"Orang jujur pasti mujur". Ungkapan ini cukup terkenal dalam khazanah kebudayaan kita. Sejak kecil kita sudah ditanamkan bersikap jujur. Tanpa disadari, kita menganggap bahwa kejujuran itu baik dan kebohongan itu jahat. Walaupun kita tidak tahu landasan setiap penilaian, sampai sekarang kita tetap percaya bahwa kejujuran adalah budi pekerti luhur yang harus dipertahankan.

Memang, bersikap jujur tak butuh alasan. Sifatnya imperatif dari dalam diri yang paling mendasar. Kita hanya butuh berdamai dengan diri sendiri untuk melakukannya. Semua perkataan dan perbuatan yang akan dilakukan konon sudah disuarakan dalam satu bahasa "kejujuran". Suara itu memerintahkan kita agar menghindar dari setiap alasan-alasan kebohongan.

Suara yang menyembul dalam hati, lirih dan tersembunyi. Karenanya, kejujuran tidak dapat kita lakukan sebelum kita jujur pada diri sendiri. Kita harus mengamini suara hati terlebih dahulu untuk kemudian bersikap jujur pada orang lain. Selama kita mengambil jarak dari suara hati, ucapan dan perilaku kita akan mengapung di atas alasan-alasan klise tak mendasar. Kepribadian kita juga akan mengalami keretakan karena sudut yang saling bersilangan.

Lalu apa arti kejujuran bagi kita dan orang lain? Bagi diri kita, kejujuran mendatangkan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman. Tidak ada orang yang lebih tenang di dunia ini kecuali orang yang jujur pada diri sendiri. Begitu pula tidak ada orang lebih cemas kecuali orang yang hatinya sedang bergejolak. Ini disebabkan manusia memiliki kebutuhan yang bersumber dari dua unsur, yakni hasrat/nafsu (passion) dan jiwa (spirite).

Unsur hasrat mendorong manusia untuk meraih kepuasan, kenikmatan atau kesenangan hidup yang bersifat lahir. Sedangkan unsur jiwa mendorong pada kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman batin. Pemenuhan kebutuhan hasrat tidak menuntut manusia jujur pada diri sendiri. Ia hanya butuh dipenuhi tanpa kurang sedikit pun. Namun, pemenuhan kebutuhan jiwa mengharuskan manusia berdamai dengan suara hati.

Suatu waktu, kedua kebutuhan tersebut kadang tarik menarik di atas satu gelombang berlawanan. Satu sisi, kebutuhan hasrat kita memuncak ingin dipuaskan tapi pada sisi lain hati kita berontak melawan. Hasrat mendatangkan beribu alasan namun pendirian hati tetap tak terjungkal. Saat itu kepribadian kita bergejolak seperti ditawan kebimbangan. Maka pada posisi ini, memilih jujur pada hati nurani lebih menguntungkan ketimbang memenuhi hasrat semata.

Mengikuti hati nurani tidak lantas menghilangkan kesempatan meraih kepuasan dan
kesenangan. Sebab, hati nurani tidak pernah melarang kita untuk memenuhi tuntutan hasrat. Yang ditentang hanyalah jika pemenuhan itu membuat kita lupa pada jati diri.

Misalnya, ingin kaya dengan cara mengambil hak orang lain, makan dengan cara mencuri, mendapat kekuasaan dengan cara culas dan licik, kepuasan seksual dengan pemerkosaan, dan semacamnya. Meraih kepuasan dengan cara seperti ini tidak membuat kita tenang. Segera setelah mendapatkannya hati kita akan cemas, getir dan gelisah berkepanjangan.

Sementara itu, arti kejujuran buat orang lain sangatlah penting. Kejujuran membuka dan mempererat jalinan cinta kasih (silah al-rahm) antar sesama. Hubungan yang dijalani dengan kejujuran menumbuhkan rasa saling percaya sehingga menghasilkan sesuatu yang menguntungkan. Ada timbal balik yang bisa kita dapatkan, baik berbentuk perlakuan moral (misalnya, dipandang sebagai orang baik sehingga diterima di tengah keluarga dan masyarakat) maupun harapan peran (misalnya, dipercaya mampu mengemban tugas dan tanggung jawab tertentu, dll).

Tanpa kejujuran, hubungan tidak akan pernah bertahan lama. Hubungan juga tidak
berkualitas karena cenderung merugikan salah satu pihak (parasit). Sekuat apa pun kita mempertahankannya, tali hubungan pasti mengelupas perlahan. Apalagi jika suatu saat kebohongan terbongkar secara nyata. Maka seketika itu juga rasa saling percaya hancur berantakan.

Sekali seseorang diketahui berbohong, sulit untuk kembali mendapat kepercayaan. Sebab biasanya, satu kebohongan akan berusaha ditutupi dengan kebohongan lain. Kita mungkin bersedia memberi kesempatan kedua bahkan ketiga bagi setiap kegagalan, tetapi kita tidak rela membiarkan diri dibohongi walau satu perkataan. Dibohongi itu menyakitkan. Kita pasti kecewa mendapatkannya.

Banyak kasus di mana hubungan yang sudah dibangun bertahun-tahun hancurkarena hilangnya rasa kepercayaan. Seorang bos besar memecat bawahannya karena dikhianati, seorang suami bercerai dengan istri karena melanggar janji suci, dua teman karib bermusuhan karena didustai, dan sebagainya. Ini menunjukkan betapa kepercayaan sangat mahal. Sekali mendapat kepercayaan tak berarti dapat dipercaya selamanya. Kepercayaan senantiasa diuji seiring perjalanan waktu.

Oleh karena itu, rasa saling percaya harus dijaga dengan konsistensi kejujuran dan sikap bertanggungjawab. Apa pun keadaan yang dihadapi, tak ada kerugian untuk tetap berkata jujur. Hal-hal yang kita anggap merugikan sebelum berkata jujur sebenarnya bukan kenyataan. Ia hanya sebentuk ketakutan yang menjelma menjadi alasan bagi setiap kebohongan. Dan, realita hidup menunjukkan kebohongan adalah awal dari kegagalan pun kehancuran.

Ada sebuah cerita di mana salah satu perusahaan telekomunikasi ternama sedang mencari tenaga teknis untuk ditempatkan di satu departemen. Banyak pelamar yang datang mengisi formulir untuk kemudian menjalani tes tulis dan psikotes. Namun setelah semua ujian dan prosedur formal diikuti, perusahaan memberi satu pekerjaan rumah: setiap orang dibawakan semangkok bibit kacang hijau untuk disemayamkan dalam jangka waktu tertentu. Peserta yang berhasil merawat hingga tumbuh segar akan mendapat pekerjaan dimaksud.

Setelah sampai batas waktu yang ditentukan, para pelamar kembali lagi ke perusahaan seraya membawa hasilnya. Mereka memamerkan hasil usaha masing-masing sembari membandingkan satu sama lain. Nampak seketika, manajer kesulitan memutuskan siapa yang lolos karena mayoritas membawa bibit yang tumbuh segar.

Namun setelah didata, ternyata ada satu orang peserta membawa bibit yang belum tumbuh. Terlihat di bibit itu sedikit bekas dipupuk, disiram, dan ditanam. Manajer lalu bertanya: "Kenapa berbeda dengan yang lain? Kenapa tidak tumbuh segar?". Dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah, peserta itu menjawab:

"Maaf bapak, bibit yang diberikan hingga saat ini belum tumbuh. Padahal, saya sudah memupuknya dan memberi air yang cukup. Semua persyaratan agar bibit ini tumbuh subur dan segar sudah dipenuhi. Tapi anehnya, bibit ini seakan berkepala keras tak mau tumbuh," jawabnya.

Mendengar penjelasan itu, sang manajer kemudian berkata: "Engkaulah satu-satunya yang diterima di perusahaan kami," ucapnya tegas.

Orang itu kaget tak percaya. Lalu manajer melanjutkan: "Sesungguhnya bibit kacang hijau yang dibagikan kepada para peserta adalah bibit yang telah diproses sehingga tak bisa tumbuh lagi. Dengan begitu, perusahaan akan mudah mengetahui peserta mana yang jujur. Dan ternyata, andalah orangnya. Prinsip perusahaan kami, kejujuran dan tanggung jawab lebih ditinggikan ketimbang sebatas keberhasilan," kata manajer menjelaskan.

Dari cerita tersebut dapat ditarik pelajaran bahwa kejujuran membuahkan berkah keberuntungan dan keberhasilan. Hasil yang didapatkan berkat kejujuran jauh lebih berarti ketimbang diraih dengan jalan kebohongan. Tentu masih banyak cerita serupa yang bisa kita dapatkan dalam kenyataan hidup sehari-hari.

H.Veri Muhlis Arifuzzaman. Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni pondok pesantren Daar el-Qalam

BACA JUGA: