JAKARTA, GRESNEWS.COM - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai industri perbankan Indonesia menjadi biang kerok dari berbagai permasalahan di industri properti. Salah satunya terkait banyaknya kerugian yang dialami konsumen dalam pengajuan Kredit Perumahan Rakyat (KPR).

Peneliti Koalisi atas Responsi Bank dari YLKI Sularsi mengungkapkan, hasil penelitian YLKI pada triwulan I 2016 mengungkapkan, banyak bank tidak memberikan akses informasi dan edukasi yang cukup kepada konsumen dalam melakukan penawaran produk KPR.

"Selama ini pihak bank selalu lepas tangan dengan wanprestasi yang dilakukan developer dalam berbagai bentuk, seperti gagal bangun, status tanah dan bangunan yang bermasalah, dan tidak ada kepastian refund," kata Sularsi di sela-sela diskusi tentang berbagai persoalan yang dihadapi konsumen dalam proses KPR di Cheese Cake Factory, Jl. Cikini Raya No. 16 Menteng, Jakarta, Kamis (14/4).

Sularsi juga menjelaskan, backlog (jumlah rumah yang belum atau tak tertangani) perumahan di Indonesia mencapai 13,5 juta unit rumah pada tahun 2014. Sementara, pasokan rumah terbangun hanya sebesar 400 ribu unit per tahun, sehingga terjadi ketimpangan suplai.

Akibat adanya ketimpangan suplai tersebut, harga rumah di Indonesia melambung tinggi serta tidak terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dia juga menyebutkan, keterlibatan bank dalam penyediaan properti ternyata tidak menjamin proses penyediaan rumah dan KPR bebas masalah, sebab dari hasil penelitian YLKI terungkap masalah Perjanjian Kerja Sama (PKS) tidak memberikan perlindungan konsumen.

"Adanya pembatasan pemilihan produk, kurangnya koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PU-Pera) dalam praktik lapangan," tuturnya.

BANK HARUS TANGGUNG JAWAB - Industri perbankan memang dalam kurun waktu 2013-2015 menjadi pihak yang paling banyak dikeluhkan konsumen, berdasarkan pengaduan yang diterima YLKI. Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, pada 2015, pengaduan konsumen terkait industri perbankan menempati peringkat pertama. Sementara pengaduan konsumen soal perumahan menempati peringkat kelima.

"Jadi beberapa tahun belakangan yang menguat adalah masalah perbankan dan perumahan, kalau untuk pengaduan perbankan paling banyak soal kartu kredit, namun untuk perumahan tentang masalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan ada juga masalah harga apartemen, baik masalah perawatan serta lainnya," kata Tulus pada kesempatan yang sama.

Data YLKI menyebutkan, sepanjang tahun 2015 ada 176 pengaduan di sektor perbankan. Sejumlah 70 pengaduan diantaranya adalah terkait kartu kredit. Kemudian berikutnya adalah 49 aduan soal pinjaman, 23 aduan tentang KPR, 20 aduan tabungan, 7 aduan ATM dan CDM, 4 aduan terkait deposito dan bilyet giro, 2 aduan mengenai uang elektronik, dan 1 aduan telemarketing. Masalah lain yang juga banyak diadukan adalah soal pembobolan rekening sebanyak 31 aduan, diikuti 23 terkait penolakan rekening bank.

Terkait KPR, aduan paling banyak ditujukan kepada Bank BTN sebanyak 12 aduan. Berikutnya BNI dengan enam aduan dan satu aduan untuk CIMB Niaga, Bank BCA, Bank DKI Syariah, Bank Danamon, dan Bank Panin. Kebanyakan persoalan KPR yang diadukan adalah jaminan kredit, biaya, bunga, denda, pelayanan nasabah, developer, dan gagal bayar.

Terkait bunga, misalnya, seringkali bank menjadikan rendahnya bunga KPR sebagai penarik minat konsumen. Biasanya bunga rendah ini diberikan secara tetap selama satu atau dua tahun. Kemudian setelahnya harus mengikuti mekanisme pasar. Nah, saat mengikuti pasar inilah, banyak konsumen yang tidak menerima secara utuh informasi dari bank.

Akibatnya, nasabah dengan dana pas-pasan kerepotan membayar beban bunga yang tinggi dan kesulitan membayar cicilan. Bahkan bisa terjadi penumpukan utang baru akibat kurang bayar di beberapa bulan sebelumnya. Menjadi tak terhindarkan adalah kredit macet yang nantinya bisa merugikan bank.

Melihat tingginya pengaduan konsumen, Tulus menegaskan, pihaknya meminta perbankan lebih bertanggung jawab soal penyaluran KPR. Ada hal-hal yang menjadi perhatian oleh pihak perbankan dalam mengucurkan KPR.

"Jadi harus melihat track record pengembangnya dan mengedukasi konsumen untuk memahami perjanjian-perjanjian dalam kontrak KPR. Pasalnya banyak masyarakat yang tidak paham kontrak-kontrak perjanjian KPR, sehingga konsumen dirugikan," tegas Tulus.

YLKI mendesak perbankan untuk mempunyai tanggung jawab moral kepada masyarakat, dalam penyaluran KPR, agar perbankan tidak hanya sekadar mengejar target penyaluran kredit. Tulus juga mengingatkan konsumen untuk tidak tergiur membeli properti di kawasan yang berpotensi bermasalah.

"Misalnya soal reklamasi, konsumen diharapkan tidak tergiur promosi rumah di daerah reklamasi. Pengembang ada potensi masalah, harusnya perbankan tidak langsung mengucurkan KPR, sehingga konsumen tidak dirugikan akibat masalah yang dialami pengembang," pungkasnya.

BUNGA KPR BELUM BANYAK TURUN - Sebelumnya, terkait masalah bunga KPR, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan beberapa kali dalam 3 bulan terakhir hingga menjadi 6,75%. Sayangnya, bunga kredit perbankan belum banyak yang bisa menyesuaikan.

"Masih belum banyak yang turun, tapi sudah mulai ada," ungkap Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/4).

Pentingnya menurunkan bunga kredit, menurut Eddy, agar masyarakat lebih mudah untuk mendapatkan rumah. "Seharusnya turun lagi biar orang gampang beli rumah," imbuhnya.

Selain itu, turunnya bunga kredit akan mendorong penjualan properti. Sebab, dengan bunga yang rendah, konsumen lebih berani dan mampu membeli properti. Sebaliknya, jika bunga kredit tinggi, maka konsumen akan takut membeli properti karena khawatir beban bunga terlalu berat.

"Kalau pernurunan bunga kredit pasti akan mendorong penjualan. Karena dengan bunga turun, orang lebih mampu membeli dan lebih berani. Kalau bunga tinggi kan orang takut nanti tiba-tiba ada gejolak atau apa, ekonomi melambat atau apa. Takut beban terlalu berat," papar Eddy. 

Secara umum, Eddy melihat sektor properti masih akan tumbuh pada 2016. Seiring dengan perbaikan ekonomi. Bila dilihat berdasarkan jenis rumah, untuk kalangan menengah ke bawah sudah ada peningkatan. "Kalau menengah ke bawah meningkat, yang belum itu justru menengah ke atas," pungkasnya.

PROGRAM SATU JUTA RUMAH TERSENDAT - Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pereknomian Darmin Nasution menyatakan program satu juta rumah yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK saat ini mengalami hambatan. Ada sejumlah kendala yang akhirnya mempersulit masyarakat untuk menikmati program tersebut. Terutama dari sisi regulasi perumahan. "Salah satunya soal peraturan sehingga kita perlu menyederhanakannya," kata Darmin di kantornya, Jakarta, Selasa (12/4).

Darmin menjelaskan ada dua kendala dalam program satu juta rumah ini. Pertama, dari sisi penawaran ada kendala ketersediaan kredit untuk sektor properti, terutama para pengembang kecil. Kemudian, perizinan dan persyaratan pembangunan perumahan yang berbelit-belit, panjang dan mahal.

Kedua, dari sisi permintaan, ada hambatan mulai dari ketersediaan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dengan bunga terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah hingga rendahnya akses masyarakat terhadap produk perbankan, salah satunya terkait dengan isu bankability.

Dalam rakor ini terungkap banyaknya peraturan yang tumpang tindih dan seharusnya tidak diperlukan untuk pembangunan perumahan untuk MBR. Selain itu, pengembang juga dihadapkan pada ketidakpastian harga pengurusan izin.

Verifikasi yang telah dilakukan menunjukkan ada 33 izin/syarat yang diperlukan untuk mengurus perizinan dan akan dipangkas menjadi 21 izin/syarat. Penyelesaian izin selama ini juga membutuhkan waktu sekitar 753-916 hari. Adapun biaya untuk perizinan ini dapat menghabiskan biaya hingga Rp3,5 miliar untuk area perumahan seluas 5 hektare.

Darmin menargetkan, setidaknya dalam waktu sekitar 1-2 bulan mendatang, dapat dibuatkan paket peraturan yang lebih baik. "Kita akan mendesain ulang perihal ini sehingga masyarakat berpenghasilan rendah benar-benar dapat menikmati," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: