JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tudingan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli terkait keberadaan  tujuh kartel garam yang memainkan tata niaga garam dibenarkan oleh  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tujuh importir garam yang disebut Rizal sebagai 7 begal garam ini diakui tengah dalam penyelidikan lembaganya.

Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf membenarkan lembaganya tengah menginvestigasi keberadaan 7 perusahaan yang memainkan harga dan pasokan garam impor di dalam negeri. "Kalau Pak Rizal bilang ada 7 memang benar, importir yang sedang kita selidiki ada 7 perusahaan yang main di impor garam," katanya, Selasa (22/9).

Menurut Syarkawi para investigatornya tengah menyelidiki perusahaan-perusahaan tersebut. Modus para pemain ini dalam mengakali kuota impor garam juga bermacam-macam.

Namun menurut Syarkawi,  jauh sebelum isu kartel garam ini mencuat, KPPU sebenarnya telah menyelidiki dugaan kartel yang dilakukan 7 importir garam sejak 2013. "Kalau yang khusus garam impor baru dari tahun 2013. Tapi kalau kartel garam lokal malah sudah lama kita usut," ungkapnya.

Bahkan KPPU mengaku telah menyelidiki  praktik curang bisnis garam ini sejak tahun 2006. Dari hasil penyelidikan itu sudah ada perusahaan yang diadili di KPPU dan dihukum karena melakukan kartel garam.

Kendati demikian, Syarkawi mengatakan, kasus kartel garam yang diusut lembaganya saat itu hanyalah kartel garam lokal. "Itu hanya yang kartel garam lokal. Jadi pembelian garam di petani itu hanya dikendalikan beberapa kelompok saja, sehingga harga di petani rendah," ujarnya.

Syarkawi mengungkapkan, meski kasusnya sedikit berbeda, dengan kasus kartel garam lokal. Kasus kartel garam impor,  pihak yang dirugikan masih sama yakni petani garam lokal, karena garam impor merembes ke pasar garam petani.  "Hanya beda modus saja," ujar Syarkawi.

MODUS PARA KARTEL - Menurut Syarkawi, setidaknya ada 3 modus dalam praktik kartel yang dilakukan importir garam. Modus pertama,  pelaku kartel melakukan pembelian garam dengan harga rendah di luar negeri. Hanya Rp 500/kg, kemudian menjualnya ke pasar dalam negeri sebesar Rp 1.500/kg, indikasinya dari keuntungan yang berlipat.

Modus kedua, pembelian garam lokal hanya dilakukan oleh sekelompok usaha sehingga membuat harga garam dari petani sangat rendah. "Kartel garam lokal bisa terjadi karena ketergantungan petani garam kepada pengepul yang jumlahnya tidak banyak," katanya.

Disebutkan Syarkawi, harga garam lokal dipatok tengkulak/pengepul hanya Rp 200/kg. Padahal, harga pokok pembelian (HPP) garam lokal yang diberlakukan saat ini Rp 750/kg untuk garam kualitas pertama, Rp 550/kg untuk garam kualitas kedua, dan Rp 450 untuk garam kualitas ketiga.

Sedang modus ketiga, kombinasi antara kedua modus di atas. Praktik ini terjadi karena pemerintah mewajibkan importir garam menyerap garam lokal dalam jumlah tertentu sesuai kuota impor yang didapat. Namun sebelumnya mereka gelontorkan garam impor ke pasar garam lokal. Akibat rembesan ini harga garam lokal turun. Saat harga garam turun inilah menjadi kesempatan importir menyerap garam petani.

"Jika melihat modus terakhir, dugaan kartel mengerucut pada 7 perusahaan importir garam yang saat ini sudah lama menguasai pasar garam industri," katanya.

Namun Syarkawi menolak menyebut siapa ke-7 pemain garam lokal tersebut. "Kalau saya sebut nanti mengganggu kerja investigator kita," katanya.

Kendati belum sepenuhnya mengantongi bukti, ia memastikan, indikasi adanya kartel dalam pengadaan garam impor sebenarnya sudah jelas. Dugaan kartel ini bisa dilihat dari harga beli dan harga jual yang dipatok importir garam di dalam negeri.

"Kita lihat gampangnya saja, mereka beli di luar negeri dengan harga rendah sekali, hanya Rp 500/kg. Lalu  mereka jual di dalam negeri Rp 1.500/kg. Kalau pun ada ongkos transportasi dan sebagainya, untungnya tetap sangat besar," ujarnya.

Dengan harga jual yang tinggi itu, importir garam bisa mengantongi keuntungan di atas Rp 2 triliun setahun. Sebagai misal pada tahun 2014 saja impor garam ada 2,25 juta ton, jika dikalikan margin untungnya Rp 1.000/kg. Berarti ada Rp 2,25 triliun. "Ini  besar sekali," jelasnya.

Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menyebut munculnya kartel impor garam ini akibat penggunaan sistem kuota. Garam menurutnya contoh klasik perdagangan yang diatur oleh kuota baik langsung maupun tidak langsung. Kuota ini menurutnya juga diberlakukan di gula, daging, dan banyak komoditi impor lain.

Sistem kuota ini dinilai hanya menguntungkan para importir pemegang kuota. Ketika harga garam di luar negeri murah, masyarakat di dalam negeri tidak menikmati dampaknya. Rizal pun menyebut ada 7 pemain garam impor yang selama ini mengacaukan sistem tata niaga garam. Ia pun menyebut para importir itu sebagai   ´7 begal garam´.

"Kalau gula namanya 7 samurai. Demikian juga di garam ada 7, saya sebut 7 begal garam," ujarnya.

KEMENDAG BANTAH ADA KARTEL - Kementerian Perdagangan (Kemendag) adalah pihak yang paling tersudut dengan adanya kisruh tata niaga garam ini dan tudingan adanya 7 kartel garam ini. Kementerian Perdagangan pun membantah jika impor garam dikendalikan oleh 7 perusahaan. Menurut  Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Karyanto Suprih, sejauh ini ada 25 perusahaan yang mendapatkan izin impor garam dari Kemendag.

Diakuinya dari 24 importir itu, sebanyak 7 importir merupakan perusahaan besar. Meski demikian, 7 perusahaan itu bergerak di bidang industri farmasi. Industri farmasi harus mengimpor garam berkualitas tinggi dengan kadar NaCL di atas 97%. Jenis garam ini belum mampu dipasok dari garam lokal.

Ia menjelaskan, bahwa impor garam tidak mengenal istilah kuota. Pihaknya memberikan izin impor kepada siapa pun asalkan telah mendapat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).  "Tidak pernah ada istilah kuota dalam impor garam," tandasnya.

Ia juga enggan membenarkan atau menyalahkan pernyataan Rizal Ramli bahwa ada 7 begal garam yang tercipta akibat penggunaan sistem kuota dalam pengaturan  impor garam. "Tanya sama yang buat pernyataan itu," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: