JAKARTA, GRESNEWS.COM - Semua pejabat pemerintahan, aparat penegak hukum dan dokter akan diwajibkan menjalani tes kesehatan jiwa untuk dapat menduduki jabatan-jabatan  tersebut. Ketentuan itu berlaku seiring disahkannya Rancangan Undang-undang  Kesehatan Jiwa menjadi undang-undang oleh sidang paripurna DPR RI, kemarin.

UU yang terdiri dari 91 pasal dan 10 bab ini disusun menyusul meningkatnya jumlah penderita penyakit jiwa atau telah mencapai 6 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. "Dengan disahkannya UU ini, maka pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa sejak dari puskesmas sebagai pelayanan kesehatan dasar. Jadi penderita bisa ditangani mulai dari puskesmas oleh dokter umum yang sudah dilatih," kata Anggota Komisi IX DPR Wirianingsih di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (8/7) seperti di kutip dpr.go.id.

Gangguan kejiwaan dimaksud menurut Wirianingsih,  antara lain terkait gangguan ingatan, tak bisa sosialisasi diri di tengah masyarakat, terganggu kepribadiannya, stres, depresi, tak bisa meningkatkan kualitas hidup dirinya sendiri disebabkan bencana, putus cinta dan lain-lain.

Terkait anggaran yang masih kecil untuk penanganan kesehatan jiwa ini, politisi PKS ini mendesak Kementerian Keuangan agar didorong menambah anggarannya. Sehingga pelayanan kesehatan jiwa bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas. "Jadi, perlu kerjasama masyarakat, DPR, dan Kemenkeu RI untuk mensosialisasikan UU Kesehatan Jiwa ini agar semua mendapat pelayanan dengan baik,” katanya.

Sementara menurut Direktur kesehatan Jiwa Kemenkes Eka Viora disahkannya UU Kesehatan Jiwa ini akan menjadi solusi terhadap penanganan penderita penyakit kejiwaan yang masih mengalami pemasungan. Eka mengungkapkan saat ini terdapat 57 ribu orang gila yang dipasung di tengah masyarakat. Sementara jumlah orang yang mengalami stress ringan mencapai 16 juta orang.   

"Pemerintah harus segera melaksanakannya, karena yang mengalami gangguan jiwa ini terus meningkat. Sekaligus memberikan solusi  terhadap pemasungan akibat keterbatasan akses dan layanan kesehatan," kata Eka.

Eka menjelaskan hingga kini telah ada 2005 Puskesmas, tapi tidak semua Puskesmas itu menyediakan layanan kesehatan jiwa. Saat ini Puskesmas yang menjadi rujukan bagi penderita kejiwaan baru ada 33 buah RS di 26 provinsi dan 16 RS milik swasta. Dana yang dilokasikan untuk pelayanan ini juga baru 2 persen dari anggaran Kementerian Kesehatan, yang besarnya hanya 5 persen dari APBN. Padahal WHO menetapkan 6 persen.

Diungkapkan Eka, Aturan tentang Kesehatan Jiwa ini sebenarnya telah ada sejak 1966, yaitu UU No 3/1966. Namun  undang-undang ini cakupannya masih sempit dan terbatas, hanya melindungi gangguan jiwa berat. Tapi pada tahun 1992 UU ini otomatis hilang menyusul disahkannya UU Kesehatan. Sampai akhirnya dibentuk RUU Kesehatan Jiwa dan masuk dalam Prolegnas DPR periode 2009-2014.

BACA JUGA: