Oleh: A’an Efendi *)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) telah berusia tujuh tahun lebih atau akan genap berusia delapan tahun pada 26 April 2015 mendatang. Usia yang tak lagi bisa dibilang muda tentunya. Lalu di usianya yang sudah matang itu apa yang telah dilakukan oleh UUPB untuk menanggulangi bencana di tanah air?

Seperti kita ketahui bencana tetap rutin terjadi tiap tahunnya. Bahkan di tahun 2015 ini bencana banjir bandang melanda beberapa wilayah nusantara. Di Jawa Timur, banjir menyapa wilayah Surabaya, Gresik, Pasuruan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Sampang, dan lain-lain. Di Jawa Barat, banjir telah berhasil merendam wilayah Kabupaten Bandung dan Bekasi. Di Provinsi Banten, banjir menghampiri wilayah Tangerang. Di Kalimantan Utara, banjir melanda Bulungan sementara di Sumatera banjir menerjang wilayah Lampung Selatan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya Ibukota Jakarta pun tak luput dari hantaman bencana banjir. Bahkan banjir ibukota tahun ini telah berhasil menyerbu istana negara hingga memunculkan wacana perpindahan Presiden Joko Widodo ke Istana Bogor supaya tidak mengganggu tugas-tugas kepresidenannya. Bencana tidak hanya telah merenggut harta benda manusia tetapi tidak jarang merenggut pula kehidupan manusia. Bencana telah menguras energi dan air mata anak negeri.

Kalaupun bencana terus terusan terjadi meski telah ada UUPB tidak serta merta kita bisa menyalahkan UUPB. Kita tidak bisa bilang UUPB tidak implementatif atau UUPB yang usianya hampir mencapai delapan tahun itu tidak mampu menghadang laju bencana. Tugas pokok UUPB memang bukan untuk mencegah terjadinya bencana.

Sesuai namanya tugas utama UUPB adalah menanggulangi bencana yang telah datang bukan mencegah datangnya bencana. Secara berkelakar UUPB malah sering disebut undang-undang yang "undang-undang" (baca meminta datang/mengundang) bencana dan kemudian ditanggulangi.

Supaya UUPB lebih bertaji maka dibentuk lembaga yang disebut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tingkat pusat dan tingkat daerah ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang tugas pokoknya mengejawantahkan maksud dan kehendak UUPB. Tanpa BNPB-BPBD tentu saja UUPB tidak akan bisa berbuat apa-apa. Tanpa BNPB-BPBD UUPB hanyalah untaian kata-kata belaka. Hanya sekadar macan kertas.

Bencana itu sendiri dapat terjadi karena faktor alam atau ulah manusia. Bencana yang disebabkan oleh alam dikategorikan sebagai Act of God yaitu terjadi secara alami yang melebihi antisipasi dan kendali manusia seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, badai salju, dan angin topan. Hanya bencana yang disebabkan oleh alam yang dapat dikualifikasi sebagai bencana alam dan tidak meliputi bencana oleh ulah manusia. Bencana yang terjadi karena perbuatan manusia tidak termasuk bencana alam.

Pembedaan bencana alam dengan bencana akibat ulah manusia berimplikasi sangat penting bagi hukum. Bencana alam yang terjadi karena proses alam atau disebut Act of God maka tidak ada pihak yang dapat dibebani tanggung jawab hukum. Tidak ada tanggung jawab hukum bagi alam. Alam tidak tidak dapat menjadi pihak tergugat di pengadilan untuk dituntut membayar ganti kerugian. Kerugian akibat bencana alam menjadi tanggung jawab negara.

Sementara itu bila bencana disebabkan oleh perbuatan manusia maka pelakunya dapat dibebani tanggung jawab hukum untuk membayar ganti kerugian, menghentikan sumber bencana, dan memulihkan dampak buruk akibat bencana itu. Tak heran tiap terjadi bencana selalu digiring menjadi bencana alam yang tujuannya jelas untuk lepas dari tanggung jawab hukum walaupun untuk itu tak segan alam harus dijadikan kambing hitam. Alam kerap dituduh sebagai biang keladi terjadinya bencana.

Kembali ke UUPB. Sesuai nama dan materi muatannya maka UUPB lebih mengedepankan tindakan penanggulangan bencana yang sudah terjadi. Yang demikian sebenarnya UUPB telah melakukan penentangan yang kasatmata tidak hanya terhadap prinsip pokok yang dianut hukum tetapi terhadap prinsip yang berlaku umum bahwa mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Prevention is better than cure. Tindakan pencegahan adalah golden rule bagi hukum.

Pencegahan selalu dipandang lebih menguntungkan dibandingkan tindakan penanggulangan, baik itu dari aspek ekologis, ekonomi, maupun sosial. Tindakan penanggulangan yang fokusnya memperbaiki dampak kerusakan pasca bencana seringkali tidak mungkin dilakukan terhadap bencana yang menimbulkan kepunahan spesies flora dan fauna, erosi, atau hilangnya nyawa sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diubah. Bahkan bila dampak suatu bencana dapat diperbaiki, mahalnya biaya rehabilitasi sering menjadi penghalang.

Pencegahan bencana alam dilakukan dengan mengembangkan teknologi pendeteksi bencana yang tujuannya untuk mengetahui potensi terjadinya bencana sejak dini. Jika sejak awal telah diketahui akan terjadi bencana maka dapat segera dilakukan tindakan relokasi bagi warga masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana untuk meminimalkan kerugian.

Bagi bencana yang disebabkan oleh manusia tindakan pencegahannya adalah pengawasan yang terus menerus terhadap aktivitas manusia yang punya potensi merusak lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya bencana. Jika dari pengawasan itu ditemukan tindakan manusia yang merusak lingkungan maka harus segera dihentikan.

Dalam perspektif hukum, pengawasan adalah instrumen penegakan hukum yang sifatnya preventif yang tujuannya mencegah perbuatan pelanggaran sedangkan untuk menghentikan pelanggaran instrumennya adalah penjatuhan sanksi.

Sanksi meliputi sanksi administrasi untuk menghentikan perbuatan pelanggaran, sanksi pidana untuk menghukum dan membuat jera pelanggar agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan sanksi perdata untuk memberikan ganti kerugian bagi pihak yang dirugikan oleh si pelanggar. Jadi ada perlakuan yang berbeda karena keduanya memang tidak sama.

Revisi UUPB

Beruntung Komisi VIII DPR RI dan BNPB telah berencana merevisi UUPB. Namun patut disayangkan wacana revisi UUPB itu tidak menyentuh jantungnya UUPB. Revisi hanya menyangkut penguatan peran BNPB dan BPBD dan terutama menyangkut peran BPBD dalam melakukan kerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait dalam penanggulangan bencana serta dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanggulangan bencana (www.antaranews.com, 21/1/2015).

Penting memang tetapi belum menyentuh yang fundamental dari UUPB. Revisi UUPB seharusnya mengubah pondasi UUPB yang semula prinsip pokoknya menanggulangi bencana menjadi mencegah bencana. Dari yang awalnya bertitik tolak pada penanggulangan menjadi fokus pada pencegahan. Dari revisi itu bahkan seharusnya dapat melahirkan UUPPB alias undang-undang pencegahan dan penanggulangan bencana.

BNPB pun harusnya berevolusi menjadi BNPPB atau Badan Pencegahan dan Penanggulangan Bencana yang tugas pokok dan fungsinya adalah mencegah bencana dan baru menanggulangi bencana jika tindakan pencegahan tidak mampu menghadang datangnya bencana. Jadi yang nomor satu adalah mencegah terjadinya bencana dan yang nomor dua baru menanggulangi bencana.

Sekali lagi harus diingat ungkapan yang sangat populer "an ounce of prevention is worth a pound care". Tindakan pencegahan walaupun sedikit akan lebih baik dibandingkan tindakan yang banyak tetapi wujudnya tindakan perbaikan.

*) Penulis adalah mahasiswa doktoral Universitas Airlangga

BACA JUGA: