JAKARTA, GRESNEWS.COM – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melaksanakan sidang paripurna untuk membentuk panitian ad hoc penyusunan tata tertib (tatib) MPR. Undang-undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) akan menjadi pedoman bagi pembuatan tatib tersebut.

Salah satu rekomendasi yang menuai perdebatan dalam penyusunan tatib terkait dengan usulan sejumlah fraksi yang ingin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara di atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Salah satu partai yang mengusulkan wacana di atas yaitu fraksi Golkar.

Anggota MPR fraksi partai Golkar Rully Chairul Azwar mengatakan, fraksinya berharap mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tinggi negara. "Ini diperlukan karena sesuai dengan peran MPR untuk membuat dan mengubah UUD 1945," kata Rully di rapat paripurna MPR, Senin (22/9).    

Usulan itu mendapat beragam tanggapan dari para anggota dewan. Dewan Penasihat Gerindra Martin Hutabarat mengaku tidak setuju dengan usulan tersebut. Dia bilang, partainya justru mengusulkan agar peran MPR diperkuat dalam menafsirkan konstitusi ketimbang dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara.

Ia menjelaskan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menggodok rancangan undang-undang memakan waktu sekitar 2 hingga 3 tahun. Ia melanjutkan jika ada satu orang yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), MK bisa menolak atau merevisi UU tersebut.

"Sudah bertahun-tahun dibahas di DPR, dengan alasan tidak sesuai dengan konstitusi UU diubah. Padahal mereka baru saja diangkat jadi hakim konstitusi, kok mereka yang lebih?" ujarnya usai paripurna MPR, Jakarta, Senin (22/9).

Martin menambahkan harusnya dalam menafsirkan konstitusi, MK juga menanyakan pendapat MPR. Menurutnya, MPR yang mengetahui kenapa ada pasal-pasal tertentu dalam UU. Ia menilai peran seperti ini akan menguatkan peran MPR dan sistem kenegaraan. "Begitu usul kita tadi," jelasnya.

Usulan penguatan MPR juga diajukan Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli. Dia mengatakan, MPR jangan hanya dijadikan alat kelengkapan atau asesoris saja. Menurutnya, MPR harus memiliki alat kelengkapan sendiri seperti badan anggaran dan lembaga kajian.

Terkait usul penguatan MPR sebagai lembaga tinggi negara yang bisa memberhentikan presiden, ia menyatakan tidak setuju dengan mekanisme tersebut. "Sudah bagus kayak gini, tidak mempermudah impeachment," ujarnya di MPR, Jakarta, Senin (22/9).

Menanggapi wacana ini, pengamat politik dari Universitas Indonesia Maswadi Rauf mengatakan, meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara bukan solusi untuk perbaikan demokrasi di Indonesia. Ia menjelaskan jika usul tersebut disetujui, politik di Indonesia akan menjadi semakin elitis dan rakyat hanya menjadi penonton dalam berdemokrasi.

Maswardi menilai, selama ini ada pola pikir yang salah bahwa sistem yang rusak harus diganti. Menurutnya lebih baik memperbaiki sistem yang sudah ada. Ia melanjutkan jika sistem lama diganti dengan yang baru, permasalahan baru akan muncul.

Hal itu menurutnya justru akan membuat demokrasi menjadi jalan di tempat. "Pak Soeharto dulu pernah bilang kalau ada pemilihan presiden di MPR, rakyat diam saja, tidak usah ribut-ribut, demokrasi macam apa itu?" tandasnya.

BACA JUGA: