JAKARTA, GRESNEWS.COM - Isu komunis kembali menyeruak belakangan ini dan menimbulkan polemik. Keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditegaskan sudah tidak mendapat tempat lagi di Indonesia. Namun isu kembalinya PKI ini dibantah, dianggap sebagai upaya pembodohan publik.

"Rukun revolusi, bahasa lain pemberontakan dengan cara yang inkonstitusional," kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat menjadi pembicara dalam Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Ancaman PKI dan Ideologi Lain dengan tema Partai Komunis Indonesia Dari Aspek Konstitusi di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (2/6).

Fadli menyebut rukun PKI soal revolusi merupakan ajakan pengambilalihan kekuasaan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam konstitusi. Fadli menjelaskan sudah beberapa kali PKI melakukan pengkhianatan. Pada 1948, ketika bangsa Indonesia sedang melawan agresi Belanda, PKI justru menusuk dari belakang untuk merebut kekuasaan. Hal itu terulang kembali pada tahun 1965 ketika Sukarno dan rakyat Indonesia melaksanakan dwikomando rakyat.

Atas dasar itu, Fadli menyarankan pemerintah agar tidak membuka kembali luka lama dengan melakukan rekonsiliasi apalagi meminta meminta maaf kepada PKI. Menurutnya, jika negara tidak berhati-hati dalam bertindak justru akan memicu konflik. "Ini membuka luka lama, kalau pemerintah salah dalam bertindak akan memicu konflik horizontal," tegas Fadli.

Fadli menyatakan kegagalan dua kali pemberontakan yang dilakukan PKI pada 1948 dan 1965 merupakan bukti bahwa PKI sudah tidak memiliki tempat lagi di Indonesia. Usaha pemberontakan oleh PKI, menurut Fadli, adalah upaya pihak PKI untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara.

Brigjen TNI (Purn) Saafroedin Bahar, yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut, menyatakan, ideologi Marxisme-Leninisme sebenarnya bertentangan dengan ideologi Pancasila. Dalam tradisi Marxisme-Leninisme, tidak mengenal tentang kebangsaan sehingga akan membuat ideologi Pancasila akan dipinggirkan.

"Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Pancasila. Karena Marxisme-Leninisme tidak mengakui adanya bangsa, tetapi mengakui kelas. Konsekuensinya, tidak ada musyawarah mufakat di dalamnya, yang ada hanya pemaksaan," kata dia.

Dengan demikian, PKI jangan terlalu berharap akan kembali diterima bangsa Indonesia. Menurutnya, pemerintah sudah berprasangka baik kepada pihak PKI dan telah memberikan hak sipil politik kepada generasi PKI. "Komunisme sudah talak tiga dengan kita, tidak ada lagi tempat di Indonesia. Silahkan nikmati hak sipil politik, tapi jangan berharap akan mendapat tempat kembali," tegasnya.

Lebih jauh dia juga menyarankan perlunya kewaspadaan pemerintah terhadap kebangkitan PKI di Indonesia. Dia juga menegaskan agar pemerintah menolak untuk mencabut ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).

DORONG REKONSILIASI ALAMIAH - Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen mendorong pemerintah agar menolak meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurutnya, sebenarnya masyarakat dan TNI yang menjadi korban dari tragedi 1965. "Saya berharap Pak Jokowi, negara, tidak usah minta maaf kepada korban PKI," ujarnya.

Menurut Kivlan, kebangkitan PKI itu memang benar. Dia menyatakan bahwa PKI sudah melakukan kongres. Pada orde reformasi sudah berlangsung beberapa Kongres PKI, yakni VIII di Sukabumi Selatan, Jawa Barat, tahun 2000. Mereka menggelar kongres IX di Cianjur Selatan, Jawa Barat, pada 2006.

Kongres X di Desa Ngabrak, Magelang, Jawa Tengah pada 2010 berlangsung dengan bungkus Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik. PKI hasil kongres X dipimpin oleh Wahyu Setiaji dan Teguh Karyadi.

Soal kebangkitan itu, tambah Kivlan, sudah diberitahukan kepada Menteri Pertahanan. "Menhan juga sudah diberi tahu," aku Kivlan.

Selain itu, Kivlan juga mendorong agar rekonsiliasi itu berjalan alamiah saja. Sekarang sudah tidak ada permusuhan dengan eks PKI. Hak sipil politiknya juga sudah dipulihkan sehingga eks PKI bisa mengambil peran di semua sektor pemerintahan.

"Mereka sudah bisa jadi kepala desa, bisa jadi menteri, menjadi presiden. Itu sudah tidak jadi masalah, kok sekarang mereka meminta negara minta maaf kepada mereka. Rekonsiliasi kita sudah berjalan alamiah," tukas Kivlan.

Kivlan juga mengemukakan bahwa PKI sudah melakukan kongres tiga kali yang diselenggarakan di Banyuwangi, di Sukabumi dan Magelang. Dalam kongres di Magelang, ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan.

Pertama, Metode Kerja Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) berjuang di kalangan buruh. Kedua, bekerja di kalangan tani. Metodenya memulai dari desa mengepung kota. Setelah desa dikuasai, mereka akan melanjutkan mendorong untuk pembubaran Babinsa.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan sikap pemerintah yang tidak akan meminta maaf terkait peristiwa ´65 lalu. Gatot juga menyampaikan, Presiden Jokowi juga tak akan minta maaf. "Pemerintah mana yang minta maaf? Nggak akan ada," jelas Gatot usai simposium waspada PKI di Jakarta, Kamis (2/6).

"Jadi begini saya ingatkan, jangan katakan pemerintah akan minta maaf. Itu isu. Itu pengkhianat pada pemerintah tidak akan pemerintah minta maaf. Tidak pernah Presiden Jokowi bilang akan minta maaf. Final itu," tambah Gatot.

Gatot menyampaikan ada yang lebih berbahaya dari PKI, yakni neoliberalisme dan neokapitalisme. "PKI berbahaya tapi yang lebih berbahaya neokapitalisme, neoliberalisme," jelas Gatot.

Ia memberi contoh di negara-negara yang terimbas paham neokapitalisme dan neoliberalisme. Meenurutnya sudah ada contoh di Belanda, Prancis, Denmark sekarang gereja mulai dijual karena kosong. "Ini proses lama-lama orang jadi ateis nanti masuk jadi komunis, jadi harus diwaspadai ini," imbuh dia.

Komunisme, lanjut Gatot, sudah dilarang sesuai Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Jadi dengan keputusan MPRS ini sudah kuat kalau komunisme dilarang. "Jadi sudah final. Saya juga mengingatkan kebangkitan PKI bukan dilihat hanya di permukaan, tapi di bawah permukaan," tegas dia.

Sedangkan terkait pernyataan eks Kakostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen soal PKI yang sudah membentuk struktur dan akan segera deklarasi, Jenderal Gatot hanya menjawab diplomatis. "Tanya Pak Kivlan Zen dong," tegas dia.

HADIRKAN SAKSI - Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Ancaman PKI dan Ideologi Lain menghadirkan beberapa saksi dan korban kekejaman PKI di masa lalu. Maisaroh, yang kakaknya menjadi korban kekejian PKI, menceritakan di sore hari tahun 1965 dia dan kakaknya sedang jalan-jalan di Kota Solo, Jawa Tengah. Lalu, di jalan mereka bertemu teman kakaknya yang ternyata orang PKI. Lantas kakaknya yang juga merupakan salah satu pengurus ormas dibawa ke suatu tempat yang ternyata ke markas PKI. Di sana kakak Maisaroh diinterogasi dan disiksa.

Penyiksaan tersebut terjadi sekitar pukul 21.00 WIB sampai sekitar pukul 03.00 WIB dan dilakukan sekitar 30 orang. Bahkan kakak Maisaroh sempat tidak sadarkan diri akibat kekerasan yang dialaminya. Akhirnya korban dapat diselamatkan karena ada warga yang melihat kejadian tersebut dan langsung memanggil bantuan.

"Kakak saya sempat satu minggu tidak sadarkan diri di rumah sakit. Sampai sekarang, kakak saya tidak bisa bicara dengan jelas karena lidahnya disilet," ujar Maisaroh.

Kekejaman PKI juga menimpa Siti Aisyah, warga Magetan, Jawa Timur. Saat itu di tahun 1948, Aisyah yang baru berusia 18 tahun. Awalnya Dimyati dan keluarga mengungsi karena ada isu PKI akan membakar rumah mereka di Desa Kerambe, Magetan. Mengetahui Dimyati, yang merupakan aktivis Masyumi, tidak ada di rumah, lantas PKI mengutus oknum lurah untuk memberi tahu bahwa desa mereka sudah aman.

"Waktu pulang ke rumah ternyata malah ditangkap dan diamankan di rumah lurah. Besok paginya, bapak saya dipenggal kepalanya dan dimakamkan di kuburan Belanda bersama beberapa orang lainnya," tutur Aisyah.

PEMBODOHAN - Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Martin Hutabarat menyebut sudah tidak ada lagi komunis yang mampu bertahan di Indonesia. "Sekarang tidak ada lagi komunis, kok kita buat seperti hantu di siang hari bolong yang seolah-olah komunis itu jadi ancaman. Betapa malunya kita sama generasi muda yang sudah kita ajar berpendidikan kritis lalu kita takut-takuti bahaya komunis di Indonesia," kata Martin dalam acara Seminar Peringati Pidato Bung Karno 1 Juni di Balaikota Kusuma Wicitra, Pemkot Blitar, Kamis (2/6).

Martin menyebut isu-isu soal komunis ataupun PKI merupakan pembodohan. Menurutnya, bahaya terbesar yang sedang dihadapi Indonesia saat ini adalah narkoba karena sudah memakan korban lebih dari 6 juta jiwa.

Selain itu, tambah Martin, kesenjangan sosial harus mendapat perhatian serius untuk segera mendapatkan solusi. Sementara, dengan ditetapkannya 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, MPR RI disebutnya sudah dari dulu berusaha meluruskan sejarah.

"Jangan membuat akal-akalan dalam sejarah, dan kita harus sadar memang Bung Karno yang menyampaikan ide dan gagasan tentang Pancasila yang pertama kali pada tanggal 1 Juni," papar Martin.

Dengan ditetapkannya 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, menurut politisi Partai Gerindra ini, merupakan momentum tepat. Sebab dikatakan Martin ini sejalan dengan gencarnya program pemerintah terkait revolusi mental yang adalah upaya perjuangan bersama untuk menjadikan Indonesia lebih baik sebagai Negara Kesatuan.

"Pancasila jangan lagi diperdebatkan karena itu hanya bentuk kemunduran berpikir, namun Pancasila harus betul-betul diaplikasikan sebagai dasar negara untuk menjadi bangsa kesatuan yang berbhinneka Tunggal Ika," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: