JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membatalkan penggabungan Unit Usaha Syariah (UUS) milik perbankan BUMN yang diantaranya Bank Mandiri Syariah, Bank BRI Syariah, Bank BNI Syariah dan UUS Bank BTN. Batalnya penggabungan perbankan syariah tersebut menindaklanjuti kunjungan Presiden Joko Widodo untuk memberikan kesempatan bagi pihak asing bekerjasama dengan perbankan syariah Indonesia tersebut.

Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo menjelaskan negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk atau Gulf Cooperation Counsil (GCC) memiliki niat untuk ikut berpartisipasi membangun perekonomian di Indonesia. Dalam kunjungan Presiden Jokowi tersebut, GCC menginginkan bekerjasama dengan perbankan syariah Indonesia.

Tentunya, jika perbankan syariah Indonesia dijadikan satu maka GCC tidak memiliki opsi untuk memilih perbankan syariah apa saja yang cocok dan layak untuk diajak bekerjasama.

Selain itu, Gatot menambahkan dengan batalnya penggabungan perbankan syariah Indonesia tentunya akan semakin banyak mitra yang berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sehingga akan semakin banyak transfer teknologi, pengetahuan dan modal yang masuk.

Gatot mengatakan akan menyerahkan sepenuhnya kepada direksi perbankan syariah dalam hal kerjasama dengan negara-negara yang tergabung dalam GCC. Sebab para direksi mengetahui mitra mana saja yang cocok untuk diajak untuk bekerjasama.

"GCC kan punya pengetahuan yang lebih baik. Mereka (GCC) akan membawa modal dan teknologi. Kalau syariah dijadikan satu, tidak ada opsi bagi GCC untuk bekerjasama," kata Gatot di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (16/1).

WACANA TERUS TERTUNDA - Sebelumnya pemerintah kerap melontarkan wacana merger perbankan syariah pelat merah, yaitu Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, BNI Syariah, dan BTN Syariah. Namun rencana merger bank syariah milik negara justru dikhawatirkan menimbulkan masalah baru jika tidak disertai suntikan modal baru.

Direktur Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dhani Gunawan Idhat pernah menyebutkan bila terjadi merger tanpa tambaha modal yang terjadi hanya penciutan jumlah bank syariah semata. "Bisa ada pengurangan karyawan dan lainnya," katanya di Bogor, Sabtu (21/11/2015).

OJK selaku regulator industri perbankan syariah meminta pemerintah untuk menyuntikkan modal jika rencana tersebut direalisasikan. Dampak dari merger bank syariah BUMN juga menimbulkan penurunan porsi pasar perbankan syariah nasional apabila tidak didukung penambahan permodalan.

Menurut data OJK, dalam 3 tahun terakhir pangsa pasar bank syariah turun menjadi 4,57 persen pada Mei 2015, dibandingkan akhir 2014 sebesar 4,89 persen. Kalau tidak ditambah modal, yang tadinya 4,8 persen dapat turun menjadi 4,5 persen.

Dhani memandang bahwa dengan penambahan modal, maka bank syariah hasil merger akan naik kelas menjadi bank kategori BUKU III ataupun BUKU IV. Sehingga, kegiatan bisnisnya ke depan pun akan lebih luas dari sebelumnya.

FOKUS MERGER BANK BUMN - Menanggapi hal itu, pengamat perbankan Deni Daruri mengatakan pemerintah seharusnya lebih fokus menggabungkan induk usaha bank BUMN ketimbang penggabungan bank syariah BUMN. Menurutnya sangat aneh ketika penggabungan hanya dilakukan di tingkat anak usaha ketimbang induk usaha.

Apalagi karakter perbankan syariah BUMN hanya seperti ´sampah´ bagi induk usahanya karena ketika ada permasalahan di induk usaha, maka masalah nasabah akan diserahkan kepada bank syariah.

Dia menilai penggabungan bank syariah BUMN tidak akan memiliki dampak yang signifikan bagi persaingan perbankan dalam menghadapi MEA. Dia mengatakan untuk meningkatkan daya saing, pemerintah meningkatkan kinerja perbankan yaitu dengan melakukan konsolidasi perbankan.

"Ga da signifikannya penggabungan bank syariah. Bank syariah sudah seperti ´sampah" saja," kata Deni kepada gresnews.com.

Sebagaimana diketahui, Kementerian BUMN berencana menggabungkan perbankan syariah milik perbankan BUMN. Penggabungan tersebut bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan perbankan syariah yang saat ini dinilai masih mengalami perlambatan.
Sebab saat ini total ekuitas yang dimiliki perbankan syariah secara keseluruhan masih kurang dari Rp9 triliun. Besaran ekuitas tersebut dinilai masih kurang untuk bersaing dengan tingkat perbankan syariah secara global yang sudah memiliki ekuitas lebih dari Rp9 triliun.

Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan perkembangan bisnis perbankan syariah pada mengalami penurunan di tahun 2015. Pertumbuhan aset sempat mencapai 49 persen pada tahun 2013, mengalami penurunan hanya tumbuh sekitar 43 persen di tahun 2015.

Menurunnya pertumbuhan perbankan syariah tidak hanya dari sisi aset, namun juga pembiayaan dan dana pihak ketiga (DPK). Bahkan pertumbuhannya jauh dibawah perbankan konvensional, terbukti pembiayaan hanya tumbuh 5,5 persen, jauh lebih rendah dibanding perbankan konvensional yang tumbuh 8 persen.

Kemudian diperparah dengan meningkatnya rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF), terbukti angka NPF berada di angka 4,89 persen di tahun 2015. OJK menyatakan terdapat lima hambatan yang menyebabkan pertumbuhan perbankan syariah mengalami perlambatan diantaranya, permodalan kecil, biaya dana yang mahal, biaya operasional yang belum efisien, layanan yang belum memadai, kualitas Sumber Daya Manusia dan teknologi yang masih tertinggal jauh.

 

 

 

 

BACA JUGA: