Oleh: A Yoseph Wihartono*)

Pada tanggal 9 Juli kemarin, Indonesia telah melakukan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Salah satu hal yang patut diapresiasi adalah pemilu ini dapat berjalan dengan damai meskipun ada beberapa kendala. Namun, sadarkah kita bahwa sebelum dan sesudah pemilu sebenarnya telah terjadi perang propaganda di antara media-media yang medukung salah satu capres dan cawapresnya?

Kehidupan manusia saat ini semakin cenderung akan ketergantungannya terhadap media, baik media TV, cetak, dan online. Media berguna sebagai perantara informasi maupun pengetahuan terkini. Namun, sudah sadarkah kita bahwa apa yang ditayangkan media belum tentu menghadirkan realitas yang sebenarnya terjadi?

Media mengemas berbagai info dengan begitu rapihnya, seolah-olah itu adalah realitas, fakta, maupun kenyataan yang senyata-nyatanya, sehingga dapat dijadikan sarana untuk mengelabuhi masyarakat. Media yang paling besar pengaruhnya adalah media televisi (TV), sebab kita tahu bahwa TV adalah salah satu akses informasi dan pengetahuan yang saat ini paling mudah dijangkau masyarakat.

Seperti yang kita ketahui, media-media besar dan populer di Indonesia ini dimiliki oleh para elite yang memiliki kepentingan politik (Masyarakat pasti sudah kenal dan paham sehingga penulis tidak perlu menyebutkannya satu persatu). Para pemilik kepentingan politik tersebut tentunya menggunakan medianya sebagai sarana publikasi, promosi, dan propaganda untuk mendukung koalisi si elite tersebut, hal ini merupakan bagian dari strategi politik.

Perlu diketahui juga bahwa media-media yang dimiliki oleh elite-elite ini sangat kuat pengaruhnya, terbukti media-media tersebut kebal terhadap peringatan, teguran, dan sanksi yang diberikan oleh KPI yang tidak digubris sama sekali ketika media-media tersebut melakukan berbagai jenis pelanggaran UU Penyiaran.

Jauh sebelum pemilu digelar, hampir semua media TV dan cetak terpecah menjadi dua belah pihak, yaitu pihak si nomor 1 dan si nomor 2. Media-media yang mendukung masing-masing pasangan capres dan cawapresnya tersebut terus menerus melakukan propaganda dalam pemberitaannya. Hal tersebut tentunya berupaya untuk mengubah dan menanamkan opini pada masyarakat bahwa capres dan cawapres yang diusung media adalah yang benar, suci, dan pantas dipilih.
 
Misalnya, seringkali kita temui bahwa kedua belah pihak media sama-sama memberitakan kebaikan capres dan cawapres yang didukungnya secara berlebihan, kemudian menjelek-jelekan capres saingannya dengan cara mengungkit-ungkit kesalahannya di masa lalu serta kekurangan dan keburukan lainnya secara tidak seimbang. Media di kedua kubu pasangan capres-cawapres juga memberitakan hasil dari lembaga survei pemilu yang memenangkan capres dan cawapres dukungannya.

Tentunya dengan tujuan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat bahwa capres dan cawapres nomor 1 atau 2 sudah pasti menang atau tidak ada harapan lagi. Diakui atau tidak, upaya media akhirnya sedikit banyak memang mampu mengubah persepsi sebagian masyarakat mengenai siapa capres dan cawapres yang pantas dipilih, namun di sisi lain media juga sebenarnya berhasil mengaburkan realitas itu sendiri.

Hal tersebut menyebabkan sebagian masyarakat lainnya bingung dan pesimis, dan berdampak pada berkurangnya rasa percaya masyarakat terhadap media dan kedua capres dan cawapres. Sebagian masyarakat menganggap media sebagai biang keladi kekisruhan politik dengan terus menerus menyiarkan propaganda dan pemberitaan yang sudah tidak objektif lagi. Ini menyebabkan sebagian sebagian masyarakat memilih untuk golput.

Sementara efek yang paling tidak diharapkan adalah terpangaruhnya sebagian masyarakat lainnya karena sikap provokasi media sehingga memecah persatuan bangsa, mudah sekali kita jumpai debat kusir yang merusak persatuan di sosial media. Apa yang diketahui masyarakat mengenai kelebihan atau kekurangan capres dan cawapres nomor 1 dan 2 hanya berasal dari media. Tetapi di sini kita juga harus selalu ingat, bahwa apa yang diberikan media kepada kita tidaklah selalu benar dan objektif.


Sebagian masyarakat pun sudah mulai mengerti bahwa sudah banyak media yang pemberitaannya berkecenderungan berat sebelah terhadap salah satu capres dan cawapres. Tentunya saat ini kita tidak tahu menahu siapa sebenarnya si nomor 1 dan 2 terlepas dari perkataan media, sebab apa yang dikatakan media saat ini telah dianggap nyata oleh sebagian masyarakat yang kurang kritis.

Hal yang paling mengebohkan adalah kejadian pascapemilu, yaitu hasil Quick Count yang berbeda di antara dua pihak media pengusung capresnya. Sebut saja si nomor 1 dengan TV merahnya dan si nomor 2 dengan TV birunya. Selepas mengumumkan hasil Quick Count tersebut, kedua belah pihak media pendukung capres di TV merah dan biru sama-sama langsung mendeklarasikan kemenangan capres dan cawapresnya secara absolut.

Namun beberapa saat kemudian masing-masing saling memberi peringatkan agar tidak melakukan deklarasi karena dikhawatirkan dapat menimbulkan gesekan yang mengakibatkan konflik, padahal kedua belah pihak sama-sama menayangkan deklarasi kemenangan capres dan cawapresnya berdasarkan hasil Quick Count lembaga surveynya masing-masing secara terus menerus.

Terlepas dari benar atau tidaknya serta bagaimana lembaga-lembaga Quick Count melakukan hasil olah suara, peran media terlihat sangatlah berlebihan. Selama berjam-jam bahkan berhari-hari kedua belah media dari kedua belah pihak terus menerus menayangkan hasil Quick Count yang memenangkan capres dan cawapresnya masing-masing. Mereka juga sama-sama menanggapi secara keras (namun dikemas secara halus) hasil yang berbeda di antara lembaga survei dan saling mendeklarasikan bahwa lembaga Quick Count yang diusungnyalah yang paling benar.

Beberapa hari setelah pemilu, seolah tidak puas dengan permainan isu hasil Quick Count, media dari kedua belah pihak lantas sama-sama memberitakan isu kecurangan dan pemilu yang tidak sah. Isu ini menjadi semakain krusial bagi masyarakat karena salah satu hal yang paling dikhawatirkan masyarakat adalah terjadinya kerusuhan, di mana sudah ada isu beberapa pihak pendukung capres dan cawapres yang sudah menyatakan tidak terima jika capres dan cawapres saingannya kalah dan akan melakukan pengerahan massa.

Bukannya berusaha untuk meredakan suasana, media dari kedua kubu malah terus-menerus memberitakan berita yang terus memanaskan suasana dan dikhawatirkan dapat menimbulkan perpecahan bangsa. Pemilu kemarin menjadi pembelajaran berharga bahwa kepentingan politik yang sangat kuat mempengaruhi media karena pengaruh dari para pemiliknya yang punya kepentingan politik, rentan disalahgunakan untuk menyiarkan isu-isu yang tak bertanggung jawab.

Berita-berita pemilu yang tidak bertanggung jawab tersebut disiarkan secara terus menerus sehingga sangat memengaruhi bagaimana cara masyarakat bereaksi atas peristiwa pesta demokrasi itu sendiri. Masyarakat menjadi cenderung terpolarisasi pada kedua kubu pasangan capres-cawapres dan rentan untuk bisa dipecah belah.

Ketika hal ini terjadi, lembaga semacam KPI pun seperti tidak berdaya untuk mengatasinya. Fenomena ini membuktikan betapa superiornya media-media milik para elite politik itu dalam mempengaruhi sikap masyarat. Karena itu sudah sepantasnya dari pemilu kemarin masyarakat seharusnya belajar untuk memiliki sikap kritis dan waspada dalam menyerap informasi maupun pengetahuan yang disajikan media sehingga mampu untuk meredam dampak negatif dari informasi yang tak bertanggung jawab.

Sudah seharusnya kini kita kita sadar, bahwa apa yang diberikan media kepada masyarakat (baik informasi, berita, pengetahuan, hiburan, dan lainnya) bukanlah lagi seperti kenyataan yang sesungguhnya. Banyak informasi bertebaran namun sejatinya bukan yang diinginkan atau dibutuhkan oleh masyarakat, melainkan informasi yang sudah ditunggangi kepentingan penguasa media untuk melakukan propaganda terhadap masyarakat.

*) Penulis adalah Mahasiswa FISIP UI Angkatan 2013

BACA JUGA: