JAKARTA, GRESNEWS.COM - Akumulasi banyaknya kasus warga negara Indonesia yang dihukum mati di luar negeri, berdampak dipertanyakannya komitmen negara untuk melindungi warganya. Negara seringkali dinilai tak hadir sejak awal untuk memberikan advokasi maupun perlindung terhadap WNI yang bermasalah, akibatnya sebagian besar kasus WNI itu diketahui pemerintah menjelang putusan akhir.

Dalam konteks ini adalah tugas pokok dan tanggung jawab Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk memberikan perlindungan warga negaranya. Atau jika terkait tenaga kerja Indonesia maka menjadi tanggung jawab Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Meski kepemimpinan Kabinet Kerja Joko Widodo- Jusuf Kalla, telah menyepakati akan mengedepankan pembelaan dan perlindungan terhadap WNI maupun TKI. Namun tak ayal angka WNI yang dihukum mati diluar negeri terus meningkat. Padahal sebelumnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkomitmen untuk mewujudkan perlindungan tersebut.

"Kebijakan diplomasi akan pro kepada rakyat Indonesia. Salah satunya dengan menempatkan upaya perlindungan warga Indonesia di luar negeri sebagai prioritas," ujar Retno dikutip laman resmi Kemlu.

KASUS TKI MARAK - Dewasa ini, isu perlindungan kerap menjadi persoalan kompleks bagi pemerintah. Dalam konteks perlindungan TKI, negara dinilai belum hadir membela hak TKI. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tumpukan masalah  TKI, baik dari kekerasan fisik hingga hukuman mati.

Menurut data Kemlu, sejak tanggal 1 Januari sampai 30 September 2014 lalu tercatat kurang lebih sekitar 12.450  kasus yang terjadi pada TKI. Namun, 9.290  kasus dari total tersebut diklaim telah berhasil diselesaikan sementara 3.160  kasus lainnya masih ditangani pihak Kemlu dan Perwakilan RI di luar negeri.

Dari jumlah tersebut, diprediksi 92,4 % atau sejumlah  11.507  kasus merupakan permasalahan yang dialami tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, 460 (3,6%) Kasus oleh Anak Buah Kapal dan 483 (3,8%) oleh WNI lainnya.

Dari data yang berhasil dihimpun Kemlu, ada sejumlah jenis kasus yang kerap melibatkan TKI antara lain, masalah Ketenagakerjaan seperti gaji, kecelakan kerja, beban kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (1.785 kasus) dan Keimigrasian atau overstay dan penyalahgunaan izin tinggal (6.610 kasus).

Selain itu, kategori kasus perdata seperti perceraian, perebutan hak asuh anak dan lain-lain (23 kasus) dan kasus pidana seperti narkoba, pembunuhan dan perampokan mencapai (816 kasus). Sementara, jenis kasus lainnya seperti hilang kontak, meninggal dunia, sakit, bencana alam dan kerusuhan politik mencapai (2.273 kasus).

Direktur Perlindungan TKI dan Bantuan Hukum Kemlu Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, dari seluruh kasus TKI di luar negeri, Timur Tengah menjadi penyumbang cukup besar. Ia menyebut, sesuai keterangan KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah 2014 lalu, terdapat 2.033 kasus telah terjadi di Arab Saudi.

Dalam keterangannya kepada gresnews.com, Iqbal menuturkan, tidak semua kasus tersebut merupakan ulah TKI. Juga terdapat pelajar atau mahasiswa diluar negeri yang melakukan pelanggaran pidana berat seperti kasus penyalahgunaan narkoba dan lainnya.

Iqbal mencatat, kasus TKI bermasalah di Timur Tengah menyumbang angka yang cukup tinggi. Dimana, disebutkan pada tahun 2012 silam angka persoalan TKI sempat meningkat tajam hingga mencapai 38 ribu kasus. "Permasalahan TKI khususnya di Timur Tengah telah masuk fase kritis," ungkap Iqbal ditemui gresnews.com beberapa waktu lalu.

URGENSI PERLINDUNGAN TKI - Buruknya kinerja pemerintah menangani TKI bermasalah mengundang kritik sejumlah pihak. Kordinator Aliansi TKI Menggugat (ATKIM) Yusri Albima keras mendesak keseriusan pemerintah membela hak TKI di luar negeri.

Ia menegaskan upaya perlindungan warga negara merupakan tujuan nasional yang diamanatkan dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. "Dalam UU tersebut menegaskan minimal 3 Kewajiban Perwakilan Pemerintah RI (KBRI/KJRI) di luar negeri: membina, melindungi dan memberikan bantuan hukum kepada WNI," kata Yusri dihubungi gresnews.com, Senin (6/7).

Yusri mengungkapkan, berdasarkan pengalamannya menangani TKI, ia menilai peran diplomat RI (home staff) sejauh ini dinilai belum menjalankan amanat UU. Ia menegaskan, seharusnya upaya diplomatik wajib dilakukan sesuai amanat Pasal 7 UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.

"Upaya yang ada belum dilakukan sesuai harapan. Padahal mereka ditugaskan dan dibayar mahal oleh negara untuk menjalankan tupoksinya," tegasnya.

Yusri menyebut, grafik persoalan TKI terus meningkat. Ini menurutnya  akibat pengabaian terhadap amanat UU yang telah jelas-jelas menetapkan kewajiban adanya perlindungan terhadap WNI.

PERAN DIPLOMAT MINIM - Yusri juga mengaku kecewa dengan minimnya perlindungan pemerintah terhadap WNI bermasalah. Sebab berdasarkan pengalamannya menangani pengaduan TKI, selaku Pelaksana Fungsi Konsuler di Oman pada tahun 2011 -2012 lalu, ia menilai minimnya bantuan perwakilan pemerintah. Bahkan, Yusri harus merogoh kocek pribadi dalam membantu TKI bermasalah tersebut.

"Terlalu banyak kasus di Oman yang saya tangani sendiri tanpa didukung Pimpinan/Diplomat di KBRI," ungkapnya.

Padahal menurutnya bentuk hukuman bagi TKI yang dikenakan negara Oman cukup berat karena menganut Syari´at Islam. Meski di Oman belum tak menjalankan hukuman mati, namun mereka menerapkan ganjaran berupa hukuman badan dan maksimal penjara seumur hidup.

Yusri menyebut, dari periode 2011 hingga awal 2012, jumlahnya persoalan TKI yang ditangani kurang lebih 200 kasus. Menurutnya, banyak TKI saat itu mengadu dan meminta perlindungan ke KBRI Muscat Oman. Namun, ia melihat para diplomat RI itu belum miliki ketulusan niat melindungi TKI.

"Inilah fakta yang ada. Saya siap memberikan bukti seandainya pemerintah membantah hal itu dengan menghadirkan saksi dari para TKI yang sempat saya bantu selama di Oman," tegasnya.

Dalam kesempatan terpisah,  aktivis buruh migran sekaligus Peneliti Migrant Care Wahyu Susilo juga  mengkritik peran pemerintah melakukan diplomasi dengan pemerintah negara tujuan TKI. Hal ini terlihat dari banyaknya ancaman hukuman mati bagi TKI di luar negeri.

Perwakilan Migrant Care itu menilai, belum ada upaya diplomasi serius yang dibangun pemerintah dengan negara tujuan TKI. Wahyu mencontohkan, hal itu dilihat ketika pemerintah seringkali lambat dalam merespon kasus hukuman mati TKI.

"Migrant Care biasanya menerima aduan setelah TKI bersangkutan mendapat vonis. Padahal, pendampingan hukum bisa dilakukan sebelum vonis dijatuhkan agar perlindungan terhadap TKI lebih optimal," kata Wahyu.

TKI BERMASALAH - Menurut data terbaru Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) selama periode bulan Januari hingga Mei 2015 telah diberangkatan TKI sebanyak 120.677 orang. Sebagai bandingan untuk satu tahun penuh pada 2014 jumlah TKI yang diberangkatkan mencapai 429.872 orang.

Namun pada periode Januari- Mei 2015 BNP2 TKI juga mencatat terdapat 279  orang TKI yang meninggal dan dikirim pulang ke tanah air. Angka meninggal terbesar di duduk TKI asal negara Malaysia yang mecapai 22 orang, disusul TKI asal Taiwan sebanyak 16 orang.

Sementara kasus lain yang banyak diadukan TKI selama priode Januari -Mei 2015 adalah permasalahan gagal berangkat yang mencapai 285 pengaduan. Disusul masalah gaji tidak dibayar 206 kasus, TKI ingin dipulangkan 236 kasus, sakit 165 kasus, dan putus hubungan komunikasi sebanyak 141 pengaduan.

Sedangkan dari asal negara TKI yang mengadukan, pengaduan terbanyak datang dari TKI asal Malaysia sebanyak 762 kasus. Disusul negara Saudi Arabia 576, Taiwan sebanyak 138 kasus, dan United Arab Emirates yang mencapai 113  dan sejumlah negara lainnya.

BACA JUGA: