Pada 20 Juni  2013 dengan nomor surat 020/P/GALAK/VI/2013, Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi (GALAK) telah melayangkan surat resmi perihal mohon usut dugaan korupsi impor bahan bakar minyak (BBM) kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. “Sudah merupakan kewajiban KPK untuk mengusut dugaan impor BBM yang menjadi sumber masalah terkait diberlakukannya kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM pada hari Sabtu, 22 Juni kemarin,” ujar Panglima GALAK Binsar Effendi Hutabarat dalam rilisnya kepada pers (24/6/2013).
 
Dalih Pemerintah karena total konsumsi BBM nasional yang mencapai angka 1,4 juta barel per hari, sehingga ada selisih 900 ribu barel per hari yang harus ditutup dengan impor. Jika pada 2013 konsumsi naik sampai 50 juta kiloliter (KL) dari konsumsi BBM subsidi 2012 dengan 45 juta KL, berarti ada kenaikan 10% atau berarti impor juga naik 10%. Sebab itu jika tidak dilakukan kenaikan harga BBM, kuota BBM subsidi memang bisa mencapai 50 juta KL. Alasan besarnya impor karena dipengaruhi peningkatan konsumsi, minim produksi minyak nasional dan terbatasnya kapasitas kilang BBM inilah, menurut Binsar Effendi, yang telah banyak mengecoh dari sumber masalahnya.
 
Kalau tahun 2013 diperkirakan naik 10% atau sekitar 990 ribu bph yang di impor, maka untuk menekan besarnya impor minyak dan BBM, oleh pihak Pemerintah dan sebagian besar Fraksi di DPR menganggap tidak ada cara lain kecuali dengan menaikkan harga BBM subsidi yang bisa mengetatkan impor. Sebelumnya, dalam APBN tahun 2013, telah ditentukan harga untuk ICP (Indonesia Crude Price) sebesar US$ 100 per barel dengan lifting sebesar 900 ribu bph.
 
Patokan lifting sebesar 900 ribu bph sangat memberatkan, mengingat di akhir tahun 2012 lifting minyak nasional cuma sekitar diangka 827 ribu bph. Padahal harga minyak dunia sendiri untuk minyak mentah light sweet West Texas Intermediate (WTI) pada perdagangan Senin (3/6/2013) di New York dan untuk pengiriman Juli 2013 seharga US$ 91,78 per barel, masih berada di bawah US$ 100 per barel. “Namun Indonesia malah memilih membeli Brent yang nilainya hingga US$ 102 per barel, hal itu sangat mencurigakan dan berbau penyimpangan,” kata Panglima GALAK.
 
Dengan merujuk Pasal 33 ayat (2) UUD 45 yang mengamanatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Artinya, menurut pendapat Panglima GALAK, Pemerintah yang mewakili negara harus mengatur hal impor BBM yang didelegasikan kepada Pertamina sebagai National Oil Company atau BUMN Migas. Menteri BUMN Dahlan Iskan sendiri pada 8 Mei 2012, pernah meminta Pertamina agar tidak lagi membeli minyak impor dari pedagang tapi dari sumbernya. Karena sebagai perusahaan besar, Pertamina diminta harus langsung impor minyak dan BBM dari sumbernya, tidak lagi dari pedagang.
 
“Tapi Dahlan Iskan yang sebelumnya pernah ingin membubarkan Petral (Pertamina Energy Trading Limited) anak perusahaan Pertamina yang berkedudukan di Singapura itu, namun belakangan ini malah diam seribu bahasa. Sementara Pemerintah sebagai pemegang sahamnya, tetap saja mendelegasikan kepada Pertamina untuk membeli impor BBM dengan menggunakan Petral sampai saat ini,” tutur Binsar Effendi.
 
Anggota Fraksi PPP Iskandar Sjaichu di Jakarta, Rabu (14/3/2012) pernah menyindir, apakah kebijakan impor minyak melalui Petral atas perintah Singapura atau Pertamina. Sementara Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar Erik Satrya Wardhana, menyoroti proses pembelian minyak mentah oleh Petral melalui pihak ketiga yang mengakibatkan harga yang dibayar Pertamina lebih mahal daripada seharusnya. Sedangkan Nasril Bahar, dari Fraksi PAN, mempertanyakan, apakah ada payung hukum atau peraturan perundangan yang menaungi Petral. Nampak sebelumnya politisi Senayan sudah banyak berbicara mengenai peran Petral pada pengadaan impor BBM, tapi saat sekarang ini tidak ada yang berani bersuara lagi.
 
Menurut Binsar Effendi, mafia BBM ini memang tidak pernah disentuh Pemerintah, bahkan anggota DPR yang kritis sekalipun kalau bicara Petral langsung mental. Sebab bisnis yang banyak bancakannya ini bernilai US$ 15 miliar, lumayan buat dana Pemilu. Kecurigaan adanya mafia di Petral muncul ketika penawaran dari trader The State Oil Company of the Azerbaijan Republic (SOCAR) untuk minyak mentah jenis Azeri yang kalah oleh penawaran trader PTT Thailand. Padahal SOCAR adalah perusahaan patungan antara Pemerintah Azerbaijan dan swasta dengan komposisi kepemilikan 75% dikuasai negara dan 25% milik swasta. “Dengan demikian karena SOCAR adalah milik negara, maka seharusnya tidak perlu lagi melewati proses tender tapi langsung saja melalui hubungan dagang antar Pemerintah,” kata Binsar Effendi.
 
Namun di tengah klarifikasi parsial baik dari Pemerintah, Pertamina dan Petral sendiri, Direktur Eksekutif Petromine Watch Indonesia, Urai Zulhendri pada 13 Juni 2013 mengaku mendapat kabar dari salah seorang sumber di Pertamina yang mengungkap, bahwa istilah ‘subsidi’ oleh sumber tadi ternyata hanya kebohongan Pemerintah dan Pertamina. Sumber di Pertamina mengakui dirinya juga perih menyaksikan kerakusan para pejabat di Pertamina. Harga premium dan solar dari Russian Oil itu cuma US$ 425 per metrik ton, atau sekitar kurang dari Rp. 4.300,- per liter. Lalu melalui Petral angka senilai US$ 425 itu di mark up US$ 300 sehingga menjadi US$ 725, dan oleh Pertamina disempurnakan mark up nya menjadi US$ 950. Angka inilah yang kemudian menurut seorang sumber di Pertamina disebut sebagai harga pasar yang mengharuskan adanya istilah ‘subsidi’.
 
“Informasi dari masyarakat seperti inilah yang harus KPK cepat tanggap untuk diselidiki, pasalnya menyangkut impor BBM yang terkait APBN. Jebolnya APBN dengan demikian bukanlah karena besaran subsidi BBM, tapi akibat dari beli BBM yang diduga di mark up begitu besarnya,” tutur Binsar Effendi yang juga Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM).
 
Bahkan menurut seorang sumber di Pertamina, kata Kepala Staf Investigasi dan Advokasi GALAK Muslim Arbi yang mendampingi Binsar Effendi, tidak hanya itu. “Ada dugaan mark up kuat yang dilakukan Pertamina sebesar US$ 125 yang dicurigai sebagai bentuk upeti atau commitment fee dari Dirut Pertamina Karen yang diduga diberikan kepada Ibu Negara, Ani Yudhoyono untuk bisa mempertahankan posisi Karen supaya terus memimpin Pertamina,” kata Muslim Arbi seraya mengingatkan publik pada pengakuan M. Nazaruddin yang pernah menerangkan bahwa kas Partai Demokrat pernah ketitipan dana dari Pertamina, yang maksudnya untuk Ani Yudhoyono.
 
“Apakah kemudian isu-isu diatas benar atau tidaknya, KPK sangat diharapkan untuk mengusutnya. Sebab selama ini, ada pengakuan anggota DPR yang mengungkapkan, karena minim data, rapat-rapat di DPR tidak bisa mengelaborasi struktur harga pokok BBM. Anggota DPR ini ternyata tidak pernah dapat berapa harga crude oil, cost recovery ataupun distribusi yang sebenarnya,” ujar Muslim Arbi yang juga Koordinator Eksekutif Gerakan Perubahan (GarpU).
 
Jika mau KPK berpegang pada amanat Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, termasuk memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 21 Desember 2004 Perkara 002/PUU-1/2003 tentang Permohonan Uji Materi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas terhadap UUD 1945. Terutama terkait putusan Pasal 28 ayat (2) yang diminta MK untuk diperbaiki Pemerintah, karena pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut Muslim Arbi, KPK justru telah diperkuat dengan konstitusi negara dalam mengusut mafia migas tersebut. “GALAK minta KPK wajib hukumnya mengusut dugaan mark up impor BBM yang dilakukan oleh mafia migas selama ini,” pungkasnya.

Jafar Jakob
Kepala Humas GALAK

DISCLAIMER: Rubrik Sikap dan Opini merupakan wadah yang terbuka bagi pribadi maupun organisasi untuk menyampaikan sudut pandang terhadap sebuah persoalan (siaran pers, somasi terbuka, pernyataan sikap, testimoni, esai, naskah pidato, paparan hasil riset, deklarasi politik, opini hukum, dan sebagainya). Hanya pengirim naskah yang melampirkan identitas dan kontaknya secara jelas yang akan dimuat. Materi naskah sepenuhnya tanggung jawab pengirim dan tidak serta merta merupakan opini dan sikap Redaksi.


BACA JUGA: