JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keharusan Tenaga Kerja Indonesia untuk memiliki Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) manjadi masalah dan dianggap membebani TKI.  Sebab selama ini meski KTKLN  tak terlalu bermanfaat bagi  TKI, para pekerja migran  justru kesulitan untuk memperolehnya.   

KTKLN atau kartu identitas pekerja merupakan syarat wajib para calon TKI atau TKI sebagai salah satu prosedur sebelum bekerja di luar negeri. Ketentuan tentang kepemilikan KTKLN didasarkan atas UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 62 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap TKI /Buruh Migran Indonesia wajib memiliki dokumen KTKLN. Pasal 62 ayat (2) terlampir fungsi KTKLN sebagai kartu identitas TKI selama masa penempatan TKI di negara tujuan.

Diakui Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal keberadaan KTKLN sejauh ini kurang relevan dan tidak terlalu memiliki nilai manfaat bagi TKI.

Pasalnya, TKI sebetulnya hanya diwajibkan memiliki nomor kartu sebagai keperluan data sementara keberadaan kartu KTKLN sendiri tidak berguna bagi pekerja.

Alasan mendasar KTKLN tidak memiliki nilai guna bagi TKI, kata Iqbal, karena kartu tersebut tidak bisa menjadi identitas di luar negeri dan tidak diakui oleh negara tujuan penempatan.

"Kalau identitas luar negeri adalah paspor atau kartu yang dikeluarkan pemerintah setempat," kata Iqbal kepada gresnews.com, Rabu (20/1).

Keharusan memiliki KTKLN menjadi beban bagi para TKI. Sebab untuk mendapatkannya mereka harus mengeluarkan biaya tinggi sebelum menjalani masa penempatan di luar negeri.

Faktor biaya yang cukup besar dalam pengurusan KTKLN, ditambah tidak adanya manfaat nyata yang didapat TKI, membuat pemerintah merasa perlu merevisi UU Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur secara rinci mengenai pembuatan KTKLN.

Namun demikian, menurut Iqbal, persoalan ini akan terus berlarut-larut apabila aturan UU tersebut tidak segera diubah. "KTKLN itu tidak bermanfaat. Namun masalahnya ada di UU Nomor 39 Tahun 2004 yang belum diubah total," kata dia.

Iqbal menyebut, inisiatif Presiden Joko Widodo untuk menghapus KTKLN masih terkendala karena aturannya masih sah dan berlaku dalam bentuk UU.

Alhasil, dengan masih diberlakukannya pembuatan KTKLN, menyebabkan pembiayaan penempatan TKI ke luar negeri semakin besar. Hal ini karena UU TKI yang ada saat ini tidak memuat norma pembiayaan TKI. Padahal sesuai norma konvensi internasional, norma biaya diatur dengan seksama.

Biaya penempatan sesuai aturan konvensi internasional yang dibebankan kepada TKI tidak boleh lebih dari satu bulan gaji.

"Misalnya jika gaji pekerja 400 dollar maka jumlah biaya yang dikeluarkan untuk proses penempatan tidak boleh lebih dari besaran gaji. Tetapi kenyataannya, TKI yang ditempatkan ke Taiwan dan Hongkong potongan gajinya sampai 9 bulan. Itu kan eksploitatif," lanjutnya.

Menurut Iqbal, keberadaan KTKLN hanya menjadi salah satu bentuk bisnis penempatan TKI yang dilakukan para agen penyalur, namun tidak memberikan norma, standar dan prinsip umum perlindungan.

WACANA PENCABUTAN KTKLN - Persoalan KTKLN tidak hanya berhenti pada besarnya biaya penempatan tetapi juga melahirkan aksi pemerasan. Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia Karsiwen mengungkapkan, persyaratan KTKLN sebagai prosedur perizinan seringkali dipakai sebagai alasan petugas Imigrasi bandara untuk memeras para TKI.

Karsiwen menyebut, KTKLN selama ini sebagai sumber masalah dan alat pemerasan. Selain para TKI semakin kesulitan karena harus membayar biaya penempatan dengan biaya tinggi, kemudian tenaga kerja juga semakin dieksploitasi.

"Praktik pemerasan sering dilakukan petugas. Umumnya dialami para tenaga kerja yang tidak memiliki KTKLN," kata Karsiwen kepada gresnews.com, Rabu (20/1).

Karsiwen menilai, tarik ulur penghapusan KTKLN membuat para calon TKI/TKI semakin dirugikan. Kasus terkait KTKLN yang pernah ditangani, kata Karsiwen, diantaranya pihak Imigrasi meminta uang kepada para tenaga kerja sebesar 500 ribu hingga Rp 2 juta agar bisa berangkat ke luar negeri.

BACA JUGA: