JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia sebagai negara pemasok tenaga kerja  informal terbesar di Asia ke sejumlah negara, nampaknya harus waspada menyusul maraknya fenomena tenaga kerja Indonesia (TKI) yang direkrut menjadi teroris. Fenomena itu terungkap setelah baru-baru ini Detasemen Khusus anti Teror 88 menerima penyerahan seorang TKI ilegal yang dideportasi pihak keamanan Korea Selatan karena dicurigai terlibat dengan organisasi terlarang ISIS.

Apalagi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyatakan pada 2015 terdapat sekitar 1,92 juta WNI berstatus TKI tidak berdokumen kerja lengkap, alias ilegal. Keilegalan ini membuat para TKI itu sulit dikontrol Kedutaan Besar Indonesia di negara penempatan, sehingga menjadi sasaran empuk perekrutan teroris.

Kegelisahan BNP2TKI atas kerawanan TKI untuk direkrut organisasi radikal beralasan. Adalah Abdullah Hasyim atau Carsim, 32 tahun, warga Desa Leuwigede, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, yang dinyatakan berangkat secara ilegal pada 2007 dideportasi dari Korsel. Carsim  kemudian diserahkan pihak otoritas Korsel kepada Densus 88. Kemudian oleh pihak Densus diteruskan untuk diserahkan kepada pihak keluarga pada Sabtu (2/4) di Mapolsek Widasari.

"Tentu ini menjadi warning bagi kita dalam arti pemerintah soal bagaimana melakukan upaya antisipatif ketika memberangkatkan TKI," ujar Nusron Wahid, Ketua BNP2TKI di Jakarta, Senin (4/4).

Menurut Nusron, berdasarkan informasi yang didapat, saat diwawancarai Carsim sesaat seusai penangkapan memang mengakui punya tekad jihad fii sabilillah dan ingin segera menjadi martir untuk mati syahid demi jihad di jalan Allah. "Harus hati-hati, harus dipantau khusus, ini menjadi warning bagi BNP2TKI, bahwa banyak sekali TKI kita di LN rawan dipenetrasi oleh kelompok radikal," katanya.

Seperti diketahui, penyerahan Carsim dilakukan perwakilan Densus 88 Antiteror, AKP Ali kepada ayahnya, Sarya, adiknya Aditiya Nugraha dan pamannya Warono. Penyerahan ini disaksikan Kuwu Desa Leuwigede, Suroto, Lurah Desa Leuwigede, Sucito, Kapolsek Widasari AKP Amizar, Kanit IV Sat Intelkam Polres Indramayu, Aiptu Anang Purwanto dan Kanit Intelkam Polsek Widasari Bripka Warsa.

Densus 88 sendiri menerima Carsim dari seorang pejabat militer Korea Selatan berpangkat Kol Laut Korsel, Jumat (1/4) pukul 16.46 WIB, di Bandara Soekarno Hatta. Carsim diamankan pihak Pemerintah Korsel karena pelanggaran imigrasi lantaran diketahui menjadi TKI di Korea Selatan secara ilegal. Ia juga diduga akan melakukan aksi teror.

Melihat fakta demikian, Nusron mengangkap, bahwa program deradikalisasi harus menjadi satu kesatuan materi bagi para TKI yang akan diberangkatkan. Di sisi lain, celah bagi para TKI yang menggunakan jalur ilegal juga harus diminimalisir.

"Inilah bahayanya, kalau TKI lebih memilih cara-cara ilegal. Di sana rawan dipengaruhi gerakan radikal. Sementara kita tidak bisa mendeteksi karena tidak masuk database TKI di Luar Negeri," jelasnya.

MOTIF TERORISME - Sementara itu, Sosiolog dari UNAS, Sigit Rochadi justru meminta BNP2TKI harus mempelajari kedok terorisme yang kemungkinan bergeser sebagai TKI. Sebab terorisme yang berasal dari TKI bisa dibilang merupakan hal baru.

"Tindak kriminal yang ditunjukkan pada TKI lebih pada wilayah kerja, kelebihan jam kerja gaji da lain-lain," katanya kepada gresnews.com, Selasa (5/4).

Jika TKI tersebut mengaku melakukan jihad, diduga motif sebenarnya memang melakukan teror bukan menjadi TKI. TKI hanyalah kedok untuk bisa ke luar negeri dengan dimotori kelompok-kelompok TKI dalam negeri dan melaksanakan aksi teror di luar.

Menyasar teror yang diduga akan dilakukan TKI di wilayah Korea Selatan, Sigit juga mengungkapkan wilayah ini merupakan tempat baru sasaran terorisme. Sebab selama ini perlakuan tidak adil terhadap Islam atas kesewenang-wenangan Amerika yang mempergunakan segala macam cara untuk melemahkan Islam merupakan argumen teroris melakukan aksinya.

"Argumen apa yang bisa di tunjukkan kepada Korsel sehingga mereka jadi sasaran terorisme?" tanyanya.

Jika hal tersebut benar adanya, maka Sigit menyatakan terdapat peta wilayah terorisme yang berubah akibat masuknya Korsel. Dasar terorismenya sendiri pun menjadi bias dan tidak jelas kelompok teroris itu. Sebab apa yang diinginkan tidak jelas antara sasaran, dominasi atau ketidakadilan negara-negara seperti Amerika yang selalu melemahkan Islam.

"Atau memang sasarannya negara-negara dengan tingkat ekonomi dan industri yang cukup tinggi?" ujarnya.

Terhadap progran BNP2TKI yang akan menggalakkan kelegalan TKI untuk mengontrol perekrutan terorisme, ia pesimis. Sebab sekalipun legal BNP2TKI tidak akan bisa mengontrol karena terorisme bersumber dari ideologi.

"Jadi BNP2TKI harus menyelami karena kedoknya bisa berubah, motifnya harus dicari apa TKI hanya kedok atau berubah saat disana? Kemenlu harus lebih mendalami motif sang pelaku sehingga kedepannya tidak lagi kecolongan," ujarnya.

BACA JUGA: