JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bencana kabut asap di berbagai daerah belum juga mereda kendati berbagai upaya telah dilakukan. Kondisi lahan gambut yang mudah terbakar membuat asap selalu muncul berfluktuasi. Asap di Jambi setelah sempat menipis beberapa hari, kini kembali menebal. Begitu pun yang terjadi di daerah lain.

Meluasnya dampak dari kabut asap ini membuat banyak pihak meminta agar pemerintah menetapkan sebagai bencana nasional. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pun sampai membentuk panitia kerja (Panja) asap dan Perusakan Lingkungan Hidup.

Para wakil rakyat itu berkomitmen memperjuangkan penambahan anggaran untuk menghentikan bencana kabut asap. Hal ini lantaran diketahui anggaran untuk memadamkan kebakaran kurang dari cukup. Sementara di sisi lain, pemerintah belum mau mengubah status bencana ini menjadi bencana nasional.

Dalam rapat tertutup, Ketua DPR RI Setya Novanto menginginkan tak ada lagi korban jiwa terkait asap. Untuk itu, ia pun mengusulkan dibentuk tim pengawas dan tim koordinasi asap bersama pemerintah.

Ia juga menyoroti masalah minimnya anggaran bagi penanganan bencana asap. "Ini menjadi perhatian DPR agar kepentingan rakyat tak bermasalah, kebetulan juga ada Pak Taufik Kurniawan di bidang anggaran," katanya di Gedung DPR RI, Senayan, Jumat (16/10).

Komisi II DPR telah membentuk Panitia Kerja Asap untuk menangani persoalan kabut asap. Sementara, Komisi IV membentuk Panitia Kerja Perusakan Lingkungan Hidup. Sejumlah anggota Dewan mendesak pembentukan Panitia Khusus Asap untuk mensinergikan kinerja kedua panja. Beberapa waktu lalu, Komisi IV mendesak agar pemerintah menetapkan status musibah kebakaran hutan dan lahan sebagai bencana nasional.

ALASAN TAK MENETAPKAN SEBAGAI BENCANA NASIONAL - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, walaupun pemerintah kesulitan memadamkan api namun belum mengubah bencana asap ini sebagai bencana nasional. Selama ini juga ramai diberitakan beberapa anggota DPR bahkan wakil Ketua DPR Agus Hermanto gencar mengusulkan agar asap dimasukkan menjadi bencana nasional. Hal ini bertujuan agar penanganannya pun lebih efekti dengan menggunakan anggaran nasional yang tentu juga lebih besar.

"Belum terpikir menetapkan sebagai bencana nasional, karena ada aspek hukum yang mengganjal," ujarnya di DPR.

Ia menyatakan jika ditetapkan sebagai bencana nasional, maka bagi perusahaan pembakar hutan dapat lari dari tanggung jawab. Seperti halnya pada penetapan bencana lumpur Lapindo, Sidoarjo. Anggaran yang digelontorkan untuk ganti rugi akhirnya berasal dari negara, jika sudah begini, maka sama saja rakyat yang kembali kena getahnya.

"Yang buat kesalahan akan punya hak untuk dimaafkan. Padahal kita masih punya kewenangan untuk penindakan. Kita konsisten terhadap itu," katanya.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status dan tingkatan bencana didasarkan pada beberapa indikator. Indikator tersebut meliputi a) jumlah korban, b) kerugian harta benda, c) kerusakan sarana dan prasarana, d) cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan e) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Sedang, bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan ini tak memenuhi indikator a, b, dan c. Walaupun hasil dari usaha pemadaman masih naik turun, namun ia meyakini bencana kabut asap ini bisa terselesaikan dalam 3-4 minggu ke depan.

Apalagi ditambah dengan lebih seringnya hujan dan beberapa bantuan dari luar negeri seperti Hercules dari Malaysia juga scooping dari Rusia. "Tapi pesawat Malaysia tak mau dicampur chemical. Kita harapkan Rusia yang bisa membawa 12 ton air dan mau dicampur chemical  ini bisa membawa dampak baik. Senin mulai beroperasi," katanya.

MAKSIMALKAN UPAYA PEMADAMAN DAN PENEGAKAN HUKUM - Ditambahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan , Siti Nurbaya pemadaman telah dilakukan secaara maksimal menggunakan teknik hujan buatan dan garam. Ia juga sudah menyiapkan gugatan pidana dan perdata bagi perusahaan yang dinilai melanggar hukum.

"Sudah ada satu perusahaan yang masuk pengadilan, kami juga melakukan penelitian 413 entitas usaha yang lokasinya merupakan areal perizinan," katanya.

Dari hasil evaluasi perusahaan ini, bila diketahui mereka membakar hutan maka akan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan langsung mencabut dan membekukan izin. Disamping itu kementerian juga melanjutkan evaluasi perizinan dan review Analisis dan Dampak Lingkungan (AMDAL) perusahaan perhutanan.

Kementerian juga sedang menyiapkan penajaman kekuatan masyarakat. "Kami juga akan persingkat perizinan jadi 15 hari secara ketat, jika kurang syarat langsung cabut," ujar Siti Nurbaya.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Rasio Ridho Sani dalam kesempatan berbeda pernah mengatakan pemerintah memang tidak perlu menetapkan asap ini sebagai bencana nasional. "Walaupun ada el nino, tapi kami tegaskan ini bukan bencana alam. Kebakaran hutan ini disebabkan manusia," katanya dalam sebuah diskusi, Sabtu (10/10) lalu.

Selain itu, ia berharap, agar aparat penegak hukum dapat satu suara dengan Kementerian LHK dalam memberantas praktik pembakaran hutan yang dilakukan perusahaan. "Kami harap aparat hukum punya pandangan yang sama untuk menganggap ini bukan sebagai bencana alam atau force majeur, tapi man made disasster," kata Rasio.

Berdasarkan data kepolisian per 12 Oktober 2015, Polri telah menerima 244 laporan terkait tindak pidana pembakaran hutan dan lahan. Dari laporan itu, baru 26 yang masuk tahap penyelidikan, 218 lainnya masuk tahap penyidikan.

Kemudian, dari 218 penyidikan, terdapat 113 kasus perorangan dan 48 kasus melibatkan korporasi. Selain itu, 57 kasus di antaranya telah dinyatakan lengkap oleh pihak kejaksaan.

Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti mengatakan, saat ini ada 12 perusahaan dan 209 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Dari 12 perusahaan itu, beberapa diantaranya berasal dari Singapura, Malaysia dan China.

BACA JUGA: