Oleh Arif Usman *)

Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 UUD 1945 sebagai representasi dari perekonomian nasional secara umum memberikan petunjuk (guidelines) bagaimana sistem ekonomi yang demokratis bekerja dalam perekonomian nasional.

Pasal ini juga merupakan wujud dari asas atau prinsip Demokrasi Ekonomi. Demokrasi ekonomi sebagai asas perbankan memiliki makna penting sebagai dasar filosofis kegiatan perbankan dan pada hakikatnya mendasari pembentukan berbagai peraturan hukum perbankan. Usaha perbankan diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Perbankan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Persaingan antar pelaku usaha di bidang perbankan semakin ketat, tidak hanya antar perbankan lokal melainkan juga antara bank lokal dengan bank asing, oleh karenanya perlu ada segmentasi dalam menjalankan kegiatan usaha antar jenis bank baik bank perkreditan rakyat maupun bank umum dan bank asing. Perlu dibangun institusi perbankan yang memiliki daya saing tinggi, kredibilitas dan profesionalitas dalam menjalankan usahanya, untuk itu perlu ada mekanisme pembinaan dan pengawasan yang baik terhadap perbankan.

Untuk mewujudkan institusi perbankan yang berdaya saing tinggi dan profesional juga perlu ada pengelolaan yang baik terhadap bank (good corporate governance/GCG). Pengelolaan bank yang baik adalah pengelolaan yang berpedoman pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, yaitu Keterbukaan (Transparency), Akuntabilitas (Accountability), Pertanggungjawaban (Responbility), Independensi (Independency), dan Kewajaran (Fairness).

Berdasarkan data, sampai dengan Maret 2011, total ada sebanyak 47 bank yang ada kepemilikan asingnya. Kepemilikan asing dalam industri perbankan tersebut menguasai ekuivalen 50,6% dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp3.065 triliun. Meskipun mendatangkan dampak positif, penguasaan asing terhadap perbankan nasional juga mendatangkan dampak negatif dan merisaukan masyarakat sehingga perlu ada pengaturan terhadap upaya antisipasi terhadap dampak negatif tersebut, khususnya terkait dengan kepemilikan saham bank oleh pihak asing.

Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan untuk dapat membangun dan menjaga kepercayaan masyarakat, yang diantaranya dilakukan dengan menjaga kerahasiaan bank. Namun untuk kepentingan hukum, bangsa, dan negara misalnya untuk kepentingan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan terorisme perlu ada pengecualian terhadap kerahasiaan bank.

Dengan kemajuan teknologi saat ini muncul produk baru atau layanan bank yang menggunakan informasi dan transaksi elektronik (ITE) seperti e-money, e-banking, internet banking, ATM, kartu kredit. Sehubungan dengan itu perlu ada pengaturan mengenai keabsahan pembuktian produk bank secara elektronik, dimana pembuktian elektronik ini telah diakui keabsahannya dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
 
Penyelenggaraan kegiatan usaha bank, tidak jarang menimbulkan keluhan dari nasabah, baik  karena merasa kecewa dan tertipu, mendapat informasi yang tidak benar mengenai suatu produk. Akibatnya timbulah keluhan (complain) dan tidak jarang timbul perselisihan antara bank dan nasabah. Sebagai bentuk perlindungan kepada nasabah, penyelesaian pengaduan nasabah harus dilaksanakan secara baik oleh perbankan.

Perkembangandunia global khususnya sektor perbankan menyebabkan beberapa substansi yang terdapat dalam UU Perbankan (Undang-UndangNomor 7 Tahun 1992 sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) sudah kurang tepat lagi untuk diterapkan untuk industri perbankan di Indonesia. Misalnya pada beberapa kejadian tindak pelanggaran dan kejahatan yang melibatkan perbankan, baik menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) maupun sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).

Pengaturan perbankan perlu dilakukan penyempurnaan baik terkait dengan Undang-Undang Perbankan itu sendiri maupun sinkronisasi dengan undang-undang lain yang terkait dengan perbankan diantaranya yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, mengamanatkan penyedia jasa keuangan menyampaikan laporan kepada PPATK terhadap transaksi tertentu. Dengan adanya UU ini maka perlu diatur pasal yang mengecualikan tentang kerahasian bank kepada PPATK.

b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,  pengaturan terkait perbankan syariah di dalam Undang-undang tentang Perbankan dan muatan materi perbankan syariah yang terdapat dalam UU Perbankan Syariah perlu diharmonisasikan.

c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, dimana dalam UU ITE diatur mengenai kewajiban pelaku usaha terhadap penyelenggaraan sistem elektronik sementara dalam UU perbankan belum mengatur secara jelas mengenai transaksi yang dilakukan melalui sistem elektronik.

d. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, didalam  amanat pembentukan LPS pada Undang-Undang Perbankan adalah dengan pembentukan PP. Dengan adanya UU LPS maka dalam penggantian Undang-Undang Perbankan  nantinya cukup diamanatkan bahwa penjaminan dana masyarakat dan LPS diatur dengan UU tersendiri.

e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, dimana sebagai badan publik, bank BUMN dan BUMD mempunyai kewajiban menyampaikan informasi publik terkait mekanisme penetapan direksi dan komisaris/dewan pengawas yang dalam UU Perbankan tidak diatur dan dalam praktek mekanisme ini bersifat tertutup.

f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, mengamanatkan perlindungan konsumen secara patut dengan menjamin hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa.

Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah adanya perubahan kelembagaan kewenangan pengawasan perbankan yang semula berada di bawah otoritas Bank Indonesia, beralih kepada otoritas lembaga baru yang disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Perubahan ini secara legal telah berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Setidaknya terdapat 30 pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang terkait dengan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia perlu dilakukan perubahan/penyesuaian sebagai konsekuensi berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tersebut.

*) Penulis adalah perancang Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR RI

BACA JUGA: