Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH.

Wacana Perubahan Undang-Undang terkait Konstalasi di Parlemen

Seiring dengan dilantiknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru pada tanggal 1 Oktober 2014 lalu, maka tugas-tugas yang terkait dengan fungsi DPR salah satunya dibidang legislasi telah menanti. Terlepas dari menghangatnya persaingan diantara dua kubu koalisi yang ada, yaitu antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP), layaknya perlu dicermati wacana dari KMP untuk melakukan perubahan terhadap beberapa undang-undang (UU) yang saat ini sedang berlaku.

Ketua Presidium KMP sekaligus juga Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie mengeluarkan pernyataan bahwa anggota KMP di parlemen berencana akan merubah 122 UU, misalnya terhadap keberlakuan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, UU No. 25  Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 1 Tahun 20019 tentang Penerbangan, dan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Wacana perubahan terhadap 122 UU tersebut dilakukan karena sebagian UU yang ada saat ini dirasa sudah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 serta bernuasa neoliberalisme. Wacana perubahan terhadap 122 UU ini pun disambut baik oleh presiden terpilih Joko Widodo dengan syarat revisi dilakukan untuk kepentingan rakyat Indonesia bukan pribadi atau kelompok, ataupun untuk kepentingan kekuatan dan kekuasaan sesaat.

UU merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Wacana perubahan terhadap 122 UU tersebut menarik disimak dan menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana menilai atau apa yang dapat dijadikan parameter untuk menilai bahwa suatau UU layak atau tidak untuk dilakukan perubahan atau dirasakan masih perlu untuk dipertahankan.

Hal ini penting untuk dikaji, agar wacana perubahan UU tersebut tidak hanya dipersepsikan untuk menuruti kemauan, agenda politik, atau bahkan kepentingan kelompok golongan tertentu, tetapi harus benar-benar berangkat dari kebutuhan hukum, karena UU yang bersangkutan dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dimasyarakat.

Program Legislasi Nasional

Terkait dengan wacana perubahan 122 UU dari pihak KMP, perlu diuraikan bahwa setiap rancangan undang-undang (RUU) atau UU yang akan dibentuk atau dirubah harus terlebih dahulu diagendakan di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas merupakan instrumen yang digunakan untuk melakukan perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis (Pasal 1 angka 9 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3).

Dalam Prolegnas, penyusunan daftar RUU didasarkan atas: perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945); perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; perintah UU lainnya; sistem perencanaan pembangunan nasional; rencana pembangunan jangka panjang nasional; rencana pembangunan jangka menengah; rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat (Pasal 18 Ayat (1) UU P3).

Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah, yang ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, yang pada masa bakti anggota DPR saat ini akan menjadi Prolegnas Tahun 2014-2019.

Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. (Pasal 20 UU P3). Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR serta ditetapkan dengan Keputusan DPR. (Pasal 22 UU P3).

Parameter Perubahan UU

Pembentukan UU harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. (Pasal 5 UU P3).

Selain itu materi muatan UU harus mencerminkan asas pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, juga harus mencerminkan asas yang sesuai dengan bidang hukum UU yang bersangkutan (Pasal 6 UU P3).


Secara normatif materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Tahun 1945; perintah suatu UU untuk diatur dengan UU; pengesahan perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau  pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat (Pasal 10 Ayat (1) UU P3). Dalam konteks wacana perubahan 122 UU yang diajukan oleh KMP, rasanya agar perubahan menjadi terukur, didasari dengan argumentasi yang kuat, dan tidak hanya mengandung muatan politis yang akan menimbulkan kecurigaan dari masyarakat, rasanya diperlukan parameter yang jelas dalam melakukan perubahannya.

Adapun parameter tersebut pertama; sinkronisasi dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Pancasila merupakan dasar negara yang berfungsi sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, Pancasila merupakan jiwa, landasan filososfis, dan juga landasan idiil dalam pembentukan peraturaan perundangan-ndangan.

Disamping Pancasila, UUD Tahun 1945 merupakan hukum tertinggi didalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia (Pasal 7 Ayat (1) UU P3). UUD Tahun 1945 menjadi acuan tertinggi bagi pembentukan peraturan di bawahnya, sehingga aturan dibawahnya baik itu dalam bentuk UU sampai dengan peraturan daerah kabupaten/kota tidak boleh bertentangan dengan dengan UUD Tahun 1945.

Ini juga sesuai dengan salah satu asas di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (asas tingkatan hierarkis). UUD Tahun 1945 merupakan aturan tertinggi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sekaligus juga sumber hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Dalam konteks wacana perubahan terhadap 122 UU itu maka perlu dikaji apakah UU yang selama ini berlaku apakah telah sesuai dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945 sebagai sumber segala sumber hukum sekaligus peraturan tertinggi di dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indoneisa. Terutama terhadap kesesuai dengan norma-norna di dalam UUD Tahun 1945 yang yang telah 4 (empat) kali dilakukan amandemen, yaitu amandemen pertama pada tahun 1999; amandemen kedua pada tahun 2000; amandemen ketiga pada tahun 2001, dan amandemen keempat pada tahun 2002.

Terhadap UU yang dibentuk sebelum tahun 1999, otomatis harus dilakukan evalusi secara menyuluruh melalui kajian yang mendalam apakah norma-norma di dalamnya telah sesui dengan UUD Tahun 1945 beserta amandemennya. Ini dilakukan agar UU tersebut dapat sinkron substansinya dengan UUD Tahun 1945 sebagai aturan yang lebih tinggi setelah UU.   

Kedua: UU yang bernuansa neoliberalisme, pasar bebas, dan berpihak ke asing, salah satu substansi yang paling mendapat sorotan dari berbagai pihak di dalam bidang ekonomi adalah gejala neoliberalisme, yaitu gejala pengelolaan dalam bidang ekonomi yang menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas, dimana negara membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi swasta dan asing untuk berperan besar dalam bidang ekonomi.

Hal ini apabila dibiarkan akan mematikan potensi ekonomi kerakyatan selain juga bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang menitikberatkan pengelolaan perekonomian pada prinsip perekonomian yang disusun sebagai usaha bersaman berdasarkan asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Serta perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Prinsip-prinsip dalam pengelolaan ekonomi di atasa  haruslah dijadikan pisau analisis  bagi pengkajian wacana perubahan 122 UU, terutama terhadap UU yang sangat strategis seperti UU di bidang penananam modal, pengelolaan sumber daya alam dan energi, perbankan, perpajakan, perindustrian, perdagangan dan UU lain yang mengatur terkait dengan bidang perekonomian nasional. Sehingga UU yang terkesan sangat neoliberalisme harus segera dikaji dan dievaluasi dengan menyesuaikan paradigma pengelolaan ekonomi nasional sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD Tahun 1945.

Ketiga; Putusan MK, yaitu suatu UU dapat dirubah apabila di dalam beberapa pasal atau ayat di dalam UU tersebut ada yang diputus oleh MK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan dinyatakan tidak berlaku,  atau pemberian tafsir yang berbeda oleh MK diluar tafsir resmi pembentuk UU mengenai keberlakuan suatu pasal atau ayat di dalam suatu UU. Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh Pemerintah dan DPR (Pasal 10 Ayat (2) UU P3) mengingat putusan MK bersifat membatalkan (negative legislation) sehingga terhadap  suatu pasal, ayat, bahkan suatu UU yang dibatalkan oleh MK harus segera direspon oleh pembentuk UU dengan cara merubah UU yang dibatalkan tersebut agar tidak menimbulkan kekosongan hukum.

Keempat: sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU terkait, UU tidak hanya mengatur hal-hal terkait dengan sanksi baik yang bersifat pidana maupun administritif, tetapi juga mengatur segala bidang kehidupan dalam hubungan antar lembaga negara, negara dengan warga negara, serta warga negara dengan warga negara, dalam suatu bidang tertentu. Semakin maju dan komplek penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, maka semakin dibutuhkan dan bervariasi aturan-aturan yang mengatur relasi diantara mereka, yang salah satunya berbentuk UU.

Saat ini telah berlaku ratusan UU yang bisa jadi terdapat pertentangan satu dengan lainnya. Dalam pembentukan peraturan perundang-unadang terdapat asas bahwa hukum/aturan/UU yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum/aturan/UU yang bersifat umum (lex generalis) (lex specialis derogat legi generali) dan juga terdapat asas hukum/aturan/UU yang baru mengenyampingkan hukum/aturan/UU yang lama (lex posterior derogat legi priori).

Dalam konteks kedua asas diatas, dalam prakteknya tidak mudah dalam menerapkan pelaksanaannya pada UU. Karena selain aspek substansi UU terkadang ego sektoral sangat berpengaruh di dalam penegakannya. Artinya di dalam implementasinya banyak lembaga/badan atau stakeholder suatu UU yang ingin melaksanakan UU sektoralnya walaupun bisa jadi terhadap substansi suatu UU ada UU lain yang lebih khusus mengaturnya, tapi dengan dalih telah mememiliki dasar hukum dan kewenangan yang sama-sama diatur di dalam UU maka lembaga/badan atau stakeholder menolak untuk melaksanakan ketentuan yang ada di UU lainnya.

Kondisi ini sering kali terjadi, sehingga menimbulkan tumpang tindih di dalam pengaturan di suatu bidang tertentu. Hali ini apabila dibiarkan dapat menimbulkan ketidak pastian hukum dan kebingungan di masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap UU yang telah ada apakah memiliki potensi saling bertentangan antara yang satu dengan lainnya, agar terwujud sinkronisasi diantara UU yang ada.



Kelima: paradigma otonomi daerah (otda), dewasa ini masih banyak terdapat UU yang dibentuk pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru yang masih berlaku hingga saat ini. Padahal sistem hubungan pemerintahan dan pemerintahan daerah pada masa itu masih menganut sistem sentralisasi, dimana segala urusan dibidang pemerintahan masih dipegang oleh pemerintah pusat, dan daerah hanya bersifat menjalankan kebijakan dari pemerintah pusat.

Sedangkan masa pemerintahan setelah reformasi 1998, hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan melalui asas desentralisasi. Hampir semua urusan pemerintahan yang ada dipemerintah pusat semuanya didistribusikan kepada pemerintah daerah melalui asas desentralisasi kecuali untuk hal-hal yang jelas-jelas diatur dikecualikan di dalam UU melalui pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2004, dan terakhir UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

Berbeda dengan UU produk sebelum masa otda, dimana pemerintah lebih berperan dalam setiap urusan bidang pemerintahan, salah satu ciri yang paling menonjol di dalam subtansi pengaturan di dalam UU pasca berlakunya asas desentralisasi adalah mengatur secara tegas dan rinci tugas dan fungsi dari suatu urusan pemerintahan dari masing-masing level pemerintahan mulai dari pusat, propinsi, sampai dengan kabupaten/kota mengenai suatu urusan pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan pemerintah pusat.

Untuk itu diperlukan evaluasi mana saja UU yang masih bersifat sentralistik dimana suatu kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu masih dipegang oleh pemerintah pusat. Melalui evaluasi tersebut UU yang dimaksud harus direvisi dengan cara mengembalikan tugas-tugas yang dikecualikan oleh UU menjadi urusan pemerintahan pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah daerah. UU harus mengatur secara tegas bagaimana tugas dan fungsi dari masing-masing tingkatan pemerintahan mengenai penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.

Bahkan di dalam UU tertentu tidak diatur secara jelas siapa Menteri yang bertanggung jawab di dalam penyelenggraaan bidang pemerintahan tertentu. Ini akan berimplikasi pada tidak efektifnya penyelenggaraan suatu bidang pemerintahan, karena tidak ada kejelasan siapa instansi penanggung jawab dalam penyelenggaraannya. Selain juga berpotensi tumpang tindihnya tugas dan fungsi pemerintahan mulai dari level tertingggi pemerintah pusat sampai dengan pemerintahan setingkat kabupaten kota.

Untuk itu kiranya di dalam UU yang akan direvisi nantinya perlu diatur substansi yang tegas mengenai tugas dan tanggungjawab pemerintah dari tingkat pusat hingga kabupaten kota, sehingga permasalahan tumpang tindih dan ketidakjelasan tugas dan fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang tertentu dapat diminimalisir.

Keenam; penyesuaian dengan UU P3, terkait dengan teknik pembentukan peraturan perundang-undang, masih banyak terdapat UU yang perumusan penormaan dalam pasal-pasal maupun ayat-ayatnya tidak sesuai lagi dengan tata cara dan teknik penyusunan peraturan perundang-undang yang ada saat.

Hal ini bisa dimaklumi karena masih banyak UU yang dibentuk jauh lebih dahulu dibandingkan pembentukan UU Nomor 10 tahun 2004 atau UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3, sehingga cara penormaan pasal maupun ayat di dalam UU tersebut banyak yang tidak memenuhi kaidah-kaidah penyusunan pembentukan peraturan perundang-undang yang baik dan benar seperti yang ada di dalam maupun lampiran UU P3. Bahkan sebagian masih ada yang menggunakan ejaan lama, terhadap UU tersebut maka harus segera untuk dilakukan perubahan, bahkan jika perlu dilakukan penggantian secara menyeluruh.

Tercapainya Tujuan Pembentukan UU

UU merupakan produk hukum yang merupakan kesepakatan bersama antara DPR dengan Pemerintah yang berisi pedoman  untuk mengatur tata cara hubungan antar lembaga Negara, hubungan antara masyarakat dengan Negara, maupun hubungan antar masyarakat dengan masyarakat, dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban demi mewujudkan masyarakat yang damai dan sejahtera.

Hanya saja terkadang kecepatan lingkup pengaturan maupun relevansinya tidaklah secepat perkembangan hukum dan kebutuhan dimasyarakat itu sendiri. Untuk itu harus terus dilakukan evaluasi secara terus-menerus mengenai efektifitas suatu UU agar tujuan pembentukannya dapat tercapai.

Wacana untuk merubah 122 UU dari KMP ini harus direspon dengan positif sebagai usaha dan juga kontribusi KMP dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui pembenahan legislasi. Hanya saja agar wacana tersebut tidak dipersepsikan untuk kepentingan sesaat bahkan untuk golongan tertentu terlebih dengan dinamika perpolitikan nasinal yang saat ini sedang dinamis dan cenderung memanas  maka perlu dirumuskan suatu parameter yang jelas dan terukur untuk merubah suatu UU.

Hal ini penting agar wacana perubahan terhadap 122 UU tersebut memiliki dasar argumen yang kuat, terukur, dan argumentatif, tidak cendrung mengedepankan nuansa politinya, tetapi demi kepentingan yang lebih besar yaitu terwujudnya kepastian hukum untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan  rakyat.

*) Penulis adalah tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI.

BACA JUGA: