JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perbankan tanah air mendapat kabar gembira setelah Financial Action Task Force (FATF) mengumumkan Indonesia resmi keluar dari blacklist (daftar hitam) negara yang memiliki kelemahan strategis dalam rezim anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme berdasarkan proses review International Cooperation Review Group (ICRG) FATF. Hal itu ditegaskan oleh Duta Besar Direrktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Hasan Kleib sebagai perwakilan Indonesia dalam pertemuan pleno FATF yang digelar di Brisbane, Australia pada tanggal 21-26 Juni 2015.

"Berdasarkan kesepakatan yang diambil dari public statement sejumlah negara anggota FATF, Indonesia dinyatakan resmi keluar dari black list," kata Hasan ditemui gresnews.com di usai acara konferensi pers di Gedung Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta Pusat, Jumat (26/6).

Lebih lanjut, Hasan menggarisbawahi, sebenarnya secara struktur organisasi Indonesia bukan merupakan anggota yang bernaung langsung di bawah FATF. Namun, Indonesia tidak bisa melepas diri seutuhnya dari FATF karena sebelumnya telah terikat dalam keanggotaan Asia Pacific Group on Money Laundering.

PERKUAT LALU LINTAS DEVISA - Dalam kesempatan terpisah, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartanti mengatakan, keputusan FATF tersebut menjadi kabar gembira dan patut diapresiasi. Sebab, dari segi manfaat ekonomi, dapat menarik kepercayaan (trust) publik internasional dan menata kembali iklim bisnis serta investasi dalam negeri. 

"Dimana, pihak luar secara perlahan mulai mempercayai pengelolaan dan pengawasan perbankan dalam Indonesia," ujar Enny dihubungi gresnews.com, Jumat (26/6).

Meski terbebas dari sanksi FATF, namun Indonesia dinilai masih memilik banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Enny menilai perlu adanya pengawasan dan penguatan kontrol terhadap lalu lintas devisa melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

Menurut Enny, inisiatif penguatan sangat diperlukan mengingat devisa merupakan salah satu alat dan sumber pembiayaan yang penting bagi negara sehingga kepemilikan atau penggunaan devisa serta sistem nilai tukar perlu diatur sebaik-baiknya untuk memperlancar lalu lintas perdagangan, investasi dan pembayaran luar negeri.

"Jika Indonesia tidak ingin terjebak lagi oleh sanksi internasional, maka kita harus perkuat pengawasan lalu lintas devisa misalnya melalui otoritas moneter dan dibarengi upaya pencegahannya," katanya.

Sebab, Enny mengamati, selama ini lalu lintas devisa dalam negeri masih berantakan. Dimana, masih banyak para pengusaha yang menyimpan dana di luar negeri berupa devisa hasil ekspor sementara dana tersebut tidak dikembalikan ke dalam negeri. Ia khawatir, bila pemerintah tidak menertibkan lalu lintas devisa ini bakal menimbulkan masalah dikemudian hari. Misalnya penggelapan uang, pencucian uang, pendanaan terorisme maupun praktek kriminal perbankan lainnya.

LANGKAH INDONESIA - Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan Indonesia menggunakan strategi untuk keluar dari persepsi buruk FATF. Yakni memperkuat pengawasan dan pengelolaan perbankan dari tindak kriminal seperti praktek pencucian uang (money laundering) dan pendanaan terorisme.

Namun demikian, Yusuf mengakui, sanksi yang dijatuhkan FATF kepada Indonesia terjadi akibat minimnya standar regulasi dan sistem penguatan pengawasan mengenai penindakan kriminal di bidang perbankan. Terkait hal itu, Yusuf menyebut, ada tiga komponen dasar yang berhasil meyakinkan pihak FATF yang selama ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang lemah dari segi tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Pertama, pengesahan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua,  penguatan legislasi nasional melalui pengesahan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Ketiga, Peraturan Bersama antara Kemlu RI, Kepolisian RI, PPATK, BNPT, dan Mahkamah Agung yang telah diundangkan pada tanggal 11 Februari 2015 dan telah ditempatkan dalam Berita Negara RI Tahun 2015 Nomor 231. Peraturan Bersama tersebut, dimaksudkan sebagai kerangka dasar soal petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan UU Nomor 9 Tahun 2013.

"Ketiga aturan tersebut digunakan sebagai dasar penindakan kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme di Indonesia," kata Yusuf ditemui gresnews.com.

Bahkan Yusuf mengatakan, ketiga teks normatif itu sudah mulai gencar dijalankan pemerintah. Sebagai contoh kasus, Yusuf mengatakan, kini PPATK sepakat menegakan aturan pembekuan aset yang mencurigakan bersama lembaga penegak hukum terkait baik Kepolisian dan Kejaksaan.

Terbukti, Yusuf mengungkapkan, PPATK pada bulan Maret 2015 lalu berhasil menelusuri aliran transaksi ilegal sebesar Rp 7 miliar dari Australia ke sejumlah rekening pihak yang tak diketahui identitasnya di Indonesia dengan tujuan pendanaan terorisme. Namun, Yusuf tidak menjabarkan lebih detail pihak dan oknum yang terlibat.

Kemudian, dalam siaran pers PPATK yang diterima Gresnews.com, Jumat (26/6), disebutkan pada Februari 2015 telah diterbitkan Peraturan Bersama mengenai pencantuman Identitas Orang dan Korporasi dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris serta pembekuan aset milik terduga teroris.

Dalam rilis disebutkan, pemerintah bersama Penyedia Jasa Keuangan telah mengimplementasikan komitmen bersama dengan berhasil membekukan dana gelap sebesar Rp 2.083.684.874 per Mei 2015 yang bersumber dari 26 rekening bank.

Untuk itu, Yusuf mengaku optimis soal pandangan dunia internasional terhadap komitmen dan keseriusan Pemerintah Indonesia terkait upaya pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan terorisme.

POLA PENCUCIAN UANG - Dalam keterangannya, Yusuf menjelaskan ada sejumlah modus operandi yang selama ini digunakan oleh oknum dalam menggelapkan uang. Ia mengungkapkan, biasanya transaksi gelap untuk tujuan kriminal tertentu bersifat kelompok (group) yang mana melibatkan sejumlah oknum. Ilustrasinya, lanjut Yusuf, biasanya ditandai dengan gejala awal yakni dari proses transaksi dana gelap baik dari luar maupun yang berasal dari Indonesia.

Setelah uang masuk ke rekening tujuan, pelaku kerap mengaburkan jejak transaksi dengan memperbanyak account rekening.

"Setelah hasil transaksi keuangan masuk ke satu rekening kemudian disebarkan ke rek lain. Pelaku pakai nama samaran atau alias dengan beragam account berbeda," ungkap Yusuf.

Sanksi yang dijatuhkan FATF, telah dimulai sejak bulan Februari 2012 lalu. Dalam FATF di Paris, Prancis, Jumat (17/2), Sekretaris Eksekutif FATF Rick McDonell saat itu memasukan Indonesia kedalam daftar hitam karena menganggap Indonesia tidak mampu memenuhi rekomendasi memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Alasan FATF saat itu, Indonesia dinilai memiliki kelemahan dalam memberantas tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme. Terkait hal itu, Yusuf kembali menjabarkan lebih jauh soal apa dampak yang diterima Indonesia setelah mendapat sanksi FATF.

Ia menerangkan, ada sejumlah mekanisme soal penilaian negara tertentu ke dalam daftar blacklist. Dimana, kesepakatan itu diputuskan melalui mekanisme public statement (pernyataan umum) terkait kesiapan tata kelola perbankan suatu negara dalam berbagai aspek.

Misalnya, ketika Indonesia diklaim masuk daftar blacklist,  artinya tercantum secara otomatis sebuah alarm atau peringatan (warning) bagi negara yang ingin menjajakan investasi atau bisnis dalam negeri. Dengan kata lain, setiap negara yang masuk daftar blacklist akan ditandai warning atau tidak direkomendasikan sebagai negara aman untuk transaksi atau kegiatan perbankan.

BACA JUGA: