Oleh: Yeni Handayani*)

Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pengaturan mengenai HAM dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), belum mampu mengurangi pelanggaran HAM secara signifikan, baik pelanggaran HAM yang bersifat vertikal, yakni pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap warga negara maupun pelanggaran HAM yang bersifat horizontal, yakni pelanggaran HAM yang terjadi di antara warga negara.

Selain itu dengan berbagai perkembangan mutakhir dalam konteks pelanggaran HAM seperti pelanggaran HAM yang terkait dengan operasi suatu korporasi sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dijawab melalui UU HAM. Mengingat pelanggaran HAM yang terjadi selama ini yang dilakukan oleh korporasi tidak terakomodir dalam UU HAM, sehingga hanya dianggap sebagai tindak kriminal biasa bukan pelanggaran HAM.

Dewasa ini korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu Negara, bahkan dalam beberapa aspek peranan korporasi melebihi peran dan pengaruh suatu Negara. Dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara korporasi seringkali melakukan tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum pidana bahkan pelanggaran terhadap HAM. Terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi, salah satunya adalah kasus penyerobotan lahan masyarakat yang hampir terjadi di semua daerah.

Dalam penyelesaiannya selalu masyarakat yang dirugikan karena korporasi belum jelas kedudukannya sebagai subyek hukum atau bukan. Korporasi perlu diatur sebagai subyek hukum selain orang atau kelompok orang termasuk aparat negara.

Hal ini disebabkan dalam perkembangannya perusahaan bisnis termasuk di dalamnya korporasi dalam Prinsip Dasar Pertama "United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations "Protect, Respect and Remedy" dinyatakan:

"Negara harus melakukan perlindungan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di wilayah dan/atau yurisdiksi mereka oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis. Hal ini membutuhkan pengambilan langkah yang tepat untuk mencegah, melakukan penyidikan, menghukum dan menuntut ganti rugi penyalahgunaan tersebut melalui kebijakan yang efektif, legislasi, regulasi dan ajudikasi".

Dalam melakukan perumusan korporasi sebagai subyek hukum khususnya sebagai subyek tindak pidana perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1.Pola Pemidanaan

a. Jenis sanksi pidana bagi korporasi, baik pidana pokok, pidana tambahan ataupun tindakan

Jenis sanksi pidana yang dipandang paling mungkin diterapkan pada korporasi selama ini hanyalah pidana denda dan pencabutan izin usaha. Namun demikian untuk mencegah korporasi melakukan tindak pidana tidak hanya diperlukan sanksi pidana yang bersifat finansial, tetapi juga sanksi pidana yang bersifat perbaikan internal bagi korporasi seperti pidana pengawasan, pidana kerja sosial atau alternatif sanksi pidana lainnya. Dengan tersedianya jenis-jenis sanksi pidana bagi korporasi dapat memudahkan untuk menentukan jenis sanksi pidana yang tepat sesuai dengan bobot perbuatan yang dilakukan korporasi, kerugian yang ditimbulkan korporasi dan kondisi korporasi.

b. Berat ringannya pidana bagi korporasi.

Untuk menentukan berat ringannya pidana bagi korporasi, yang menjadi tolok ukur adalah bobot dari tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, kerugian yang ditimbulkan oleh korporasi serta kondisi korporasi.

c. Cara perumusan sanksi pidana bagi korporasi.

Dalam merumuskan sanksi pidana bagi korporasi hendaknya dihindari perumusan sanksi pidana yang bersifat tunggal atau kumulatif, karena sifatnya sangat kaku sehingga menimbulkan kesulitan untuk menentukan sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan korporasi. Oleh karena itu perumusan saksi pidana secara alternatif (dan/atau) merupakan pilihan yang tepat karena lebih fleksibel dan elastis untuk menentukan sanksi pidana yang sesuai dengan bobot dari tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan kerugian yang ditimbulkan oleh korporasi serta kondisi korporasi.

2.Aturan Pemidanaan

a. Penentuan kapan korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana;

Aturan ini perlu ditentukan untuk menjaring perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat senior korporasi, pejabat manajerial korporasi, pekerja, agen korporasi maupun individu yang berhubungan dengan korporasi yang bertindak untuk atau atas nama korporasi dalam ruang lingkup korporasi sebagai perbuatan korporasi. Agar dapat meliputi perbuatan yang dilakukan baik oleh pihak pengurus, manajer, pekerja ataupun agen korporasi, serta pada delik-delik tertentu yang sudah terlihat korporasi melakukan tindak pidana, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:


1)Tindak pidana dilakukan oleh pengurus korporasi, dalam ruang lingkup usaha korporasi.
2)Tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan korporasi, tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindak pidana secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
3)Tindak pidana dilakukan semata-mata karena korporasi telah melanggar peraturan perundang-undangan.

b. Penentuan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan;

Aturan ini ditentukan untuk memberikan pembatasan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh individu dalam korporasi, yakni apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk atau atas nama korporasi dalam ruang lingkup usaha korporasi.

c. Penentuan kapan pengurus korporasi dapat dipertanggungjawabkan;

Aturan ini dilakukan untuk memberikan batasan pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi, di mana pengurus yang layak untuk dipertanggungjawabkan adalah pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam korporasi.

d. Penentuan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;

Dalam hal suatu tindak pidana dikatakan telah dilakukan oleh korporasi, maka yang dapat dipertanggungjawabkan adalah : 1) Korporasi; 2) Pengurus; dan 3) Korporasi dan pengurus.

e. Penerapan pidana minimal khusus;

Dengan adanya pemberlakuan sanksi minimal khusus dalam peraturan perundang-undangan, maka terdapat masalah pemberatan dan peringanan hukuman apabila tindak pidana dilakukan dalam kondisi tertentu. atau jika terdapat masalah percobaan penyertaan, concursus, recidive serta alasan pemberatan atau peringanan lainya patut dikaitkan dalam penerapan sanksi minimal khusus ini.

Dalam praktek perundang-undangan yang ada selama ini, pemberatan dilakukan dengan jalan memperberat 1/3 dari hukuman yang ditetapkan. Demikian juga untuk percobaan disamakan hukumannya dengan melakukan. Oleh karena itu terhadap peraturan pidana yang mengandung sanksi pidana minimal khusus juga selayaknya diberlakukan apakah dalam percobaan ataupun pemberatan dilakukan penyetaraan dan pemberatan hukuman pula, sehingga tidak membawa permasalahan bagi hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan.

f. Penentuan dalam penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan.

Dalam penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan ataupun tindakan dihindari sistem yang bersifat imperatif, oleh karena itu pemberiannya dilakukan dengan cara:1) Menjatuhkan pidana pokok saja; 2) Menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan; 3) Menjatuhkan pidana pokok dan tindakan; 4) Menjatuhkan pidana pokok, pidana tambahan maupun tindakan; 5) Menjatuhkan pidana tambahan saja; 6) Menjatuhkan pidana tambahan dan tindakan; dan 7) Menjatuhkan tindakan saja. Dengan aturan yang demikian, maka hakim dapat lebih fleksibel dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, dengan catatan pidana yang dijatuhkan sesuai dengan tujuan pemidanaan.

g. Penentuan apabila suatu jenis sanksi pidana tidak dilaksanakan oleh korporasi.

Apabila suatu jenis sanksi yang dijatuhkan tidak dipenuhi oleh korporasi, maka hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana yang lain yang sesuai dengan tujuan pemidanaan. Misalnya, apabila korporasi dijatuhi pidana denda dan korporasi tidak membayar denda tersebut, dapat dilakukan penyitaan aset korporasi dan dijual untuk memenuhi kewajiban korporasi yang tidak dibayar tersebut.

Mengingat banyaknya terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi maka korporasi perlu disebutkan sebagai salah satu subyek hukum yang dapat melakukan pelanggaran HAM selain orang atau kelompok orang. Perlu kiranya regulasi tentang bagaimana kemudian penjatuhan sanksi ketika pencabutan izin usaha atau terdapat bentuk sanksi lain.

Merupakan suatu hal yang perlu dan mendesak untuk dimasukkannya pasal tentang korporasi sebagai salah satu subyek hukum pelanggaran HAM dalam penyempurnaan UU HAM selain orang atau kelompok termasuk aparatur negara. Selain itu rumusan mengenai korporasi juga harus dipertegas karena korporasi juga terkait dengan hal lain misalnya investasi di suatu daerah.

Untuk dapat dipertanggungjawabkan maka perlu diatur dalam penyempurnaan UU HAM sebagai subyek hukum dan sanksi yang tegas untuk dapat dijatuhkan kepada korporasi karena kedudukan setiap orang, kelompok orang, korporasi, maupun aparat negara sama kedudukannya dimata hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal itu menyebutkan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

*) Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sekretariat Jenderal DPR RI.    

BACA JUGA: