JAKARTA, GRESNEWS.COM - Petani garam menuntut keadilan harga garam kepada pemerintah. Di tengah panen raya garam yang sedang berlangsung, mereka meminta pemerintah dapat menjaga keamanan produksi, menyelaraskan kebijakan, dan memberlakukan harga sesuai aturan.

Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur, Mohammad Hasan, menyatakan petani garam saat ini membutuhkan keadilan harga. Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No.02/DAGLU/PER/5/2011 tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petani Garam, telah ditentukan harga garam kualitas I dipatok Rp 750/kg dan kualitas II Rp 550/kg.

"Akan tetapi HPP di level petani masih di bawah HPP yaitu sekarang Rp 350 sampai Rp 400," kata Hasan kepada gresnews.com, Selasa (22/9).

Melihat persoalan itu, Hasan menengarai penyebab utamanya adalah belum kondusifnya tata kelola garam. Permainan harga, kata dia, rawan terjadi akibat penentuan kualitas produksi diserahkan kepada perusahaan.

"Saran kami, pemerintah menunjuk lembaga badan uji mutu yang independen sehingga semuanya transparan. Sebab, penentuan kualitas I, II, III itu ada di tangan perusahaan," tuturnya.

Terkait produksi petani, Hasan menyebutkan,  pada musim tahun ini panen raya garam berlangsung cukup baik seiring terjadinya anomali cuaca. Saat ini, salah satu wilayah di Jawa Timur seperti Madura menyumbang kontribusi produksi cukup besar dengan capaian 60 persen untuk total kebutuhan garam nasional.

Importasi garam dituding sebagai penyebab rendahnya penyerapan produksi garam petani. Lagi-lagi, permainan itu tidak terlepas dari kepentingan bisnis dan ulah para importir. Pemerintah didorong agar konsisten menerapkan kebijakan sesuai aturan yang berlaku.

Permainan garam menjadi persoalan yang harus segera dihentikan. Sebab, para petani maupun perhimpunan petani garam khawatir bilamana nasib petani terus berada di bawah bayang-bayang pengusaha.

"Untuk itu, harus ada tata niaga dan deregulasi di tataran pemerintah. Harus ada komitmen dan goodwill sehingga petani merasa terbantu dan tidak dirugikan," tutur Hasan.

KONSISTENSI ATURAN - Hasan mengamati, serangkaian aturan yang berlaku saat ini masih berantakan dan rentan dilanggar. Salah satunya sengkarut sistem tata kelola garam.  Ketentuan impor garam yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 58 Tahun 2012 menyebut bahwa impor dilakukan satu bulan sebelum panen dan dua bulan pasca-musim panen. Namun, pada kenyataannya terjadi penyimpangan, mereka tetap mengimpor di bulan-bulan panen raya.

"Kebijakan importasi garam sudah jelas diatur demikian. Itu tidak boleh dilanggar karena akan ada rembesan garam," tegasnya.

Selain konsisten menegakkan aturan, pemerintah disarankan mendorong aturan-aturan yang efektif melindungi petani garam dalam negeri. Deregulasi atau penataan kembali dimaksud agar lebih berpihak pada kepentingan masyarakat petani. Salah satu aturan yang dinilai perlu diberlakukan kembali adalah penetapan kebutuhan aneka pangan yang sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 134 Tahun 2009 mengenai kluster garam dimana aneka pangan dipenuhi oleh garam konsumsi.

Namun, dalam perkembangannya, aturan tersebut kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88 Tahun 2014 dimana pemenuhan aneka pangan harus dipenuhi garam industri.

Menurutnya, transisi aturan itu patut dipertanyakan. Jika peraturan yang berlaku demikian, maka petani bakal terus menjerit karena kesulitan memenuhi standar kebutuhan garam industri. Sehingga, deregulasi berkaitan dengan penentuan aneka pangan tetap dimasukan dalam kebutuhan garam konsumsi.

"Kenapa itu dilakukan padahal sebelumnya pemenuhannya bisa dilakukan oleh garam konsumsi. Perlu deregulasi ke garam konsumsi agar hasil petani terserap. Kami harapkan aneka pangan dikembalikan ke garam konsumsi lagi. Selama ini, berdampak pada tumpang tindih kebijakan importasi," katanya.

PENYERAPAN GARAM TERHAMBAT - Keberadaan PT Garam sebagai tempat penampungan produksi petani diharapkan dapat mendukung nilai ekonomi petani sesuai standar HPP.

Kepala Divisi Penyerapan Garam Rakyat PT Garam Budi Sasongko mengatakan, sampai hari ini petani masih berharap pada PT Garam untuk segera menyerap hasil produksi. Namun, menurutnya, harapan tersebut untuk saat ini belum bisa dipenuhi. "PT Garam masih menunggu Penyertaan Modal Negara (PMN)," ujar Budi kepada gresnews.com.

PMN yang sedianya akan dikucurkan pemerintah kepada PT Garam sebesar Rp 300 miliar saat tak kunjung tiba. Berdasarkan data PT Garam, target total penyerapan produksi petani tahun ini yaitu 350 ribu ton. Namun, karena alasan keterbatasan bantuan penyertaan modal, hingga hari ini per awal September 2015, baru sekitar 70 ribu ton yang berhasil diserap PT Garam. "Targetnya harus terus naik selama panen raya. Akhir masa panen diprediksi Desember," ujarnya.

Di satu sisi, PT Garam masih berharap agar hasil produksi petani yang kini sedang diuji KKP melalui laboratorium dapat menyamai kualitas yang dibutuhkan industri pangan. Sesuai hasil pengamatan di lapangan, Budi melihat sudah mulai ada peningkatan kualitas garam petani berkat bantuan teknologi geoisolator dan geomembran pemerintah.

Sebagaimana diketahui, PT Garam hingga kini baru berhasil mengelola 30 persen produksi garam nasional dengan total lahan yang relatif minim yaitu lima ribu hektar.

Dengan adanya PMN nantinya, Budi menyebut PT Garam berencana mengucurkan anggaran Rp 7 miliar untuk persiapan lima ribu hektare lahan baru di wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur. Akibat terkendala okupasi dengan masyarakat setempat, ia memprediksi pembukaan lahan itu kemungkinan baru bisa dicapai tahun depan.

BACA JUGA: