan Shell selaku Participating interest (PI) di proyek Blok Migas Masela yang ingin membangun kilang dengan metode terapung (Floating Liquefied Natural Gas/FLNG). Rizal menilai rencana pembangunan kilang terapung  tidak menguntungkan Indonesia karena tidak memiliki efek bagi pengembangan kawasan kepulauan Aru, atau kawasan Indonesia Timur pada umumnya. Sehingga ia mengusulkan akan lebih baik kilang dibangun di darat. Sehingga daerah kepulauan Aru bisa lebih maju, seperti halnya Balik Papan. Karena pembangunan itu akan menggerakkan ekonomi sekitarnya.

Terkait polemik tentang pembangunan  antara kilang terapung dan kilang di darat. Selanjutnya pihak Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) dan SKK Migas membuat kajian yang dilaksanakan oleh konsultan Asing tersebut.

Kepala Subbagian Komunikasi dan Protokoler SKK Migas Zuldadi Rafdi mengatakan, meski belum secara resmi mendapatkan hasilnya. SKK Migas selaku regulator hulu telah mengetahui hasil kajian Poten dan Patners soal pengembangan Blok Masela.  Menurutnya hasil kajian, mengarah pada rekomendasi untuk melalui metode terapung (FLNG)

"Untuk hasil kajian telah diserahkan ke panitia yang dibentuk Direktorat Jenderal Migas, dan hasil kajian Poten lebih mengarah ke FLNG," kata Zuldadi di Jakarta, Senin (28/12).

Namun Zuldadi belum mau menjelaskan secara rinci hasil kajian pengembangan Blok Masela tersebut. Jadi itu termasuk estimasi terkait investasi pembangunan fasilitas pengelolaan terapung yang diklaim mampu memproduksi gas sebanyak 7,5 ton pertahun (mtpa).

"Mungkin besok pak Menteri ESDM yang akan menjelaskan langsung," katanya.

Polemik tentang rencana pengembangan proyek gas alam cair atau liquefaction natural gas (LNG) di ladang Gas Abadi Blok Masela, di Laut Arafura, Maluku akhir-akhir terus bergulir. Hingga Kementerian Energi Sumber Daya Mineral belum bisa memutuskan kepastian pembangunan kilang diblok tersebut. Apakah akan dibangun secara terapung (floating) atau di darat. Mereka mengaku masih menunggu hasil kajian dari sejumlah pihak.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said telah berjanji sebelum akhir 2015 akan telah memutuskan rencana metode kilang di Blok tersebut.  "Saya berjanji sebelum akhir tahun 2015, akan diputuskan" kata Sudirman di Gedung Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, Selasa (22/12).

Saat itu Sudirman mengatakan akan menunggu laporan tim independen Poten dan Partner untuk melihat rekomendasi pembangunan Blok Masela. "Ya kita masih menunggu laporan, Kalau sudah kita terima akan saya pelajari," ungkapnya.

Menteri ESDM Sudirman memang tidak bisa serta merta mengiyakan usulan para Participating interest (PI) Blok Mahakam untuk membangun kilang Blok Mahakam. Sebab Menko Maritim Rizal Ramli meminta untuk dikaji kembali rencana pembangunan kilang secara terapung tersebut

Rizal memandang akan lebih baik jika kilang dibangun di darat, melalui penarikan pipa dari Blok Masela ke Pulau Aru. Sebab akan ada efek ekonomi bagi masyarakat dengan pembangunan kilang ke darat.

Bahkan jika unit pengolahan berada di Pulau Aru akan menciptakan lapangan kerja bagi penduduk lokal. Selain itu industri baja di dalam negeri juga memperoleh keuntungan karena ada pembangunan pipa. "Belum lagi kalau kita bangun industri downstream-nya (hilir) seperti pupuk dan petrochemical," katanya.

Selain itu, jika dibangun pipa gas dari Blok Masela ke Pulau Aru. Bila ditemukan cadangan gas baru antara Masela dan Aru, maka cadangan baru itu  dapat disambung melalui jalur pipa tersebut. Sementara jika menggunakan kilang terapung, jika ada cadangan baru maka harus membangun kilang terapung lagi. "Dari pipa sampai Aru kemungkinan ditemukan cadangan gas-gas baru, jadi nanti tinggal disambung saja pipanya," katanya.

Apalagi cadangan migas di Blok Masela sangat besar cadangan potensinya mencapai 10 TCF (triliun kaki kubik). Bila kilang LNG dibangun di Pulau Aru, ia yakin, Pulau Aru akan maju, bahkan bisa seperti Kota Bontang yang juga terdapat kilang LNG atau Kota Balikpapan, di Kalimantan Timur yang juga terdapat Blok Mahakam.

"Masela ini blok gas yang besar sekali potensinya, jauh lebih besar dari Kangean. Dalam 10 tahun mungkin kita bikin lebih besar dari Kota Bontang, atau Balik Papan," katanya.

Karena itu, pihaknya meminta Kementerian ESDM dan SKK Migas mengevaluasi secara menyeluruh apakah lebih baik membangun kilang terapung atau pipa gas ke Pulau Aru. Namun, Rizal sendiri lebih memilih opsi membangun pipa.

Rizal mengakui, sebenarnya proyek kilang terapung usulan yang menarik. Investment Rate Return (IRR) proyek ini mencapai 15%. Lalu ada potensi pendapatan bagian negara sebesar US$ 43,8 miliar. Teknologi kilang terapung pun tergolong sangat baru.

Namun dia menyebut, biaya pembangunannya tak sedikit, mencapai US$ 19,3 miliar atau sekitar Rp 270,2 triliun (kurs US$ = Rp 14.000). Sedangkan kilang di darat investasi hanya US$ 14,6-15 miliar, artinya lebih hemat. Selain  kilang LNG di darat akan memberikan multiplayer efek yang cukup besar bagi rakyat Pulau Aru.

LEBIH MURAH TERAPUNG - Namun Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mencoba meluruskan hitung-hitungan Rizal. Menurutnya kalau onshore (didarat) justru biaya investasinya lebih mahal yakni US$ 19,3 miliar. Sementara floating LNG (FLNG) hanya butuh US$ 14,8 miliar. Jadi jauh lebih murah FLNG.

Selain butuh biaya lebih besar, pembangunan kilang onshore juga akan memakan waktu lebih lama, sebab perlu kajian terlebih dahulu selama kurang lebih 1,5 tahun. "Kalau bangun pipa perlu waktu lebih lama, perlu dibuat kajian lagi sampai 1,5 tahun lagi, makan waktu," ujar Amien dalam konferensi pers di City Plaza, Jakarta, September lalu.

Pembangunan kilang onshore perlu pembebasan lahan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun dan proses yang berlarut-larut.  Sehingga pilihan ini membahayakan kelangsungan proyek.

Sementara itu, meski dibangun  terapung Pulau Aru tetap akan bisa mendapatkan alokasi gas dari Blok Masela. Baik melalui pipa yang disambung dari FLNG. Jika yang dibangun adalah FLNG, LNG tinggal diangkut ke Pulau Aru dengan mini LNG.

Selain itu, menurut Amien agar proyek ini dapat membawa manfaat bagi penduduk Pulau Aru dan Indonesia Timur. Inpex telah berencana membantu pembuatan galangan kapal untuk produksi kapal LNG di Pulau Saumlaki. Dengan begitu, Indonesia tak perlu mengimpor kapal-kapal untuk pengangkut LNG di masa mendatang.

Untuk itu pihaknya tak setuju usulan Rizal bangun pipa dan kilang onshore di Pulau Aru karena Blok Masela harus segera berproduksi. Jika yang dibangun adalah kilang onshore, waktu proyek menjadi lebih lama. Sementara di sekitar Blok Masela ada banyak blok-blok gas besar milik Australia. Diantaranya Lapangan Gorgon, Itchis, dan Prelude di Australia Utara yang memulai produksi dalam waktu dekat.

Jika Blok Masela terlambat berproduksi, pasar gas di Asia Pasifik akan dikuasai blok-blok milik Australia. Mereka sebentar lagi onstream, kalau produksi Blok Masela tertunda, nanti marketnya kalah dari blok-blok di Australia. "Proyek-proyek di Australia merupakan kompetitor, kalau kita telat market-nya sudah dikuasai mereka," ujarnya.

Untuk itu, Amien mendesak agar Menteri ESDM Sudirman Said segera memutuskan pembangunan FLNG di Blok Masela. "Blok Masela harus segera dikembangkan, tidak bisa ditunda-tunda," katanya.

KAJIAN FORTUGA - Menanggapi polemik itu Menko Maritim sempat meminta bantuan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 73 yang tergabung dalam forum tujuh tiga (Fortuga) untuk melakukan kajian terhadap pembangunan kilang LNG Blok Masela.  Hasil kajian menyatakan mereka menolak keras rencana pemerintah melalui Kementerian ESDM untuk membangun kilang terapung Liquefaction Natural Gas (LNG) di Lapangan Gas Abadi, Blok Masela di Laut Arafura, Maluku.

"Ya kalau darat sudah jelas barangnya, karena banyak contoh di Indonesia, tetapi untuk yang terapung belum jelas  dari sisi investasi dan manfaatnya," kata Yoga  Suprapto usai konfrensi pers di Kantor Menko Maritim, Jakarta, Selasa (22/12).

Yoga mengungkapkan, jika dari sisi pendapatan, pembangunan kilang LNG di darat  dan laut juga telah menunjukkan perbandingan angka yang signifikan. Karena pendapatan kilang LNG yang dibangun di darat lebih besar US$  7,1 miliar dibanding pembangunan kilang LNG di laut. Sementara dari sisi pendapatan PSC juga  lebih tinggi di darat.

"Kalau di darat sebesar US$ 31,3 miliar kemudian untuk terapung hanya sebesar US$ 24,2 miliar. Pendapatan PSC terapung hanya mencapai US$ 16,1 miliar, selanjutnya kalau darat US$ 20,7 miliar," paparnya.

Menurutnya, apalagi untuk market atau pemasaran masih belum jelas. Maka  perlu ditunda pembangunan kilang tersebut. "Apa market sudah ada, jadi terapung itu marketnya masih di awang-awang. Maka harus jelas bencmarknya, delay 1 atau 2 tahun asal lebih baik, itu tidak masalah. Natuna 40 tahun delay, jadi jangan membesar-besarkan  ada perubahan dari terapung ke darat," ujar Yoga.

Menanggapi hasil kajian Fortuga. Staf Ahli Menteri ESDM, Said Didu, justru menilai langkah Menko Rizal meminta rekomendasi Fortuga sangat berbahaya dan sarat kepentingan, serta menjurus pada dugaan nepotisme.

"Ini berbahaya, bagaimana bisa seorang pemimpin di pemerintahan meminta saran rekomendasi atas kebijakan yang mau diambilnya, kepada kumpulan teman-teman, bukan ahli profesi, bukan organisasi resmi, tidak ada badan hukumnya, ini berbahaya," ujar Said, Selasa (22/12).

Ia mengatakan, berbahayanya langkah ini, karena tidak ada jaminan rekomendasi tersebut bebas kepentingan pribadi dan kelompok. Selain itu juga tidak bisa dipertanggungjawabkan.

"Saya tegaskan ini bahaya. Apa di sana tidak ada kepentingan pribadi atau kelompok, apa tidak hanya ingin cari pekerjaan saja, kalau salah rekomendasinya apakah bisa dipertanggung jawabkan? Itu kan teman-teman kongkow, apakah mereka ahli semua di sana? Ini penghinaan bagi ahli-ahli profesi," tegas Said.

DIBANTAH ALUMNI ITB - Namun dukungan terhadap Rizal itu justru  dibantah Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) lainnya. Mereka  menyatakan membantah memberikan dukungan kepada Menko Maritim Rizal Ramli, terkait desakannya meminta Kilang LNG Blok Masela dibangun di daratan tepatnya di Pulau Saumlaki, Maluku.

"Banyak alumni yang keberatan, tidak semua alumni ITB mendukung Rizal Ramli. Kalangan alumni ITB pun ada dua sudut pandang mengenai Blok Masela," kata Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni ITB, Betti Alisjahbana, Rabu (23/12).

Bahkan meluruskan pendapat itu  pihaknya mengadakan forum dialog Alumni ITB pada 9 Oktober 2015 yang diikuti 130 alumni ITB dari berbagai angkatan dan jurusan. Hasil kajian ada yang condong pembangunan kilang dengan metode floating maupun di darat. (Agus Irawan/dtc)


BACA JUGA: