Oleh: Yeni Handayani*)

Laut adalah raison d’etre atau faktor eksistensialnya Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara nusantara. Tanpa laut tidak ada negara kepulauan Indonesia dan negara nusantara pun tidak ada. Matra wilayah laut yang berada di sekitar dan yang menghubungkan pulau-pulau sehingga menjadi satu negara kepulauan tersebut bagi Indonesia mempunyai empat fungsi yang vital sifatnya dan harus dijaga vitalitasnya agar Indonesia tetap eksis baik sebagai negara kepulauan maupun sebagai negara nusantara terutama sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keempat fungsi vital laut yaitu:

1. Faktor vital bagi integritas wilayah nasional.
2. Faktor vital bagi tansportasi laut.
3. Faktor vital bagi sumber daya alam mineral dan non mineral baik hayati maupun non hayati di laut.
4. Faktor vital bagi pertahanan dan keamanan untuk menjaga integritas nasional Indonesia sebagai negara kepulauan atau negara nusantara dan NKRI yang merdeka dan berdaulat.

Di masa lampau perairan Indonesia diatur oleh Territoriaal Zeë en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939, tercantum dalam Staatsblad 1939 Nomor 442 dan berlaku 25 September 1939. Mengenai pengaturan laut wilayah, Pasal 1 Ordonansi tersebut antara lain menyatakan bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil laut, diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia. Penentuan batas laut seperti yang tertera pada TZMKO tahun 1939 tentu sangat merugikan bangsa Indonesia mengingat bahwa negara Indonesia memiliki letak yang sangat strategis.

Jika sampai saat itu Indonesia terus menganut pada peraturan lama maka akan sangat merugikan kepentingan nasional, karena pada peraturan yang lama bahwa tolok ukur pengukuran lebar laut wilayah diukur dari garis pangkal air rendah sehingga sebagian besar dari pulau-pulau atau kelompok pulau-pulau Indonesia akan memiliki wilayahnya sendiri. Selain itu, diantara laut-laut wilayah tersebut terdapat pula bagian dari laut lepas sehingga hal ini dapat berdampak pula bagi kedaulatan NKRI.

Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep nusantara (archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957. Isi pokok dari deklarasi tersebut: "Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia".

Deklarasi Juanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.

Pada konferensi Hukum Laut di Geneva tahun 1958, Indonesia belum berhasil mendapatkan pengakuan Internasional. Namun baru pada Konferensi Hukum Laut pada sidang ke tujuh di Geneva tahun 1978. Konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia internasional. Hasil perjuangan yang berat selama sekitar 21 tahun mengisyaratkan kepada Bangsa Indonesia bahwa visi maritim seharusnya merupakan pilihan yang tepat dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Saat ini Indonesia memiliki beberapa zona hukum laut internasional yang telah disepakati oleh PBB dalam KHL 1982, yang terdiri dari laut teritorial (territorial sea), landas kontinen (continental shelf), zona tambahan (contigous zone), dan zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone).

Laut Teritorial

Laut teritorial atau dalam bahasa Inggris disebut "maritime belt", atau "marginal sea", atau "territorial sea" adalah sebuah kawasan kelautan yang dimiliki oleh suatu negara. Laut teritorial pada negara kepulauan, yaitu jarak tertentu sebelah luar dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang terluar kepulauan itu. Batas laut teritorial ditentukan bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar dari laut teritorialnya sampai ke batas 12 mil laut dari garis pangkal pantai (coastal baseline). Dasar yang dipakai untuk mengukur laut teritorial adalah garis pangkal yang biasanya dimulai dari garis pasang surut sepanjang pantai.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on Law of The Sea (Konvensi Hukum Laut) 1982, rezim laut teritorial memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas laut teritorial, ruang udara diatasnya, dasar laut, dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

b. Dalam laut teritorial berlaku hak lintas damai bagi  kapal dan pesawat asing. Kendaraan asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di laut teritorial, tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survei atau penelitian, menganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran, dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai.


Dalam menentukan garis pangkal untuk mengukur laut teritorial biasanya dimulai dari garis pasang surut sepanjang pantai. Hal tersebut juga ditentukan oleh Konvensi Hukum Laut (KHL) 1982, bahwa garis pangkal yang normal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis pasang surut sepanjang pantai. Menurut KHL 1982, ada beberapa macam jenis garis pangkal, yaitu:

a. Garis pangkal biasa (normal baseline), Pasal 5 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai yang bersangkutan.

b. Garis pangkal lurus (straight baseline), Pasal 7 dan Pasal 16 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan persyaratan untuk penarikan garis pangkal lurus sebagai berikut:

1. Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum garis pantai, dan perairan yang berada di sisi harus cukup hubungannya dengan daratan agar tunduk kepada rezim hukum perairan dalam (Pasal 7 Ayat (3) KHL 1982).
2. Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut kecuali apabila didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang tetap berada di atas pemukiman laut (Pasal 7 Ayat (4) KHL 1982).
3. Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari laut lepas atau ZEE hingga memotong laut wilayah negara lain (Pasal 7 Ayat (6) KHL 1982).
4. Penarikan garis pangkal lurus harus dicantumkan pada peta dengan skala yang cukup memadai atau sebagai gantinya dapat diberikan daftar titik-titik koordinat geografis yang menjelaskan dalam geodetik (Pasal 16 KHL 1982).

c. Garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline). Dalam penentuan garis pangkal kepulauan, dapat ditentukan dengan kesatuan sebagai berikut:

1. Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau dan    karang-karang terluar dari kepulauan termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah di mana perbandingan antar daerah perairan dan daerah daratan termasuk atol adalah antara 1:1 dan 1:9 (Pasal 47 Ayat (1) KHL 1982).
2. Panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali hingga 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi kepulauan dapat diterapkan dengan panjang maksimum 125 mil laut (Pasal 47 Ayat (4) KHL 1982).
3. Penarikan garis pangkal tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut (Pasal 47 Ayat (3) KHL 1982).
4. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali diatasnya secara permanen berada di atas permukaan air laut dan apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial pulau terdekat (Pasal 47 Ayat (4) KHL 1982).
5. Garis pangkal tidak dibenarkan memotong laut wilayah negara lain (Pasal 47 Ayat (5) KHL 1982).
 6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan berada pada dua bagian dari satu negara tetangga, hak-hak yang ada dan kepentingan yang sah lainnya dari negara tersebut yang dilakukan secara tradisionil maupun hak-hak yang ditetapkan di dalam perjanjian dengan negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dihormati (Pasal 47 ayat (8) KHL 1982).
7. Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan KHL 1982 ini harus dicantumkan pada peta dengan skala memadai untuk menegaskan posisinya sebagai gantinya dapat dibuat daftar koordinat geodetik (Pasal 47 Ayat (8) KHL 1982).

Landas Kontinen

Landas kontinen dari suatu negara menurut Pasal 76 KHL 1982, terdiri dari dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada di luar laut teritorial, yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai batas terluar tepian kontinen atau sampai 200 mil laut, diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.  

Landas kontinen sebagai bagian dari dasar laut dan tanah di bawahnya yang menyambung dari laut teritorial suatu negara pantai, melalui kalanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai kepada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial itu diukur.


NKRI mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen (Undang-Undang tentang Landas Kontinen). NKRI mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia, sebagaimana telah ditegaskan dalam Pengumuman Pemerintah RI tanggal 17 Februari 1969.

Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia serta pemilikannya ada pada negara. Dalam hal landas kontinen Indonesia berbatasan dengan negara lain, penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan.

Untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi, dalam Undang-Undang tentang Landas Kontinen, dapat dibangun, dipelihara, dan dipergunakan instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya di landas kontinen dan/atau diatasnya. Untuk melindungi instalasi-instalasi, kapal-kapal, dan/atau alat-alat lainnya tersebut dari gangguan pihak ketiga, Pemerintah dapat menetapkan suatu daerah terlarang yang lebarnya tidak melebihi 500 meter, dihitung dari setiap titik terluar pada instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya di sekeliling instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya yang terdapat di Landas Kontinen dan/atau diatasnya.

Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen, menurut Pasal 10 Undang-Undang tentang Landas Kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan:
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Perhubungan;
c. Telekomunikasi dan transmisi listrik di bawah laut;
d. Perikanan;
e. Penyelidikan oceanography dan penyelidikan ilmiah lainnya;
f. Cagar alam.

Zona Tambahan (contigous zone)

Pada KHL 1982, dapat terlihat perubahan pandangan mengenai konsepsi zona tambahan ini, yaitu zona tambahan tidak lagi dipandang sebagai zona laut lepas. Pada Pasal 33 KHL 1982 dinyatakan bahwa dalam zona yang bersambung dengan laut teritorial yang disebut zona tambahan ini, negara pantai dapat melakukan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran terhadap pajak, imigrasi, dan kesehatan pada laut teritorialnya, dan menghukum pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tertentu di atas, yang dilakukan di dalam laut teritorialnya. Tidak boleh melewati 24 mil dari garis pangkal, dari lebar laut teritorial diukur.

Zona tambahan (contiguous zone), merupakan suatu jalur dari laut lepas yang berbatasan dengan laut teritorial suatu negara. Keberadaan zona ini didasarkan pada kebutuhan khusus negara-negara untuk meluaskan kekuasaannya melewati batas laut teritorial, disebabkan tidak cukup luasnya laut teritorial untuk melakukan pencegahan penyelundupan dari dan di laut di satu sisi, dan wewenang penuh atau kedaulatan negara pantai di sisi lain.  Kedua faktor inilah yang menimbulkan adanya jalur atau zona tambahan.

Dalam hal-hal tertentu suatu negara dirasakan masih memerlukan wilayah untuk menerapkan kekuasaanya terhadap masalah-masalah khusus, misalnya untuk mengatasi penyelundupan, bea cukai, karantina dan sebagainya.  

Berlakunya UNCLOS 1982 lebar zona tambahan secara pasti ditetapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat (2) UNCLOS 1982 yaitu: "tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dimana laut teritorial diukur".

Sedangkan status hukum zona tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) sub (a) dan (b) merupakan penyempurnaan dari ketentuan sebelumnya yaitu, negara pantai dapat mengadakan pengawasan yang diperlukan untuk:   

a. Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, keimigrasian, dan kesehatan yang berlaku di wilayah darat dan laut negara pantai.
b. Menindak pelanggaran-pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut yang dilakukan di wilayah darat dan laut negara pantai.


Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE (exclusive economic zone)

ZEE adalah jalur laut di luar laut wilayah Indonesia sejauh 200 mil laut dari garis pangkal atau garis dasar. Jarak  tersebut tentunya apabila perbatasannya berwujud lautan atau perairan yang tidak berdekatan dengan wilayah negara tetangga. ZEE adalah wilayah perekonomian yang merupakan zona laut dengan kewenangan sebatas perkonomian saja. Selain itu ZEE sebagai perkembangan dalam masalah pengaturan kelautan erat kaitannya dengan pembudidayaan dan pengawasan sumber daya hayati maupun non hayati.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Undang-Undang tentang ZEEI) merupakan realisasi yuridis suatu perluasan wilayah laut yang utamanya adalah mengenai pengelolaan keadaan ekonomi di wilayah laut yang termasuk didalamnya pengawasan serta pelestarian kekayaan laut, sehingga kekayaan yang terdapat di dalam laut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan tidak bermaksud untuk merusak kekayaan baik hayati maupun non hayati di dalam laut.

Ketentuan ZEE penting bagi Pemerintah RI untuk mendukung perwujudan Wawasan Nusantara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Bangsa Indonesia dengan memanfaatkan segenap sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di ZEE-nya. Selain itu, Indonesia berkewajiban pula untuk menghormati hak-hak negara lain di ZEE-nya, antara lain kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut di ZEE.  

Khusus yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia, maka sesuai dengan KHL 1982, negara lain dapat ikut serta memanfaatkan sumber daya alam hayati sepanjang Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh sumber daya alam hayati tersebut. Di wilayah ZEE-nya, Indonesia mempunyai dan melaksanakan:

a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya, serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus, dan angin.
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan:

     1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya.
     2. Penelitian ilmiah mengenai kelautan.
     3. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
     4. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan KHL 1982 yang berlaku.

Sesuai dengan Pasal 56 tentang hak, yurisdiksi, dan kewajiban negara pantai di ZEE, maka dalam Pasal 73 UNCLOS 1982, negara pantai dapat melaksanakan hak berdaulat dan mengambil tindakan termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan terhadap kapal yang melakukan pelanggaran di ZEE.

Penangkapan kapal dan awaknya harus segera dibebaskan, jika telah diberikan uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya, karena sesuai dengan Pasal 73 ayat (3) UNCLOS, hukum yang dijatuhkan terhadap pelanggaran perikanan di ZEE tidak boleh mencakup hukuman kurungan (hukuman badan), kecuali ditentukan lain dalam perjanjian.

Misalnya antara negara yang bersangkutan terdapat perjanjian ekstradisi yang menentukan lain dari ketentuan konvensi. Hal ini dibolehkan untuk menyimpangi ketentuan dalam konvensi sesuai dengan asas  "lex specialis derogate lex generis"  yaitu suatu asas hukum yang mendahulukan ketentuan khusus daripada tetentuan yang bersifat umum.  

Dalam proses penegakan hukum di ZEE negara yang kepentingannya dirugikan, harus memberitahukan kepada negara bendera kapal atau negara. Warga negara asing yang melanggar ketentuan melalui saluran yang tepat, yaitu saluran diplomatik resmi seperti kementerian luar negeri, kementerian pertahanan keamanan, duta besar yang berada di negara yang kepentingannya dilanggar. Adanya ketentuan ini, diharapkan hubungan baik antar negara tetap terjaga, sehingga kepentingan terhadap pemanfaatan laut dapat dilaksanakan secara tertib dan teratur.

Untuk menegakkan segala bentuk pelanggaran perundang-undangan di ZEEI, Pasal 14 mengatur wewenang dari aparat penegak hukum yaitu:

a. Penyidik adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
b. Penuntut umum adalah Jaksa pengadilan negeri.
c. Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang.

Dalam rangka proses pengadilan dan penjatuhan hukuman, Undang-undang ZEEI, juga menentukan ketentuan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 yaitu penjatuhan pidana denda setinggi-tingginya Rp 225.000.000,- (dua ratus dua puluh lima juta rupiah). Sedangkan yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan ancaman pidananya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang lingkungan hidup.  Khusus untuk peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan Undang-undang ZEEI dapat mencantumkan pidana denda setinggi-tingginya Rp75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah).

Dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi, dan kewajiban-kewajibannya di wilayah ZEE, aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan pengecualian penangkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEE Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut di pelabuhan di mana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut.

Di samping pengumuman asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan di atas, yang terutama ditunjukkan kepada dunia luar, asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan tersebut perlu pula dituangkan dalam suatu undang-undang agar terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi, dan kewajiban-kewajiban dalam ZEE, dengan demikian tercapai pula kepastian hukum.

*) Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR-RI.
    

BACA JUGA: