Oleh: Yeni Handayani*)

Indonesia berbatasan dengan negara tetangga baik di darat maupun laut. Indonesia berbatasan langsung di darat dengan tiga negara yaitu: Malaysia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yaitu dengan Serawak dan Sabah), Papua Nugini (Papua) dan Timor Leste  (Nusa Tenggara Timur) dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan mencapai 2914,1 km. Di wilayah laut, Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara tetangga, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Republik Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste.

Luasnya wilayah perbatasan laut dan darat Indonesia tentunya membutuhkan dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi, pada kenyataannya penanganan terhadap masalah yang dihadapi oleh perbatasan sampai saat ini masih dilakukan secara parsial, terkait dengan masalah wewenang pemerintah pusat dan daerah.

Penegakan hukum di perbatasan belum optimal karena luasnya area yang harus diawasi yang berbanding terbalik dengan sarana dan prasarana serta sumber daya. Selain itu juga terkendala minimnya alokasi anggaran pembangunan. Belum lagi masalah seringkali tidak sinergisnya alokasi anggaran untuk kawasan perbatasan antara instansi pemerintah.

Hal itu masih diperparah dengan pola pendekatan pembangunan yang memandang perbatasan sebagai bagian terluar bukan beranda negara. Ini menunjukkan pemerintah belum memiliki sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik, meskipun peraturan perundang-undangan terkait dengan perbatasan sudah cukup dan memadai.

Meskipun instrumen hukum sebagaimana tersebut cukup memadai, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa manajemen perbatasan Indonesia selama ini berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Selama ini, kawasan perbatasan Indonesia hanya dianggap sebagai garis pertahanan terluar negara melalui pendekatan keamanan (security approach). Sementara itu di beberapa negara tetangga, misalnya Malaysia, telah menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity) dan keamanan secara berdampingan.

Akibat dari pola pendekatan seperti itu, masyarakat di perbatasan secara umum menghadapi masalah keterisolasian, keterbelakangan, kemiskinan, mahalnya harga barang dan jasa, keterbatasan prasarana dan sarana pelayanan publik/infrastruktur, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia pada umumnya. Meskipun pendekatan keamanan lebih dominan dalam penanganan perbatasan, pada kenyataannya tindak kejahatan di perbatasan (border crime) sebagai akibat kemiskinan dan keterbelakangan serta ketertinggalan makin meningkat.

Misalnya, penyelundupan kayu (illegal loging), barang, dan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia (human trafficking), pelintas batas illegal, terorisme, pencurian ikan (illegal fishing,) serta penetrasi ideologi asing. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat perbatasan dan masalah yang kemudian muncul jika tidak ditangani secara benar dan tepat dapat mengganggu stabilitas dan kedaulatan negara.

Pengelolaan perbatasan di Indonesia, hingga saat ini masih dihadapkan pada beberapa isu strategis dengan variasi permasalahan yang menonjol di dalamnya, yaitu pengelolaan batas wilayah negara dan pembangunan kawasan perbatasan. Belum selesainya penetapan dan penegasan beberapa segmen batas wilayah negara dengan negara tetangga, baik batas darat maupun batas laut, memunculkan masalah terkait sengketa garis batas yang potensial mengancam kedaulatan RI. Adapun permasalahan perbatasan dengan tiga negara tetangga yaitu:

1.Perbatasan Darat

Penentuan perbatasan darat Indonesia dengan ketiga negara tersebut di atas, didasarkan pada asas Utis Posidetis, yang berarti bahwa wilayah negara yang merdeka dari penjajahan sama dengan wilayah yang dikuasai oleh penjajahnya di wilayah tersebut. Batas darat antara Indonesia dengan Malaysia dan Papua Nugini merujuk pada perjanjian perbatasan antara pemerintah Inggris dan pemerintah Hindia Belanda.

Sedangkan batas darat antara Indonesia dengan Timor Leste merujuk pada perjanjian perbatasan antara Pemerintah Hindia Belanda dan Portugis. Penentuan batas wilayah negara pada waktu itu didasarkan pada tanda-tanda yang ada di alam, seperti sungai, pohon dan lain sebagainya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penegasan batas wilayah negara sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sampai saat ini, penentuan batas wilayah antara Indonesia dengan 3 negara tetangga belum selesai, terutama dalam penetapan dan penegasan patok batas. Selain masalah penentuan batas, di kawasan perbatasan yang sudah disepakati pun dihadapkan pada persoalan kepastian posisi patok batas yang sudah dipasang.

Pergeseran, kerusakan, dan hilangnya patok-patok perbatasan darat wilayah negara, banyaknya "jalur tikus” lintas batas, dan kondisi Pos Lintas Batas (PLB) yang belum memadai terutama PLB tradisional, secara akumulatif menjadi bagian dari permasalahan strategis perbatasan saat ini. Hal tersebut memerlukan perhatian serius.

2.Perbatasan Laut NKRI

Sejumlah segmen batas wilayah laut, baik batas dengan negara tetangga maupun batas-batas terluar yurisdiksi negara dimana Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk pemanfaatannya, banyak yang belum disepakati.

Untuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), dari sebanyak 10 Perjanjian, baru 2 yang telah disepakati dan 8 belum ada kesepakatan. Untuk Batas Laut Teritorial (BLT), dari sebanyak 5 Perjanjian, telah ada sebanyak 3 yang telah disepakati dan menyisakan 2 yang belum. Untuk batas laut kontinen (BLK), dari sebanyak 8 Perjanjian, telah 4 disepakati dan 4 lagi yang belum ada kesepakatannya.

Selain permasalahan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat juga permasalahan terkait pengelolaan kawasan perbatasan yaitu:

a. Belum optimalnya pengembangan dan pemanfaatan potensi kawasan perbatasan akibat kurang tersedianya sarana/prasarana dasar di kawasan perbatasan, merupakan permasalahan umum yang terjadi dan dihadapi hampir di semua kawasan perbatasan wilayah negara Indonesia, sehingga menyebabkan kawasan perbatasan senantiasa tertinggal dan terisolir, dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang rendah dan aksesibilitas yang kurang, terutama akses kawasan perbatasan dengan pusat pemerintahan, pusat-pusat pelayanan publik, atau wilayah lain yang relatif lebih maju.

b. Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk perbatasan dan tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Akibatnya, penyalurannya seringkali tidak efektif dan tidak ada sinergi kelembagaan dalam membangun wilayah perbatasan

c. Pengelolaan kawasan perbatasan dalam implementasinya di lapangan di hadapkan pada benturan ketidakjelasan kewenangan yang dimiliki, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten. Pengelolaan/penanganan kawasan perbatasan selama ini dilakukan oleh banyak instansi dengan leading sector yang berbeda-beda. Selain itu belum adanya sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengembangan perbatasan.

d. Rendahnya kualitas sumber daya manusia, kurang meratanya penyebaran penduduk karena karakteristik geografis kawasan, dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali tanpa menghiraukan daya dukungnya, menambah kompleksitas permasalahan aktual yang dapat ditemui di sebagian besar kawasan perbatasan wilayah negara, utamanya di wilayah darat.

e. Rendahnya aksesibilitas informasi yang berpotensi melemahkan wawasan maupun rasa kebangsaan warga bangsa di perbatasan. Di kawasan perbatasan, terutama yang berbatasan dengan Malaysia, informasi didominasi oleh siaran radio dan televisi Malaysia.

f. Lemahnya upaya pencegahan maupun penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal (illegal logging, illegal fishing, illegal mining, human trafficking, dan lain-lain) serta gangguan keamanan di kawasan perbatasan, khususnya pada daerah yang masih menjadi sengketa.

g. Minimnya sarana dan prasarana di sebagian besar exit entry point (Pos Lintas Batas/PLB) perbatasan darat maupun perbatasan laut, banyaknya "jalan tikus" lintas negara maupun PLB tradisional yang kurang efektif pengawasannya, dikaitkan dengan fenomena meningkatnya kasus perdagangan manusia dan terorisme.


Selain itu, dalam tiap pos lintas batas juga tidak jelas siapa yang menjadi leading sector terhadap pengelolaan pos lintas batas. Beberapa kasus membuktikan bahwa pos lintas batas yang di dalamnya beraktivitas  imigrasi, bea cukai, karantina dan keamanan berjalan sendiri. Jika dibandingkan dengan pengelolaan lalu lintas dan barang di bandara, meskipun ada aktivitas imigrasi, bea cukai, karantina dan keamanan, semuanya berjalan dalam pelayanan pihak angkasa pura.

Kawasan perbatasan harus menjadi ikon atau potret awal dari negara yang maju, artinya segala fasilitas umum maupun pemberdayaan di daerah perbatasan harus optimal. Terutama pembangunan infrastruktur sehingga cara pandang melihat perbatasan sebagai daerah tertinggal bisa dibantahkan dan menjadi latar depan NKRI.

Pemerintah seharusnya memberikan anggaran yang cukup untuk segera memperbaiki infrastruktur dan dikelola khusus oleh badan yang independen. Badan itu juga seharusnya tidak mengekor dengan pemerintah daerah setempat sehingga lebih optimal dalam mengelola kawasan perbatasan.

Dukungan pendanaan bagi pengembangan kawasan perbatasan baik yang ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan berada di masing-masing instansi pemerintah sudah bisa dipetakan dan disinkronkan.

APBN dan APBD direncanakan oleh masing-masing instansi pemerintah berdasarkan usulan program/kegiatan tahunan yang dipetakan dan disinkrokan melalui rapat lintas program dan lintas sektor serta melalui forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).

Kendati demikian dalam kenyataan masih terdapat ego sektor dan ego program sehingga perlu adanya koordinasi yang lebih baik dalam pengelolaan anggaran dimaksud. Sedangkan Mekanisme penyaluran anggaran bagi pengembangan kawasan perbatasan baik yang bersumber dari APBN dan APBD yang berada di masing-masing instansi pemerintah.

Kewenangan masing-masing pemerintah daerah, baik pemerintah kabupaten maupun provinsi yang berbatasan dengan negara tentangga dalam mengelola perbatasan dikaitkan dengan kewenangan pemerintah pusat diatur dalam UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Pembagian wewenang pusat-daerah dapat diimplementasikan lewat pembagian kewenangan.

Pertama, bersifat formal yaitu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di kedua belah pihak (NKRI dan negara tetangga). Kedua, kewenangan spesifik lokal yang dikaitkan dengan prinsip kesamaan genealogis, sosial, dan budaya. Hal itu perlu dipertimbangkan secara arif karena akan sangat efektif untuk diimplementasikan dalam masyarakat di kedua negara yang bertetangga.

Berkenaan dengan badan nasional pengelola perbatasan, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati antara lain porsi dana APBN di perbatasan harusnya lebih besar dari APBD sebagai konsekuensi menempatkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara. Kewenangan badan pengelola perbatasan daerah yang ada di UU 43/2008 tentang Wilayah Negara sebenarnya bertujuan untuk kedaulatan atau otonomi daerah.

Kewenangan lembaga pengelola perbatasan tidak perlu diseragamkan untuk setiap daerah perbatasan, seharusnya disesuaikan dengan kekhasan daerah perbatasan masing-masing. Misalnya pembagunan wilayah perbatasan laut dan darat berbeda sehingga tidak dapat diseragamkan.

Di sisi lain, pengamanan perbatasan harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk peran swasta. Partisipasi masyarakat dapat diwujudkan melalui peran aktif masyarakat dalam menjaga kondisi yang aman di tempat tinggalnya, ikut serta secara aktif melakukan pengawasan terhadap pelanggaran hukum yang terjadi di daerahnya, misalnya illegal logging, pergeseran patok, dan lain-lain.

Penataan atau perumusan kembali produk peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pengamanan daerah perbatasan juga diperlukan agar diperoleh seluruh implementasi pembangunan dan pengamanan perbatasan dapat dilakukan secara komprehensif dan integral, lintas peran, dan pendanaan. Dengan dilakukannya deregulasi terhadap seluruh produk hukum yang berkenaan dengan perbatasan maka pembangunan dan pengamanan perbatasan tidak lagi dilaksanakan secara parsial, yang hanya melihat permasalahan perbatasan berdasarkan kepentingan sektoral.

Selain itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, pemerintah Indonesia juga perlu melakukaan diplomasi secara berkesinambungan dan komprehensif dengan mengadakan rangkaian perundingan penetapan batas wilayah negara dengan negara tetangga.

*) Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Deputi Perundang-Undangan Sekretariat Jenderal DPR RI.

BACA JUGA: