JAKARTA - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menguasai secara langsung maupun tidak langsung sebesar 2,13% dari total saham beredar PT Hanson International Tbk. (MYRX) atau sebanyak 1,84 miliar lembar.

Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengungkapkan adanya kerugian buku yang dialami Jiwasraya karena harga saham MYRX di pasar lebih rendah dari harga perolehan.

“Saya tidak pada posisi menentukan kerugian negara tetapi saya melaporkan kerugian buku,” kata Hexana ketika memberikan kesaksian dalam sidang kasus Jiwasraya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diikuti Gresnews.com, Rabu (1/7/2020).

Dalam kesaksiannya untuk terdakwa antara lain Direktur Utama MYRX Benny Tjokrosaputro, mantan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM) Heru Hidayat, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono tersebut, Hexana dicecar pertanyaan oleh kuasa hukum terdakwa seputar penempatan saham MYRX dan reksa dana dalam portofolio investasi Jiwasraya.

“Bagaimana MYRX dapat merugikan Jiwasraya padahal kepemilikannya hanya dua sekian persen?”

“Harga pasar lebih rendah dari harga perolehan,” kata Hexana menjawab pertanyaan tim penasihat hukum terdakwa itu.

“Saksi tahu siapa yang menentukan harga pasar?” Kali ini hakim Rosmina bertanya.

“Ya, pasar,” jawab Hexana.

“Pasar?” tanya seorang penasihat hukum terdakwa.

“Saya tidak tahu,” balas Hexana.

Merujuk pada Surat Dakwaan Heru Hidayat, MYRX merupakan salah satu efek yang menjadi underlying portofolio pada sejumlah reksa dana yang dimiliki Jiwasraya, yaitu Reksa Dana DDB (PT Dhanawibawa Manajemen Investasi), Reksa Dana OFEF (PT OSO Manajemen Investasi), Reksa Dana PDP (PT Pinnacle Persada Investama), Reksa Dana PDB (PT Prospera Asset Management), Reksa Dana JCSP (PT Jasa Capital Asset Management), Reksa Dana PAKO (PT Pool Advista Asset Management), Reksa Dana Corfina (PT Corfina Capital), dan Reksa Dana TSUM dan TSM (PT Treasure Fund Investama).

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Pengelolaan Bisnis Asuransi, Investasi, Pendapatan, dan Biaya Operasional Tahun 2014-2015 pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tanggal 27 Juli 2016, Jiwasraya diindikasikan melakukan window dressing laporan keuangan dengan menjual 18 jenis saham ke enam reksa dana yang dimiliki sebesar Rp1,44 triliun melalui pasar negosiasi sehingga terlihat Jiwasraya memperoleh keuntungan Rp157,08 miliar. Sebagai catatan, mayoritas reksa dana tersebut merupakan reksa dana baru yang terbit antara 2013-2015 dengan kepemilikan mayoritas (di atas 99%) dimiliki Jiwasraya. Untuk saham MYRX tercatat ada kerugian sebesar Rp1,52 miliar.

BPK juga menemukan transaksi antar reksa dana yang dimiliki Jiwasraya minimal sebesar Rp503,81 miliar adalah tidak lazim. Temuan didapat dari hasil sampling atas transaksi 14 reksa dana yang dimiliki Jiwasraya dan 11 di antaranya melakukan transaksi saham antarmereka sendiri selama 2015. Pola transaksi jual beli antar reksa dana tersebut mayoritas dilakukan secara reksa dana Penyertaan Terbatas (RDPT) sedangkan pembelian dilakukan oleh reksa dana umum.

 

Temuan BPK lainnya adalah underlying portofolio Jiwasraya yang sebagian besar berupa saham senilai Rp9,2 triliun tidak menunjukkan proporsi yang baik di mana hanya fokus pada saham-saham tertentu saja yang baik dari sisi kinerja perusahaan maupun likuiditas (tidak termasuk saham LQ 45) di pasar tidak begitu baik.

Jaksa merumuskan kerugian keuangan negara sebesar Rp16,8 triliun dalam kasus Jiwasraya dengan merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Dalam Rangka Perhitungan Kerugian Negara Atas Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi pada PT Asurans Jiwasraya (Persero) Periode 2008-2018 tanggal 9 Maret 2020 dari BPK. Kerugian negara tersebut terjadi dalam pembelian empat saham yakni (BJBR, PPRO, SMBR, dan SMRU) dan 21 reksa dana pada 13 manajer investasi.

Penasihat hukum Heru, Soesilo Ariwibowo, mengatakan adalah keliru dan tidak cermat kalau jaksa menganggap perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara karena sejatinya uang tersebut berasal dari nasabah. “Sehingga menjadi kegagalan pembayaran uang nasabah,” kata Soesilo dalam sidang eksepsi, Rabu (10/6/2020).

Sementara itu Benny Tjokro menuding BPK menutup-nutupi keterlibatan Grup Bakrie dalam kasus Jiwasraya.

“Yang bolong tahun 2006 menurut Anda siapa? Bakrie jelas-jelas. Yang nutupin ketua dan wakil ketua BPK, yang pasti kroninya Bakrie memang yang nutupin,” kata dia.

Menurut Benny Tjokro, pada 2006, harga saham-saham Grup Bakrie sedang berada pada titik tinggi-tingginya dan sekarang harganya Rp50. Pada 2008, kerugian grup mencapai Rp6,7 triliun. "Mereka (Bakrie) pakai uang berbunga. Karena gak di-drop, mereka pakai JS Saving (Jiwasraya)," ujarnya. 

Sebagai informasi, emiten-emiten yang merupakan bagian dari Grup Bakrie antara lain PT Bakrie & Brothers Tbk. (BNBR), PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL), PT Bakrieland Development Tbk. (ELYT), PT Bumi Resources Minerals Tbk. (BMRS), PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), PT Energi Mega Persada Tbk. (ENRG), PT Darma Henwa Tbk. (DEWA). 

Tak terima dituding oleh Benny Tjokro, Ketua BPK Agung Firman Sampurna, Senin (29/6/2020), menyatakan BPK secara resmi mengadukan Benny Tjokro terkait pencemaran nama baik ke Badan Reserse dan Kriminal Polri.

“Menjadi lucu jika dikatakan bahwa BPK atau Ketua dan Wakil Ketua BPK melindungi pihak tertentu. Karena BPK menghitung PKN (Perhitungan Kerugian Negara) setelah konstruksi perbuatan melawan hukum dan tersangka ditetapkan oleh Kejaksaan. Meskipun demikian, BPK mendukung penuh penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan, baik dalam pengungkapan maupun pengadilan kasus ini. Mengingat besar dan masifnya kasus ini, bersama Kejaksaan, kami sempat akan membuat rumusan PKN-nya bukan hanya kerugian negara, tetapi juga kerugian perekonomian negara. Namun setelah mempertimbangkan dengan cermat aspek teknis yuridis, akhirnya diputuskan tetap menjadi PKN,” kata Agung.

Berdasarkan grafik yang dikutip dari Indo Premier, berikut adalah chart pergerakan harga saham MYRX 2008-2020.

Saat ini MYRX bercokol di jalur gocap (harga Rp50). Per 31 Desember 2019, PT ASABRI (Persero) masih menguasai 5,4% saham MYRX (4,6 miliar lembar), Benny Tjokro 4,25% (3,6 miliar lembar), dan sisanya masyarakat di bawah 5% (90,35% setara 78,3 miliar lembar). Total saham beredar sebanyak 86,7 miliar dengan kapitalisasi pasar (market cap) Rp4,34 triliun.

Harga tertinggi saham MYRX (per berita ini ditulis) tercatat Rp304 pada 18 November 1998 dan terendah Rp2 pada 18 Februari 2005. 

(G-2)

BACA JUGA: