JAKARTA - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia berpendapat untuk mempercepat pengobatan dan pencegahan penularan COVID-19 yang lebih luas, pemerintah harus menerapkan kebijakan at all cost untuk pengadaan alat kesehatan penunjang pemeriksaan, ruang isolasi, dan Alat Pelindung Diri (APD).

Kurangnya APD dan fasilitas kesehatan lain juga dikeluhkan oleh lembaga profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).

Selain itu, pemerintah juga sebaiknya menggratiskan biaya pemeriksaan baik bagi mereka yang terbukti positif maupun tidak, atau pun hal-hal yang bersifat pencegahan seperti pembagian masker murah dan sebagainya.

“Konsekuensi pembengkakan defisit anggaran, sejalan dengan pendapatan APBN yang juga turun tajam, memang akan membebani pemerintah. Namun, perhitungan kemanusiaan semestinya harus lebih dikedepankan dibandingkan dengan kalkulasi ekonomi yang masih dapat ditanggulangi sejalan dengan pulihnya ekonomi masyarakat,” demikian dikutip dari siaran pers CORE Indonesia yang diterima oleh Gresnews.com, Minggu (29/3), melalui surat elektronik. 

Menurut CORE Indonesia, ekonomi Indonesia secara kumulatif memang akan tumbuh pada kisaran -2-2%. Kondisi yang lebih buruk dapat terjadi jika penyebaran COVID-19 di Indonesia berlangsung lebih dari dua kuartal dan negara-negara yang menjadi mitra utama ekspor Indonesia juga mengalami hal serupa. “Dalam kondisi tersebut, tekanan permintaan domestik dan global akan lebih lama, sehingga sangat kecil peluang ekonomi akan tumbuh positif.”

Selain melemahkan pertumbuhan ekonomi, pandemi ini juga berpotensi mendorong peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Hal itu sangat dimungkinkan mengingat jumlah penduduk di sekitar garis kemiskinan yang masih sangat tinggi, meskipun persentase penduduk di bawah garis kemiskinan mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Per Maret 2019, penduduk golongan rentan miskin dan hampir miskin di Indonesia mencapai 66,7 juta orang, atau hampir tiga kali lipat jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan (golongan miskin dan sangat miskin). Sebagian besar dari golongan ini bekerja di sektor informal, termasuk yang mengandalkan upah harian.

“Apabila penanganan pandemi berlangsung lama, periode pembatasan dan penurunan mobilitas orang akan semakin panjang. Akibatnya, golongan rentan miskin dan hampir miskin yang bekerja di sektor informal dan mengandalkan upah harian akan sangat mudah kehilangan mata pencaharian dan jatuh ke bawah garis kemiskinan.”

Selain soal belanja at all cost untuk pengobatan dan pencegahan COVID-19, terdapat enam poin penting lain yang digarisbawahi oleh CORE Indonesia:

  • Untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai dampak perlambatan putaran roda ekonomi, pemerintah dituntut untuk dapat mengurangi beban biaya yang secara langsung dalam kendali pemerintah, di antaranya tarif dasar listrik, BBM, dan air bersih;
  • Kebijakan pemerintah yang melakukan relaksasi Pajak Penghasilan baik pekerja industri manufaktur (penghapusan PPh 21 selama enam bulan) atau pun pajak badan untuk industri manufaktur (pembebasan PPh Impor 22 dan diskon PPh 25 sebesar 30%) semestinya diperluas. Pasalnya, perlambatan ekonomi saat ini tidak hanya dirasakan oleh sektor industri manufaktur, tetapi juga sektor-sektor lainnya;
  • Upaya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat bawah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan dan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja, perlu didukung oleh kebijakan untuk menjamin kelancaran pasokan dan distribusi barang khususnya pangan. Di saat seperti ini, potensi panic buying dan penimbunan sangat besar, sehingga pengamanan aspek distribusi perlu diperketat;
  • Penyaluran BLT juga perlu diikuti dengan ketepatan data penerima bantuan dan perbaikan mekanisme dan kelembagaan dalam penyalurannya sehingga dana BLT tidak salah sasaran dan diterima oleh seluruh masyarakat yang semestinya mendapatkannya;
  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar memberlakukan kebijakan yang mendorong lembaga keuangan untuk melakukan rescheduling dan refinancing utang-utang sektor swasta, selain untuk UMKM, juga untuk usaha-usaha yang menghadapi risiko pasar dan nilai tukar yang tinggi;
  • Membuka peluang untuk membuat terobosan kebijakan baru. Di sisi fiskal, opsi pelebaran defisit anggaran melebihi yang batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara diperlukan di tengah semakin banyaknya kebutuhan belanja negara untuk memberikan insentif kepada perekonomian. Di sisi moneter, perlu mencontoh otoritas moneter beberapa negara yang aktif terjun memberikan insentif, khususnya ketika kebijakan suku bunga acuan dan beragam kebijakan konvensional tidak bekerja secara optimal seperti saat ini. The Fed sendiri misalnya mempunyai kebijakan Quantitative Easing untuk menginjeksi likuiditas ke masyarakat. Terobosan yang bisa dilakukan BI dan pemerintah yaitu merevisi Peraturan Bank Indonesia No/10/13/PBI/2008 ataupun Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dengan memberikan keleluasaan BI untuk membeli SUN di pasar keuangan primer untuk mengakomodasi kepentingan pembiayaan negara. 

(G-1)

BACA JUGA: