Anak bukanlah miniatur orang dewasa yang telah memiliki kematangan mental dan pemikiran. Dalam kehidupannya, anak secara mendasar masih berada pada posisi kerentanan atas proses pendewasaan diri. Dengan pertimbangan itulah maka perlakuan terhadap anak tidak sewajarnya dipersamakan dengan orang dewasa, termasuk ketika anak melakukan suatu tindak pidana dan diproses secara hukum. Demi mewujudkan hal terbaik bagi anak dan masa depannya, terhadap anak harus diberi perlakuan khusus, jauh melampaui tata cara, ketentuan, paradigma yang diterapkan terhadap orang dewasa.

Dalam perkembangan advokasi terhadap hak anak, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang hingga kini masih efektif menjadi dasar utama dalam penanganan perkara pidana anak, masih jauh dari tujuan utama penerbitannya untuk mewujudkan hal terbaik bagi anak tersebut. Berbagai problem yang menyeruak terkait dengan anak sangat sering membuat hati miris seraya cenderung pesimistis terhadap masa depan anak-anak sebagai penerus bangsa. 

Berangkat dari kegelisahan ini pula Institutefor Criminal Justice Reform (ICJR) mengadakan sebuah kajian khusus tentang kondisi anak pelaku tindak pidana di Jakarta dengan berbasis pada putusan pengadilan negeri se-Jakarta tahun 2012, yang secara keseluruhan terdapat 115 putusan yang melibatkan 146 orang anak. Oleh karena studi ini terbatas pada putusan pengadilan negeri di Jakarta, maka studi ini dapat saja dikatakan lebih spesifik terjadi di Jakarta saja, meskipun begitu ini dapat dijadikan perbandingan untuk memberi gambaran umum kondisi anak di Indonesia.

Studi ICJR terhadap sejumlah putusan tersebut kembali menunjukkan keprihatinan terhadap kondisi anak, khususnya anak yang berposisi sebagai pelaku tindak pidana. Meskipun secara konseptual UU pengadilan anak sudah mulai mengarahkan diri untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak, namun berbagai ketentuan yang terdapat di dalamnya justru tidak mendukung hal tersebut.

Titik kelemahan yang penting diperhatikan dari UU Pengadilan Anak antara lain terkait dengan pendampingan bagi anak yang kurang mendukung efektivitas praktiknya di lapangan. Bahwa, meskipun dalam UU telah dinyatakan pendampingan tersebut bersifat wajib, namun tidak ada penjelasan lain mengenai implikasi jika hal ini tidak terpenuhi. Akibatnya, anak sangat sering tidak didampingi, baik oleh penasihat hukum, pembimbing kemasyarakatan maupun oleh keluarga sendiri, tanpa ada akibat serius terhadap proses dan putusan yang dijatuhkan.

Cukup mengejutkan karena persentase alpanya pendamping dalam mendampingi anak lebih besar dilakukan oleh keluarga. Dari 115 perkara, hanya 63 perkara anak pelaku didampingi oleh keluarganya dan pada 52 perkara lainnya anak tidak mendapatkan pendampingan dari keluarga. Ini berarti, jumlah anak yang tidak didampingi oleh keluarga di persidangan hampir mendekati 50% dari total jumlah perkara. 

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan dalam aspek pendampingan oleh penasihat hukum. Dari jumlah data putusan tersebut, terdapat 68 perkara di antaranya anak didampingi oleh penasihat hukum, dan 47 perkara selebihnya anak pelaku tindak pidana tidak didampingi oleh penasihat hukum. Sementara itu, petugas kemasyarakatan justru tampak lebih aktif dalam melakukan pendampingan terhadap anak pelaku tindak pidana. Dari total jumlah perkara tersebut, sejumlah 83 perkara di antaranya anak didampingi oleh petugas kemasyarakatan, dan 32 selebihnya tidak.

Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) memiliki arti penting yang langsung bisa berdampak pada putusan yang dijatuhkan hakim. Oleh UU Pengadilan Anak, hakim sidang diwajibkan mendengar Litmas yang disampaikan oleh pembimbing kemasyarakatan. UU tersebut juga memerintahkan agar hakim mempertimbangkan hasil Litmas tersebut. Namun, UU Pengadilan Anak juga tidak lebih lanjut mengatur tentang implikasi jika hal ini tidak terpenuhi. Sehingga sifat kewajiban keberadaan Litmas, menjadi tidak berbeda dengan sifat ada tidaknya pendampingan oleh para pendamping. Terdapat 30% (34 perkara) dari total perkara dimana perkara pidana anak tidak dilengkapi Litmas.

Pendampingan yang dilakukan oleh penasihat hukum penting untuk ditinjau lebih lanjut. Kesan yang muncul adalah bahwa pendampingan yang dilakukan penasihat hukum belum dikatakan secara maksimal karena pembelaan didominasi dengan lisan. Dari sejumlah 46 ada pembelaan dari penasihat hukum, 27 di antaranya dilakukan secara lisan, dan hanya 19 perkara yang dilakukan secara tertulis. Dalam 68 perkara ada pendampingan dari penasihat hukum, 22 di antaranya juga tidak disebutkan adanya pembelaan dari penasihat hukum anak.

Kondisi umum anak pelaku tindak pidana di Jakarta menunjukkan bahwa penahanan masih menjadi pilihan untuk dilakukan petugas dalam proses perkara pidana anak, dengan prioritas utama penahanan di rumah tahanan negara (Rutan). Persentase penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana di Jakarta mencapai angka 97% (112 perkara), berbanding 3% (3 perkara) anak pelaku yang tidak ditahan. Dan, dari 112 perkara tersebut, hanya 1 yang ditentukan menjadi tahanan kota.

Penahanan terhadap anak umumnya sudah mulai dilakukan sejak proses hukum anak di tingkat penyidikan, dan terus berlanjut hingga putusan. Sehingga, lama masa penahanan menjadi lama, rata-rata mendekati jangka waktu maksimal di semua tingkat pemeriksaan. Studi ini menunjukkan, anak umumnya ditahan dalam rentang waktu 61 s/d 90 hari yakni dalam 67 perkara (60% perkara), diikuti dengan rentang waktu antara 31 s/d 60 hari dengan 37 perkara (33%). Bahkan 4 perkara di antaranya melebihi waktu penahanan normal sebagaimana ditentukan UU Pengadilan Anak.

Perbandingan tuntutan JPU dengan putusan yang dijatuhkan hakim secara umum menunjukkan kesesuaian paradigma. Sebagaimana dalam hal penahanan, paradigma pemenjaraan anak masih menjadi terasa kuat di dua institusi ini. Sanksi pidana secara mutlak menjadi prioritas dalam tuntutan JPU, dimana dalam seluruh perkara, tidak ada satupun tuntutan JPU yang berjenis tindakan. Sementara dari sisi putusan pengadilan, jenis hukuman tindakan yang dijatuhkan sangatlah minim, yakni hanya di 2 perkara saja. Dari sanksi pidana yang hendak dijatuhkan, tuntutan JPU dan putusan pengadilan juga memberi kesan yang sama, yang lebih memprioritaskan bentuk pidana penjara bagi anak. Di tuntutan JPU, hanya terdapat 2 perkara saja dimana JPU menuntut bentuk pidana percobaan bagi anak. Sementara di putusan pengadilan terdapat 4 perkara yang dijatuhi pidana percobaan bagi anak.

Perbedaan yang cukup signifikan antara tuntutan JPU dengan putusan pengadilan terlihat dalam hal penentuan lama masa penjara yang harus dijalani anak. Secara keseluruhan, tuntutan JPU di kisaran waktu 90-180 hari mendominasi dengan 46 perkara, diikuti dengan tuntutan penjara 181-365 hari dengan 25 perkara. JPU sangat jarang menuntut anak dengan tuntutan di bawah 90 hari. Hal ini berbeda dengan putusan pengadilan yang justru lebih didominasi penjara di bawah 90 hari menjadi yang terbanyak (42 perkara) dan rentang waktu 91-181 hari menjadi terbanyak kedua dengan 33 perkara.

Tuntutan JPU di atas 731 hari (2 tahun) cukup tinggi dari total putusan, yakni dalam 18 perkara. 7 di antaranya bahkan melebihi 3 tahun. Meskipun jumlahnya lebih sedikit, penjatuhan pidana dengan total hukuman penjara semacam ini juga bisa didapati di putusan pengadilan. Penjatuhan pidana penjara lebih dari 731 hari (2 tahun) oleh pengadilan terdapat dalam 5 perkara, dimana 4 di antaranya dijatuhkan dengan pidana penjara di atas 1095 hari (3 tahun).

Berbagai kelemahan yang terdapat dalam pasal-pasal UU Pengadilan Anak pada dasarnya tidak saja menimbulkan kerugian besar bagi anak, namun tampak ikut memberi andil dalam pembentukan (atau penguatan) budaya penegakan hukum yang buruk dalam perkara pidana anak. Hal ini diperparah dengan melekatnya paradigma pembatasan kebebasan dalam bentuk penahanan dan perampasan kemerdekaan dalam bentuk pemenjaraan anak, yang seolah-olah harus dilakukan, paradigma apa yang selama ini terjadi terhadap tersangka/terdakwa orang dewasa. Kuatnya kerentanan dan budaya hukum yang tidak baik dalam proses peradilan pidana anak ini secara praktis akan berimplikasi pada pengulangan ketidakramahan sistem ini di masa mendatang ketika UU Pengadilan Anak digantikan dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Rekomendasi:

  • Sistem peradilan pidana anak merupakan bagian dari akar persoalan berbagai kondisi miris yang kerap muncul di masyarakat selama ini. Tidakmendukungnya sistem untuk memperlakukan anak sebagai mungkin, termasuk ketika ia dihadapkan di depan hukum, mesti akan diikuti pula dengan problem lain yang mengekor di belakangnya. Oleh karena itu, dalam situasi transisi seperti sekarang ini (setahun sebelum berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA), segenap pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak harus didorong sejak saat ini untuk lebih sensitif terhadap kondisi anak. Langkah ini merupakan bagian dari penyiapan efektifitas agar persoalan yang selama ini terjadi dapat dibenahi dengan baik di masa mendatang;
  • Kondisi yang sedang berlangsung hingga saat ini merupakan gambaran terburuk dalam komitmen kita dalam melindungi anak. Problem ini tersebar di seluruh pihak yang ikut dalam proses peradilan pidana anak. Dari sisi pendampingan, penguatan peran, fungsi dan kepekaan pendampingan anak oleh pihak-pihak terkait harus dilakukan secara terus menerus, terutama oleh keluarga, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan sebagai bagian upaya perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum;
  • Lebih detail, kondisi buruk yang dihadapi anak saat ini ketika berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai tersangka/terdakwa, paradigma aparatur penegak hukum masih berkutat pada prioritas untuk membatasi dan merampas kemerdekaan anak melalui tindakan penahanan dan pemenjaraan. Ini tidak berbeda dengan paradigma aparatur penegak hukum dalam menangani perkara pidana orang dewasa. Terhadap hal ini, kami sangat mendorong agar setiap institusi penegak hukum untuk melakukan evaluasi terkait penahanan, penuntutan, penjatuhan hukuman dan segala bentuk perlakuan hukum terhadapa anak yang harus berorientasi pada kepentingan dan perlindungan hak asasi anak;
  • Untuk mengefektifkan hal ini dan dalam rangka mengefektifkan ketentuan-ketentuan sebagaimana sudah direvisi oleh UU SPPA, maka sudah saatnya para penegak hukum dan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan anak beberapa alternatif yang dapat ditempuh dalam menangani perkara pidana anak, termasuk penyelesaian di luar jalur formal (diversi) dan memperketat kebijakan untuk menghindari hal-hal yang merugikan masa depan anak. Bahwa meskipun studi ini terbatas pada putusan PN di Jakarta, namun dapat dijadikan sebagai gambaran umum kondisi anak pelaku tindak pidana di Indonesia.


Institute for Criminal Justice Reform
Sufriadi, S.H.
Peneliti/Manager Program

DISCLAIMER: Rubrik Sikap dan Opini merupakan wadah yang terbuka bagi pribadi maupun organisasi untuk menyampaikan sudut pandang terhadap sebuah persoalan (siaran pers, somasi terbuka, pernyataan sikap, testimoni, esai, naskah pidato, paparan hasil riset, deklarasi politik, opini hukum, dan sebagainya). Hanya pengirim naskah yang melampirkan identitas dan kontaknya secara jelas yang akan dimuat. Materi naskah sepenuhnya tanggung jawab pengirim dan tidak serta merta merupakan opini dan sikap Redaksi.

BACA JUGA: