JAKARTA - Sidang kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (6/7/2020). Sidang kali ini merupakan lanjutan dari sidang yang digelar pada Rabu (1/7/2020) dengan menghadirkan saksi Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko dan Kepala Divisi Investasi Jiwasraya Faisal Satria Gumay.

Ketua Majelis Hakim Rosmina yang membuka sidang menjelaskan, sesuai kesepakatan persidangan lalu, kali ini diperiksa sekaligus kedua orang saksi itu

"Kami ingatkan para saksi bahwa persidangan yang lalu saudara berdua sebagai saksi pasti akan memberikan keterangan yang benar selain daripada yang sebenarnya," kata Rosmina.

Majelis memberi kesempatan jaksa penuntut umum (JPU) untuk bertanya kepada Faisal terlebih dulu.

JPU melontarkan pertanyaan awal terkait susunan direksi Jwasraya 2008-2018.

"Yang persis saya ketahui itu kurang lebih dari 2008 saya tahu semua. Yang pertama Direktur Utamanya Bapak Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Bapak Hary Prasetyo, Direktur Pertanggungan Bapak Indra Cataria Situmeang, dan Direktur Pemasaran Operasional Bapak Deong Adrian," jawab Faisal.

Saudara Syahnirwan posisinya sebagai apa?

"Saudara Syahnirwan kalau tidak salah di 2008 itu menjadi kepala divisi investasi. Kepala investasi menggantikan Bapak Doni Karyadi," jawabnya

Jaksa juga bertanya seputar kedudukan Jiwasraya.

"PT Asuransi Jiwasraya ini merupakan satu-satunya perusahaan asuransi jiwa milik negara di mana semua saham kepemilikan itu berasal dari negara cq-nya Kementerian Keuangan," jawab Faisal.

Berapa persen?

"100%," kata Faisal.

Selain bersumber dari Kementerian Keuangan, apakah ada pendapatan lain dari Asuransi Jiwasraya?

"Pendapatan lain dari Asuransi Jiwasraya antara lain dari penerimaan pendapatan premi dan juga pengembangan hasil investasi lainnya," ungkap Faisal.

Faisal juga mendapatkan pertanyaan tentang dasar hukum yang harus diikuti dan bagaimana mekanisme pengelolaan premi di Jiwasraya.

"Secara garis besar pengelolaan investasi dari dana nasabah itu dituangkan dalam pedoman investasi dan diturunkan melalui standar operasional prosedur. Secara umumnya seperti itu," jawabnya.

Apakah aturan itu hanya berlaku bagi Jiwasraya atau berlaku juga bagi pihak investor yang berinvestasi di Jiwasraya?

"Kalau yang saya sebutkan tadi, khususnya pedoman investasi, itu adalah pedoman yang berlaku internal, yang mengatur pemilihan-pemilahan pihak eksternal. Jadi mengatur juga terkait dengan rekanan yang akan dipilih oleh PT Asuransi Jiwasraya," jawabnya.

Faisal juga menjelaskan mengapa manajemen mencatatkan keuntungan semu pada 2016. Menurutnya, keuntungan semu pada 2016 yaitu pada reksa dana saham yang dimiliki Jiwasraya dan adanya window dressing sekitar Rp1,4 triliun.

Menurut dia, keuntungan semu tersebut bisa disamakan dengan adanya keuntungan sehingga dibukukan sebagai kredit. Itu merupakan keuntungan tetapi juga dibeli oleh Jiwasraya sehingga pada dasarnya tidak terjadi perpindahan saham.

Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2016 menyebutkan Jiwasraya pernah mencatatkan keuntungan semu. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan sejak 2006 Jiwasraya masih membukukan laba.

"Namun laba tersebut adalah laba semu sebagai akibat dari rekayasa akuntansi atau window dressing di mana sebenarnya perusahaan sudah mengalami kerugian," tutur Agung, di Kantor BPK, Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Rabu (8/1/2020).

Menurut Agung, dalam kurun waktu 2010 sampai 2019, BPK telah dua kali melakukan pemeriksaan atas Jiwasraya, yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada 2016 dan pemeriksaan investigatif pendahuluan pada 2018.

Dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu tahun 2016, BPK mengungkapkan 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan dan biaya operasional Jiwasraya 2014-2015.

Laporan yang dilakukan Auditorat Keuangan Negara VII tahun 2016 itu menyebutkan pada poin 15 dari 16 temuan yakni transaksi antardana kelolaan yang dimiliki Jiwasraya tidak mencerminkan pengendalian yang memadai.

Hasil pemeriksaan BPK atas transaksi underlying berupa saham di 14 reksa dana dan transaksi pelepasan saham yang dikelola secara secara mandiri oleh Jiwasraya pada 2015 diindikasikan melakukan window dressing laporan keuangan dengan menjual saham ke enam reksa dana yang dimilikinya.

Mayoritas reksa dana tersebut merupakan reksa dana baru yang terbit antara 2013-2015 dengan kepemilikan mayoritas (di atas 99%) atas reksa dana tersebut dimiliki Jiwasraya.

Pemeriksaan BPK lebih lanjut diketahui bahwa transaksi penjualan 18 saham ke reksa dana-reksa dana tersebut menggunakan harga negosiasi sehingga dari transaksi tersebut Jiwasraya memperoleh keuntungan sebesar Rp157.080.363.780,00.

"Adapun atas transaksi tersebut merupakan transaksi antardana kelolaan yang secara teknis tidak ada perpindahan kepemilikan," bunyi laporan tersebut.

Sementara itu JPU juga mencecar sejumlah pertanyaan kepada Hexana selaku Direktur Utama Jiwasraya, salah satunya terkait dengan keputusan direksi untuk melakukan strategi penempatan dana investasi yang dikelola Jiwasraya.

Hexana menjelaskan transaksi dikendalikan direksi yakni Direktur Keuangan.

JPU juga mempertanyakan status perusahaan manajer investasi yang terlibat apakah dalam posisi gagal bayar saat Jiwasraya mengajukan pengembalian dana (redemption) secara penuh Rp22 triliun nilai investasi Jiwasraya yang ditempatkan di reksa dana maupun saham.

Namun, Hexana melanjutkan, saat itu, nilai investasi Jiwasraya yang kembali pada periode 2018 dan 2019 sebesar Rp4,2 triliun. Alhasil, Jiwasraya mengalami kerugian Rp17,8 triliun.

"Jadi kami ingin me-redeem semua, agar bisa membayar kewajiban, tapi hanya bisa direalisasi tahun 2018 total saham dan reksa dana saham Rp2,3 triliun. Tahun 2019, Rp1,9 triliun dari Rp22 triliun total," kata Hexana melanjutkan.

"Kalau kami maunya semua di-redeem supaya memenuhi kewajiban kepada masyarakat," ungkapnya lagi.

Hexana melanjutkan, ia pernah menginstruksikan kepada divisi terkait mengenai redemption secara penuh. Namun, ia mengakui tidak pernah menyurati langsung perusahaan manajer investasi yang terlibat.

Namun yang menarik adalah ketika Hexana ditanya soal pertemuan dengan perusahaan manajer investasi (MI) yang terlibat transaksi dengan Jiwasraya. Pertemuan itu dilakukan untuk memberi penjelasan berkaitan dengan penurunan nilai investasi atas aset-aset saham yang diinvestasikan Jiwasraya.

"Pernah ketemu dengan MI gak?" Tanya penasihat hukum terdakwa.

Hexana menjelaskan hampir semua MI pernah diundang pada 2018-2019.

"Hampir semua MI menghadiri. Yang disampaikan oleh MI adalah adanya penurunan karena harga pasar. Maybank, OSO, Prospera," terang Hexana.

Soesilo Ari Wibowo, penasihat hukum Hendrisman Rahim (terdakwa), menjelaskan baik Hexana maupun Faisal sebagian besar menilai dari laporan-laporan.

"Pak Hexana kan masuk ke Jiwasraya juga belakangan, tahun 2018. Kemudian tadi Pak Faisal juga sama, masuk tahun 2016," kata Soesilo di luar ruang persidangan, kepada Gresnews.com, Senin (6/7/2020).

Soesilo mengatakan saksi semacam itu kekuatan pembuktiannya sangat diragukan. "Itu kan tergantung penilaian mereka masing-masing. Itu yang pertama," jelasnya.

Kemudian, kata Soesilo, saksi menyampaikan fakta yang terjadi pada 2006, 2007, dan 2008. Saat itu kondisi Jiwasraya memang sudah minus.

"Memang sudah minus di situ. Kemudian bahkan ada beberapa konsultan yang mengatakan dipailitkan saja, dari IMF tadi siapa, dipailitkan saja, " terangnya.

Tetapi, kata dia, dengan kehadiran pengurus yang baru, yakni Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo dan kawan-kawan, mereka bisa memproses. "Kemudian menaikkan keuntungan dan membukukan beberapa keuntungan," katanya.

Namun, menurutnya, yang menjadi persoalan, apakah ketika membeli saham-saham atau reksa dana itu harus yang likuid. 

"Cuma pertanyaannya sekarang adalah apakah semua pembelian saham itu harus menggunakan atau harus membeli saham yang likuid. Nah mari kita kaji," ujarnya.

Soesilo menjelaskan kadang-kadang saham yang likuid itu memiliki margin keuntungan kecil. Tetapi kalau, misalkan, saham-saham yang katakanlah tidak masuk LQ45 tapi sangat fluktuatif, dia masih bisa berharap keuntungan yang besar. "Jadi pemilihan LQ45 atau bukan saya kira bukan menjadi fokus di sini ya," tuturnya.

Tapi yang perlu menjadi perhatian adalah kejadian pada 2008. Saat itu kondisi Jiwasraya memang sudah minus Rp6,7 triliun. "Itulah yang diperbaiki oleh manajemen baru," ujarnya. 

Soesilo juga mengungkapkan mengenai laporan yang bukan dari BPK melainkan dari Kroll Associates Inc.

"Iya, itu juga kita persoalkan. Itu tadi kan kita bertanya, itu laporan-laporan dianalisa berasal dari laporan Kroll. Kemudian Kita tanya laporan dari mana Kroll itu, katanya dari data intelijen? Lah, kalau data intelijen menjadi dasar penyidikan nggak pas gitu loh," tuturnya.

Dalam persidangan sebelumnya, Hexana menyatakan Jiwasraya menugasi Kroll Associates Inc. untuk melakukan analisis dan investigasi. Kroll Asosiates Inc merupakan lembaga konsultan risiko dan investigasi korporasi asal Amerika Serkat. Perusahaan itu disebut-sebut lihai dalam melacak manipulasi perdagangan saham (insider trading).

Jiwasraya menyewa Kroll Associates Inc. untuk menyelidiki dugaan penggelapan dana investasi perseroan oleh manajemen lama. Laporan Kroll Associates Inc. itu untuk melengkapi audit BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP.

"Nanti kita lihat apakah itu transparan di dalam laporan BPK. Itu saja yang menjadi pedoman kita," tambah Soesilo.

Selain Hendrisman, lima terdakwa lain dalam perkara ini ialah Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, Direktur Utama PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk. Heru Hidayat, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan dan Direktur Utama PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.

Persidangan kasus ini terbagi dua. Terdakwa Benny bersama Heru dan Joko; serta Hendrisman bersama Hary dan Syahmirwan.

Keenam terdakwa diduga merugikan negara Rp16,8 triliun terkait pengelolaan investasi saham dan reksa dana PT AJS Persero. Perbuatan itu dianggap telah memperkaya terdakwa dan orang lain.

Keenamnya didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(G-2)

BACA JUGA: