Oleh: Firdaus Cahyadi *)

Entah mengapa, kokonyolan-kekonyolan ala Orde Baru yang memasung kebebasan berekespresi warga negara kembali terjadi akhir-akhir ini. Atas nama pemberantasan paham komunisme, di Jakarta, kaos group musik Heavy-Metal Kreator pun disita karena ada gambar palu dan aritnya. Gambar palu dan arit diidentikan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal sudah dapat dipastikan personel band Kreator bukan anggota PKI dan tidak akan pernah membangkitkan PKI di Indonesia. Hanya kebetulan kaosnya dijual di Jakarta.

Sementara itu, di Maluku Utara, seorang aktivis lingkungan hidup ditangkap karena memakai kaos PKI (Pecinta Kopi Indonesia). Apa kaitannya kopi dengan PKI? Apakah karena kaum komunis Indonesia juga kebetulan pecinta kopi?

Bukan hanya itu, beberapa waktu yang lalu, sebuah diskusi di kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang mencoba mengaksi pemikiran Karl Marx juga dibubarkan. Puluhan anggota organisasi massa (ormas) memaksa agar kegiatan diskusi Kelas Pemikiran Karl Marx yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa Daun Jati dibubarkan.

Sebelumnya, acara "Belok Kiri" Festival yang semula hendak digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta dilarang hanya karena desakan ormas tertentu. Tak berselang dengan pelarangan acara "Belok Kiri" Festival di TIM, pemutaran film "Pulau Buru Tanah Air Beta" yang seharusnya diputar di Goethe Institute, juga dibatalkan.

Bahkan acara nonton bareng (nobar) film Pulau Buru Tanah Air Beta yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dalam merangka peringatan World Press Freedom Day (WPFD) 2016 di Yogyakarta juga dibubarkan. Dengan alasan film tersebut menimbulkan keresahan karena terkait dengan komunisme.

Bagaimana kita memahami munculnya kembali kekonyolan-kekonyolan ala Orde Baru yang mengancam kebebasan berekspresi ini? Untuk memahaminya, ada baiknya kita melakukan kilas balik ke era Orde Baru. Bagaimana hantu-hantu komunis ini sengaja dihidupkan oleh rejim Orde Baru.

Bagi kita yang masih sekolah di saat Orde Baru berkuasa tentu masih ingat bahwa di setiap menjelang bulan September selalu muncul gosip bangkitnya komunis. Tiba-tiba ditemukan simbol-simbol komunis yang dibawa oleh siswa di sebuah sekolah. Lantas razia pun digelar dengan melibatkan aparat keamanan. Tujuannya mencari gambar palu dan arit sebagai simbol komunisme. Ketegangan pun muncul di antara siswa sekolah. Dan ketegangan itu mencapai puncaknya dengan kewajiban menonton film G30S/PKI.

Hantu-hantu komunis juga diciptakan untuk memberikan stigma terhadap pihak-pihak yang bersuara kritis terhadap penguasa Orde Baru. Stigma komunis perlu dilekatkan untuk membenarkan tindakan-tindakan kekerasan negara dalam membungkam suara kritis. Muncullah kemudian istilah setan gundul dan OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang semua itu diidentikan dengan komunis.

Setelah Soekarno dijatuhkan, rejim Orde Baru memang dengan gencar memacu pertumbuhan ekonomi. Upaya memacu pertumbuhan ekonomi itu didapat dengan cara memudahkan perizinan baik soal alih fungsi lahan hingga menekan upah buruh. Dalam merangka itulah gerakan petani dan buruh harus dilemahkan.

Manajemen ketakutan perlu diterapkan agar stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi tetap berkelanjutan. Apakah pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh manajemen ketakutan ala Orde Baru itu dinikmati oleh masyarakat banyak? Itu tidak penting, toh setiap orang yang berani menggugat model pembangunan Orde Baru akan segera diberikan label komunis. Pendek kata, munculnya hantu komunis di era Orde Baru terkait erat dengan agenda ekonomi-politik pemerintah yang ingin memaksakan model pembangunan yang ditopang oleh utang luar negeri dan modal asing.

Kini sudah 18 tahun berlalu. Namun, tiba-tiba hantu komunisme seperti dihidupkan lagi. Pertanyaannya kemudian adalah apakah munculnya hantu komunis kali ini juga terkait dengan agenda ekonomi-politik pemerintahan Jokowi?

Saat ini pemerintahan Jokowi sedang menggelar karpet merah bagi investor. Deregulasi dilakukan secara besar-besaran untuk menarik modal asing. Utang luar negeri ditambah untuk membangun infrastruktur. Bahkan, yang terakhir pemerintahan Jokowi menyatakan berminat untuk mengikuti perjanjian perdagangan bebas TPP (Trans Pasific Patnership) yang disponsori Amerika Serikat. Semua dilakukan untuk segelintir pemilik modal.

Agenda ekonomi-politik pemerintahan Jokowi yang ingin meliberalisasi ekonomi secara besar-besaran ini tentu rentan kritik dari masyarakat. Tak heran bila sebelumnya ada seorang menteri yang akan melibas siapa saja yang bikin gaduh karena bisa menganggu iklim investasi. Sulit untuk tidak mengaitkan munculnya kembali hantu komunis ini tidak terkait dengan agenda besar pemerintah dalam menyempurnakan liberalisasi ekonomi.
Kelompok-kelompok masyarakat yang kritis perlu dijinakan agar tidak menganggu agenda ekonomi-politik pemerintah.

Dalam konteks itulah, maka tak heran bila saat ini stigma komunis juga mulai dilekatkan untuk produk film dokumenter "Samin Vs Semen" yang menggambarkan gigihnya perlawanan warga yang terkena dampak pembangunan pabrik semen di Jawa Tengah. Bahkan stigma komunis juga mulai dilekatkan kepada film "Rayuan Pulau Palsu", yang menggambarkan perlawanan nelayan dalam melawan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Namun, nampaknya pemerintah lupa bahwa kondisi masyarakat kita sudah jauh berubah dibandingkan tahun 1965-1966. Masyarakat kita sudah lebih cerdas. Masyarakat akan cepat mengetahui bahwa hantu-hantu komunis yang mengancam kebebasan berekespresi warga ini terkait dengan agenda ekonomi-politik pemerintah untuk menggelar karpet merah bagi segelintir pemilik modal. Masyarakat tentu tidak ingin terjatuh dalam kubangan yang sama. Tak heran bila kemudian muncul perlawanan masyarakat terhadap munculnya hantu-hantu komunis ini.

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif One World-Indonesia

BACA JUGA: