Dalam proses penegakan hukum, para penegak hukum penting mendengarkan keterangan saksi demi  menemukan kebenaran terhadap kasus-kasus hukum yang sedang ditangani. Keterangan saksi  juga  secara normatif tertuang  dalam hukum acara Pidana maupun dalam hukum acara perdata. Namun, saksi terkadang enggan memberikan keterangan kepada penegak hukum karena diduga "takut"  ikut terlibat dalam urusan hukum. Adanya rasa ketakutan tersebut, pemerintah membuat aturan tentang Perlindungan Hukum terhadap saksi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor  31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia alami sendiri.

Untuk menjamin perlindungan terhadap saksi, saksi diberikan hak atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiannya. Selain itu, berdasarkan Pasal 10 UU Pelindungan Saksi dan Korban, menyatakan saksi tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Disamping itu, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 4 Tahun 2011 tentang  Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang berkerja sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, yang menyatakan bahwa dengan merujuk pada nilai-nilai dalam Pasal 10 Undang-Undang Undang-Undang Nomor  31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Mahkamah Agung meminta para hakim agar jika menemukan tentang adanya  orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang berkerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan dan atau memberikan perlindungan.

BACA JUGA: