JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pekerja migran menjadi salah satu profesi yang wajib dilindungi sesuai prinsip Hak Asasi Manusia. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah seberapa kuat sikap negara-negara anggota Association of South East Asian Nation (ASEAN) memberi perlindungan kepada para pekerja migran.

Komitmen ini masih menjadi ujian sekaligus menjadi topik perdebatan cukup hangat di kalangan anggota ASEAN. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21-22 November lalu, agenda pembentukan konvensi tentang perlindungan pekerja migran kembali diserukan Indonesia.

Hal ini sebagai salah satu inisiatif Indonesia sebagai negara anggota Komite ASEAN Declaration On The Protection And Promotion Of The Rights Of Migrant Workers. Tidak hanya Indonesia, beberapa negara anggota lainnya yang turut bergabung dalam Komite perlindungan dan promosi hak-hak pekerja migran tersebut diantaranya Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja juga ikut menyuarakan hal senada.

Komite tersebut dibentuk atas hasil pertemuan pembahasan Implementasi Deklarasi ASEAN Tentang Perlindungan Dan Pemajuan Hak-hak Pekerja Migran di Jakarta pada 2013 lalu. Tujuannya, memperkuat instrumen hukum melalui pelaksanaan konvensi perlindungan migran di kawasan Asia Tenggara. Belum adanya penegakan aturan regional soal perlindungan kaum migran menjadi tantangan yang tengah dihadapi negara-negara anggota ASEAN.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, inisiasi pembentukan konvensi merupakan tindak lanjut dari pertemuan ASEAN Summit ke-12 di Cebu, Filipina pada tahun 2007.

Pertemuan tingkat regional itu telah menyepakati sebuah Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-hak Pekerja Migran. Namun, pada kenyataannya, poin-poin deklarasi hingga kini belum berhasil terlaksana.

Padahal, merujuk pada klausul yang telah disepakati dalam Deklarasi Cebu, secara jelas memuat komitmen perlindungan ASEAN kepada pekerja migran mulai dari aspek jaminan kondisi kerja, penyelenggaraan program pengembangan SDM, dan reintegrasi para pekerja dengan negara asal. Selain itu ada juga penanggulangan masalah penyelundupan dan perdagangan orang serta fasilitasi pertukaran data pekerja migran antar negara anggota.

Pembahasan lain yang juga sempat dirunding adalah menyangkut prinsip umum, definisi, cakupan, hak dan kewajiban pekerja migran. "Capaian pembahasan sudah 80 persen tapi sekarang belum bisa finalisasi karena ada perbedaan pandangan antar negara anggota," kata Iqbal ketika dihubungi gresnews.com, Selasa (24/11).

Beberapa kendala yang menghambat pembentukan konvensi, kata Iqbal, terjadi seiring pecahnya pandangan negara anggota ke dalam dua kubu dimana ada yang berkeinginan agar pemberlakuan konvensi bersifat mengikat (legal binding) sementara lainnya menolak atau tidak ingin terikat aturan hukum. Indonesia dan Filipina, sebut Iqbal, merupakan pihak yang telah sepakat soal pemberlakuan hukum sementara posisi negara lainnya belum sepenuhnya setuju.

Kemudian, faktor penghambat lainnya menyangkut jaminan perlindungan berdasarkan status pekerja migran. Iqbal mengatakan, pada aspek ini kembali terjadi perdebatan dan perbedaan pandangan. Dalam penyampaian sikap, sebagian negara anggota hanya ingin memberikan jaminan perlindungan kepada migran yang berstatus sah atau terdokumentasi (documented) secara legal administrasi.

Di lain pihak, ada negara yang mengemukakan pendapat bahwa pekerja migran yang berstatus non documented juga sangat perlu diberikan jaminan perlindungan. "Indonesia tetap berpendirian agar semua migran dilindungi karena selama ini yang banyak bermasalah justru non documented. Beberapa faktor itu yang membuat pembentukan konvensi migran ASEAN masih deadlock dan belum bisa dicapai kesepakatan," jelas Iqbal.

KEPENTINGAN BERSAMA ASEAN - Terlepas dari perbedaan sikap antar anggota, Iqbal menambahkan, saat ini pemerintah masih menjalankan instrumen bilateral perlindungan pekerja migran dengan sejumlah negara anggota yaitu Brunei dan Singapura.

Meski demikian, pemerintah mengakui, persoalan migran cukup rentan terjadi karena masih maraknya peredaran pekerja asal Indonesia yang tidak terdokumentasi.

"Di Malaysia saja, jumlah pekerja migran Indonesia yang undocumented ada sekitar 1,5 juta orang," sebut Iqbal.

Besarnya jumlah tersebut tentu menjadi indikasi serius bagi Indonesia sehingga sikap pemerintah tetap konsisten mendorong perlindungan hukum kepada seluruh kalangan pekerja migran. Pemerintah Indonesia menjadi salah satu pihak yang cukup terlibat aktif mendorong penanganan dan pencegahan permaslahan migran di ASEAN.

Direktur Mitra Wicara dan Antar Kawasan Kementerian Luar Negeri Derry Aman menyampaikan, agenda pembentukan konvensi penguatan hak-hak pekerja migran telah menjadi poin penting bagi Indonesia dalam acara KTT ASEAN di Malaysia beberapa waktu lalu.

"Indonesia terus mendorong dan menegaskan bahwa persoalan ini merupakan kekhawatiran bersama negara ASEAN. Untuk itu kita perlu membahas bentuk kerjasamanya lebih lanjut," kata Derry ketika ditemui gresnews.com beberapa waktu lalu.

Menurutnya, ASEAN perlu memperkuat kerjasama antar negara anggota membangun sebuah basis instrumen regional mengenai penguatan hak-hak pekerja migran. Menyangkut semangat pembentukan konvensi itu, Derry menyebut, perlu capaian kesepakatan bersama negara anggota dan peningkatan kesadaran di kawasan.

Prioritas visi dan misi yang ditawarkan Indonesia, kata dia, sangat diharapkan bisa disepakati juga dengan negara anggota ASEAN lainnya. "Ada yang sudah disepakati bersama kita tegaskan kembali sementara yang belum ada kita coba tawarkan dan dorong," katanya.

Minimnya perlindungan pekerja migran memang masih menjadi persoalan negara-negara ASEAN yang menjadi pusat pengiriman tenaga kerja migran. Dalam soal perlindungan kesehatan misalnya, hal tersebut masih menjadi masalah besar bagi buruh migran asal Indonesia di Hong Kong.

Hal itu terungkap dari kunjungan tim delegasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dipimpin Oesman Sapta Oedang beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan dengan Warga Negara Indonesia di kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, salah seorang istri dari pegawai BNI di sana bernama Diah yang juga seorang dokter mengungkapkan berbagai masalah kesehatan yang dialami TKI di Hong Kong.

Karena itu dia mengusulkan pembentukan konsul kesehatan untuk KJRI Hong Kong. "Saya kebetulan adalah seorang dokter, mengingat jumlah buruh migran cukup banyak, saya anggap concern kenapa tidak ada konsul kesehatan, masalah kesehatan cukup banyak, memang untuk asuransi kesehatan ada namun dari sisi kesehatan pekerja sampai nanti purna tugas, kita tidak tahu apa mereka cukup sehat atau mungkin membawa penyakit, ini sangat kurang, mungkin ini usulan saya," kata Diah di KJRI Hong Kong, Kamis (19/11).

Salah seorang anggota delegasi Djoni Rolindrawan (Hanura) dari Komisi IX yang membidangi kesehatan pun menanggapi Diah. Djoni mengaku akan menyampaikan usulan tersebut kepada Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. "Tadi memang ada yang ingin saya tambahkan, saya di komisi IX yang membidangi kesehatan, ketenagakerjaan, mengenai usul diadakannya konsul kesehatan, saya akan usulkan ke menteri, hampir 2 minggu sekali bertemu dengan menteri," ucap Djoni.

Lalu anggota lainnya yang juga Sekjen PKB Abdul Kadir Karding mengatakan urusan ketenagakerjaan akan disampaikan pula ke Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Karding menyebut ide mengenai konsul soal kesehatan itu cukup baik.

"Saya kira ide soal konsul soal kesehatan ini saya kira ini baik, karena jumlah masyarakat cukup besar. Kita tidak bisa memilah-milah warga negara, baik di Indonesia maupun di luar negeri memiliki hak yang sama. Konsul ini saya kira akan mengatur problem-problem yang ibu bilang tadi. Akan saya sampaikan ke menteri ketenagakerjaan," kata Karding.

Kemudian curhatan lain muncul dari Reni yang bekerja sebagai staf imigrasi. Reni menyebut banyak TKI yang tak memiliki dokumen lengkap karena ditahan oleh perusahaan penyalur di Indonesia.

"Kebanyakan mereka itu bermasalah dengan data-data yang dipalsukan, setelah saya tanya apakah mereka bisa menyediakan ijazah, akta lahir, surat nikah, ditahan PT di Indonesia, dan kebanyakan PT sudah tutup, yang ada data yang sudah dipalsukan oleh PT, apakah pemerintah, yang menangani masalah ketenagakerjaan, apakah bisa melakukan tindakan tegas, untuk menahan dokumen resmi tersebut?" ucap Reni.

Terkait masalah ini, Oesman Sapta mengatakan, pihak imigrasi itu harus menangkap sinyal tersebut. "Nggak bisa semuanya terbuka, ada sinyal, nah sebetulnya pemalsuan ini ya, tidak bisa ditanyakan pada orang yang bersangkutan, karena sudah berkomitmen dengan PT, nah ini sinyal bagaimana imigrasi mengambil tindakan secara sinyal juga, selidiki, dan pasti ketemu itu, dan imigrasi kan ada intelijen imigrasinya juga, nah ini yang harus bekerja, bahwa inilah keadaan yang membikin suasana menjadi keruh," ujarnya.

PROTEKSI TKI - Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengatakan, untuk memaksimalkan perlindungan TKI di luar negeri, pemerintah saat ini tengah menggodok revisi atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

"UU baru ini diharapkan dapat memproteksi TKI dari aspek pelanggaran HAM dan di lain pihak meningkatkan pendapatan," ungkap Nusron, Selasa (24/11).

Dalam kesempatan sama, anggota Komisi IX DPR Nur Suhid mengatakan usulan perubahan UU tentang TKI kini sedang digarap Panitia Kerja Komisi IX DPR setelah itu akan dikirimkan ke Badan Musyawarah, untuk kemudian diputuskan apakah akan dibahas Komisi IX saja atau lintas komisi.

"Saya sendiri mengharapkan agar dibahas di lintas komisi yang melibatkan Komisi III, I , IX atau komisi lain karena secara sekaligus melibatkan para pihak terkait," tuturnya.

Nusron sendiri sempat menyampaikan permintaan maaf kepada para TKI di acara Jambore Buruh Migran Indonesia (BMI), di Universitas Negeri Jember, Selasa (24/11).

"Kami mohon maaf karena para TKI belum memperoleh dukungan yang maksimal. Untuk itu, kami mengajak agar semua pihak, masyarakat madani, pemerintah dan TKI, bekerja sama memberikan rasa aman, nyaman dan biaya yang murah kepada para TKI," kata Nusron.

Nusron Wahid menggarisbawahi permintaan maaf itu karena para TKI sesungguhnya telah memberi kontribusi yang sangat berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari aspek ekonomi, kata Nusron, TKI pada tahun lalu telah mengirimkan devisa US$8,4 miliar atau Rp110 triliun.

"Sementara tahun ini ditargetkan Rp140 triliun atau 1% dari Produk Domestik Bruto. Suatu jumlah yang sangat berarti dan merupakan dana segar," ujarnya. (dtc)

 

BACA JUGA: