JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dwelling time atau waktu tunggu kapal untuk bongkar muat di pelabuhan laut Indonesia diketahui merupakan yang terburuk di Asia Tenggara.  Hal itu diduga karena regulasi yang berbelit dan tidak terkoordinasikannya sejumlah pemangku kepentingan di pelabuhan. Di samping karena faktor letak geografis pelabuhan.

Masalah dwelling time pelabuhan Indonesia merupakan persoalan lama dan berlarut, namun tak kunjung teratasi. Sebelum Presiden Joko Widodo murka karena melihat dwelling time Pelabuhan Tanjung Priok yang kelewat lama, persoalan itu telah dilaporkan Ombudsman, karena keluhan pengguna jasa pelabuhan yang penat dengan persoalan waktu tunggu ini.  

Pada 2014, lembaga ini  bahkan  melaporkan hasil kajiannya terhadap empat pelabuhan besar yakni, Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Belawan (Medan) dan Soekarno Hatta (Makassar).  Dari kajian itu ditemukan lima bentuk maladministrasi,  berupa penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, tidak kompeten, penyalahgunaan wewenang, dan pungutan tidak resmi oleh oknum.
 
"Ada 8 instansi yang terlibat di sini, harus dicek mana yang paling berpengaruh atas dwelling time pelabuhan," kata Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Edi Nursalam kepada Gresnews.com, Selasa (23/6).

Maladministrasi dalam bentuk penundaan berlarut di antaranya lamanya proses pengurusan perizinan larangan dan pembatasan (lartas), penerbitan Nomor Induk Kepabean (NIK). Serta  ketidakpastian waktu layanan pemeriksaan dari proses pemeriksaan hingga respon dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pada penyimpangan prosedur terdapat pelayanan di pelabuhan yang tidak maksimal 24 jam dalam tujuh hari dan pemeriksaan karantina yang dilakukan di luar wilayah pelabuhan. Sementara, maladministrasi dalam bentuk, tidak kompetennya kinerja pemeriksa kontainer jalur merah (behandle) dan pemeriksa karantina yang belum optimal. "Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada juga belum seluruhnya menguasai regulasi," tambahnya.

Pada proses penerbitan Nota Pembetulan (Notul) pun terdapat oknum yang mempermudah atau mempersulit pengeluaran kontainer. Pungutan liar (pungli) oleh oknum di empat pelabuhan tersebut dan beberapa pelabuhan lain sering kali terjadi dan jarang ditindak tegas. "Memang disinyalir ada oknum yang sengaja memperpanjang dwelling time agar ada permainan pungli," kata Edi.

Pungli terjadi saat layanan naik turun barang (lift on-lift off) kontainer di terminal, operator forklift, pembukaan kontainer di behandle, proses penarikan kontainer ke behandle, proses pemeriksaan fisik, sampai dengan dikeluarkannya Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

SALING MENYALAHKAN - Kedelapan instansi yang terkait itu, saat ini sedang dalam keadaan saling menyalahkan atas masa tunggu yang dapat mencapai 12 hingga 30 hari ini. Edi menyatakan, kedelapan instansi tersebut turut berkontribusi dan bertanggung jawab. Seharusnya, jika memang ingin membereskan dwelling time maka harus mengkordinasikan segala kegiatan pelabuhan secara bersama-sama.

"Pelindo jangan menyalahkan pihak lain, seharusnya aktifkan kepala otoritas untuk mengolah pelabuhan," katanya.

Sebab, permasalahan dwelling time di setiap barang akan berbeda, bisa saat karantina, pengeluaran izin, atau penyusunan peti kemas. Ia menyarankan aktivitas-aktivitas tersebut untuk diukur menggunakan satuan hitung untuk kemudian dinyatakan mana yang paling menyita waktu tunggu.

Ia curiga, memang ada oknum orang  yang sengaja memperpanjang waktu tunggu untuk memperkeruh suasana. Sebab diketahui selama ini barang  harus membayar mahal agar tak lama mangkrak di pelabuhan. Sedang kocek yang dirogoh untuk memuluskan waktu tunggu dihargai dengan satuan Dollar.

"Mereka mau cepat ya keluar uang, sebab makin lama waktu tunggunya makin banyak jenis punglinya. Artinya ongkos produksi yang dikirim menjadi lebih mahal," jelas Edi.

Contoh ongkos pengiriman satu peti kemas dari Padang ke Jakarta dapat merogoh kocek hingga Rp5,4 juta, padahal ongkos pengiriman yang sama dari Jakarta ke Singapura hanya Rp1,8 juta. Tak heran pada tahun 2010 lalu, peringkat Logistics Performance Index (LPI) Indonesia terpuruk ke peringkat 75 dari 183 negara. Meski kemudian naik diperingkat 59 pada pertengahan 2012 lalu.

DAMPAK NEGATIF - Persoalan dwelling time di pelabuhan laut ini memberikan dua dampak negatif bagi perekonomian. Pertama, industri berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian karena keterlambatan. Akibatnya mengurangi daya saing produk Indonesia di luar negeri.

Kedua, hambatan dan kemacetan di pelabuhan mendongkrak biaya tinggi bagi usaha domestik dan pada akhirnya merupakan harga yang dibayar oleh konsumen.  Persoalan lainnya Indonesia belum memberikan otoritas penuh pada kepala otoritas. Tanggung jawab masih diberikan secara sepotong-sepotong  dan tak ada kordinasi yang baik. "Memang lembaga otorisasi sendiri baru berdiri sekitar 2-3 tahun lalu, aturan menterinya pun belum klop dengan UU," katanya.

Pasca terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Transformasi Kepelabuhanan di Indonesia menjadi tugas wajib bagi manajemen Pelindo I-IV. UU ini mengatur agar Pelindo I-IV lebih fokus menjadi operator pelabuhan. Dalam arti lain UU 17/2008 telah mengubah mindset pengelolaan Pelindo hanya sebagai operator saja, tidak lagi sebagai regulator seperti periode  sebelumnya.

Data yang berkembang di publik menyebutkan biaya logistik di Indonesia saat ini mencapai 15% lebih ketika dihitung dengan banyaknya pungli salah satunya di pelabuhan. Di Tanjung Priok misalnya, barang yang sampai ke pelabuhan hingga dimuat ke kapal atau sebaliknya dari proses bongkar barang hingga keluar dari areal pelabuhan memerlukan waktu 4,9 hari bahkan lebih.

Sementara pelabuhan di Jepang hanya memerlukan waktu 3,1 hari. Di Belanda hanya membutuhkan waktu 1,1 hari, Amerika 1,2 hari,  bahkan Singapura hanya perlu 1,0 hari. Perbedaan waktu tunggu yang mencolok antara Indonesia dengan negara lain itu menggambarkan belum efisiennya layanan logistik di negeri ini.

UPAYA PERBAIKAN - Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel pun berusaha mengurangi dwelling time keluar barang dari pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Priok dengan empat solusi. Yakni pertama, barang yang telah masuk di Pelabuhan harus segera dikeluarkan sehingga tidak menjadi beban. Kedua, memfungsikan terminal petikemas di pelabuhan hanya sebagai tempat bongkar muat bukan untuk tempat penimbunan.

Ketiga, terhadap barang-barang yang masih menunggu proses perizinan dari kepabeanan, perindustrian, karantina pertanian, BP POM, dan sebagainya, menjadi tanggung jawab pihak Bea Cukai dan otoritas pelabuhan. Keempat, barang impor yang belum memiliki izin tidak boleh dibongkar di Pelabuhan. Caranya setiap eksportir wajib menyertakan izin pengiriman barang, yang belum mengurus izin maka dilarang untuk masuk dan dibongkar di pelabuhan sehingga tidak menyebabkan terjadinya penumpukan barang di Pelabuhan.

"Selama ini importir baru mengurus dokumen ketika barang telah tiba di Pelabuhan, inilah yang menyebabkan terjadi lamanya barang menumpuk di Pelabuhan," ujarnya.

Menurut laporan Direktur Utama (Dirut) PT Pelindo II, Richard Joost (RJ) Lino, dari delapan kementerian terkait yang harus bertugas di pelabuhan. Saat ini hanya petugas dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Karantina saja yang standby.

KONDISI GEOGRAFIS - Ketua Ikatan Nahkoda Niaga Indonesia (INNI) Anton Sihombing menyayangkan  hingga saat ini tidak ada respons pihak-pihak terkait atas kemarahan Presiden Jokowi pada kasus dwelling time di Tanjung Priok. Ia menyatakan persoalan pokok memang ada di birokrasi yang berbelit-belit.

"Kita salut kepada kementerian yang selalu standby di pelabuhan, karena itu artinya mereka benar-benar bekerja," ungkap Anton.

Namun, kasus dwelling time ternyata tak hanya lantaran masalah-masalah teknis yang disebutkan di atas. Letak geografis Indonesia yang memiliki pelabuhan perairan darat yang sangat sedikit dan sistem sungai yang rentan pendangkalan pun menjadi masalah.

Jika pengerukan tak bisa dilakukan maka kapal-kapal harus menunggu air pasang guna masuk ke pelabuhan. Contoh ini terjadi di pelabuhan Samarinda dan Pantai Utara Jawa yang melayani kawasan padat penduduk.

Masalah lain yang juga mengganjal ada pada sarana dan prasarana kapal, dari sekitar 111 pelabuhan yang ada di Indonesia, hanya ada 16 pelabuhan komersil yang memiliki peti kemas jenis tertentu. Pada pelabuhan yang diusahakan Pelindo, sebagian besar telah memiliki fasilitas yang memadai. Namun bagi pelabuhan yang dikelola pemerintah harus segera dianggarkan perbaikan prasarananya lantaran tertinggal jauh.

"Jika ingin merealisasikan tol laut, pemerintah harus melengkapi sarana prasarana itu. Peralatan konvensional membuat bongkar muat peti kemasnya lambat," kata Edi.

SOLUSI  PENANGANAN - Anggota Komisi V Fauzi Amro menyatakan faktor prasarana ini harus segera dibenahi, stakeholder harus menyediakan tempat penampungan tersendiri agar barang tak menumpuk di pelabuhan selagi mengurus segala macam perizinan. "Selama ini tak ada koordinasi seperti ini, harus ada satu yang bertanggung jawab apabila terjadi kesalahan, seharusnya Dephub," katanya kepada Gresnews.com, Selasa (23/6).

Ia juga mengingatkan budaya pungli harus segera dibasmi. Sebab sudah menjadi rahasia umum para pengusaha selalu ingin proses cepat, sehingga muncul transaksi pungli.

Sementara itu anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golkar Anton Sihombing menambahkan bahwa masalah dwelling time tidak susah dibereskan jika semua pihak terkait duduk bersama dan mencari solusi. Sedangkan Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Sukur Nababan menilai solusi yang diberikan Mendag termasuk hal yang sangat sederhana dan mudah dilaksanakan.

"Kita minta sekarang implementasinya, karena semua orang sudah tahu solusi yang ditawarkan Mendag. Bisa tidak solusi itu membuat perubahan kinerja PT Pelindo II," katanya.

Sudah diketahui, pemilik peti kemas tidak mau barangnya tertahan lama di pelabuhan karena biayanya tinggi. Karena itu, selain empat solusi yang ditawarkan Mendag, hal penting lainnya yang perlu dilakukan menyederhanakan regulasi dan membangun sistem. "Persoalannya ada di otoritas, benahi otoritas dan sederhanakan regulasinya,” katanya.

Solusi yang diberikan Mendag menjanjikan implementasi semua proses bongkar muat di pelabuhan di seluruh Indonesia hanya dilakukan satu hari.

Lain dengan para anggota DPR, Edi mengurai transportasi dari industri pelabuhan juga sering tersendat di Cilincing lantaran semua menggunakan rute jalan raya. Ia pun mengusulkan dibangun jalan kereta api untuk menuju pelabuhan kering (dryport) di Cikarang.

"Industri yang ada di Jababeka harusnya sudah bisa mengurus  administrasi di sana sehingga tak perlu antri panjang di Priok," katanya.

Barang dari gudang atau pabrik bisa langsung dibawa menggunakan kereta api, lalu dokumen eksport bisa langsung diterbitkan untuk kemudian barang langsung dibawa ke pinggir dermaga. "Dengan solusi ini dwelling time bisa sangat diperkecil. Segera fungsikan dryport," sarannya.

BACA JUGA: