Oleh: Dedi Mulyadi *)
 
Dalam sistem belanja pemerintah daerah dikenal dengan istilah belanja langsung dan belanja tidak langsung. Hal ini diatur dalam Permendagari Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah berkali-kali, terakhir dengan Permendagri Nomor 21/2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Besaran belanja langsung merupakan gambaran dari komitmen pemerintah terhadap pembangunan masyarakat, sehingga sempat menjadi sorotan tajam terhadap belanja langsung daerah yang masih di bawah 50%.

Porsi belanja langsung yang ideal adalah 70% dan belanja tidak langsungnya 30%. Bahkan apabila lebih besar dari itu jauh lebih baik. Tapi kadang istilah ini akan menjadi aneh kalau melihat dokumen anggaran belanja daerah, karena banyak nomenklatur anggaran yang lucu. Sudut pandangnya murni akuntansi, bukan psikologi atau sosiologi pembangunan.

Sebagai contoh, belanja barang dan jasa merupakan belanja langsung, tetapi menerjemahkan barang dan jasa menjadi tidak relevan dengan barang dan jasa untuk masyarakat karena jenis kegiatannya berwujud seminar di hotel, perjalanan dinas, sosialisasi pembangunan, membeli alat tulis kantor, honorarium pegawai, uang lembur, perawatan kendaraan bermotor, dan perawatan gedung kantor, yang semuanya menghabiskan cukup banyak anggaran. Ah, pokona mah kagiatan keur kasajahtraan pagawe we lah... lain jang kabutuhan rakyat (pokoknya kegiatan untuk kesejahteraan pegawai).

Sedangkan bantuan keuangan kepada instansi yang lebih rendah, seperti bantuan gubernur untuk kabupaten/kota, bantuan keuangan kepada desa, belanja hibah konstruksi untuk membangun jalan desa, irigasi desa, kantor desa, pos kamling, posyandu, sarana peribadatan, rumah rakyat miskin, bantuan pengobatan bagi masyarakat, bantuan penanganan bencana alam, dan kegiatan pembangunan desa lainnya yang memiliki dampak yang cukup luas bagi upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, dikategorikan sebagai belanja tidak langsung.

Besaran anggaran tersebut tidak akan memengaruhi prestise dari sebuah anggaran belanja, bahkan cenderung dianggap sebagai bentuk kelalaian pengelolaan keuangan karena belanja hibah dan belanja bantuan alokasi desa, yang merupakan komponen belanja tidak langsung, tidak boleh lebih besar dari besaran alokasi belanja langsung.

Padahal ceuk kuring, apanan ieu nu langsung karasa ku rahayat. Kunaon jadi teu langsung? Ah, teu ngarti (menurut saya, kan seperti ini yang terasa oleh rakyat. Mengapa jadi tidak langsung? Tidak mengerti). Menurut saya, logika akuntansi harus berbanding lurus dengan logika sosiologi dan psikologi pembangunan.

Konsepsi pembangunan merupakan konsepsi holistik keilmuan, bukan konsepsi sudut pandang, karena logika ini dapat disalahgunakan oleh para pengelola anggaran agar bisa sebesar-besarnya dengan mudah menikmati anggaran tanpa dikategorikan korupsi bahkan dapat mendongkrak prestise anggaran karena besaran belanja langsung menjadi tinggi.

Enak kan? Ngeunah meureun... Nu kieu ngeunah ngaranna... geus mah babari nyusun anggaranana, babari ngaluarkeunana, babari nanggungjawabkeunana, halal deuih ngadaharna ceuk administrasi (enak kali...begini namanya enak…mudah menyusun anggarannya… mudah mengeluarkannya, mudah mempertanggungjawabkannya, halal pula untuk dimakan menurut administrasi).   

BUKAN SEKADAR INPUT-OUTPUT - Sudut pandang belanja bukan hanya input dan output, tetapi harus ada outcome dan benefit bagi kepentingan masyarakat. Outcome dan benefit ini seringkali luput dari penilaian para auditor karena dianggap bukan wilayah administrasi audit, tapi wilayahnya politik audit yang merupakan kewenangan para legislator.

Kalau legislatornya juga lupa, karena sibuk dalam perjalanan dinas dan bimbingan teknis yang sama harus dipertanggungjawabkan, lantas siapa yang mengoreksi politik anggaran kita? Kasihan Mang Udin yang rumahnya roboh, jalan ka lembur (ke kampung) yang kaya kobongan lele, kantor desa yang sudah dengdek (miring). Ah, pokona mah pikarunyaeun we..(pokoknya sangat memprihatinkan).

Sedangkan hasil audit badan pemeriksa,  APBD-nya teropini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), karena penyajian administrasinya sangat bagus, baik belanja modal, belanja barang, pengelolaan aset, alur kas, dan sebagainya. Euh, meni ngeunah pisan euy... surga sugan ieu mah...(sangat enak seperti di surga).

Kenyataan berikutnya, belanja langsung dalam bentuk belanja modal, barang dan jasa yang berhubungan dengan kebutuhan masyarakat, seperti membangun jalan, jaringan listrik, jaringan air bersih, penataan taman kota, ruang terbuka hijau, irigasi, sekolah dan berbagai kegiatan infrastruktur lainnya, sangat lambat penyerapannya. Kelambatan terjadi karena ketakutan para pengelola anggaran untuk melaksanakan kegiatan yang dianggap berisiko tinggi.

Risiko tersebut adalah risiko berhadapan dengan aspek hukum akibat kelalaian pengelolaan administrasi dan kelalaian pengelolaan teknis konstruksi. Anehnya, aktivis antikorupsi kita, paling kencang menyoroti belanja seperti ini. Jangankan ada salahnya, nggak ada salahnya pun tetap dilaporkan.

Kalau sudah dilaporkan, urusannya bukan benar dan salah, tapi cape-nya itu, matak stres we pokona mah. Itulah yang bikin pegawai pada nggak mau jadi pelaksana kegiatan, padahal ini yang jadi inti keberhasilan anggaran. Sedangkan belanja langsung yang di atas, jarang ada aktivis LSM yang melaporkan, apalagi oleh LSM abal-abal, bisa jadi karena dia nggak ngerti, karena tidak terlihat.

Padahal nu kadeuleu (yang terlihat) itu justru mudah mengontrolnya. Jalan kalau jelek, pasti cepat berlubang. Bangunan kalau kurang semen, pasti temboknya coplok (lepas). Ari (kalau) perjalanan dinas, seminar, honor kan tidak ada risiko kekurangannya.

Dampak dari rasa takut pengelola anggaran terhadap belanja kerakyatan yang berisiko, akibatnya rakyat juga yang merasakan dan dirugikan, karena dalam setiap tahun terjadi penumpukan Silpa (Sisa Lebih Penghitungan Anggaran) di berbagai daerah. Tidak tanggung-tanggung, Silpa tersebut kadang mencapai 50% dari total anggaran.

Bayangkan, kalau se-Indonesia disatukan, berapa ratus triliun tuh. Kalau APBN kita Rp2.000 triliun, SILPA-nya 40 % berarti ada Rp800 triliun uang dalam setiap tahun nongkrong di bank. Enak bener yah, bank kita... Terus, uangnya dipinjamkan kepada pegawai negeri, pantesan atuh untung wae (pantas saja selalu untung)...

Yang menarik lagi, biaya umum dari kegiatan proyek pembangunan yang tidak dilaksanakan tersebut, tetap diserap, yang komponennya terdiri dari honorarium pegawai, belanja perjalanan dinas, alat tulis kantor. Tuh kan, sudah enak lagi, karena nggak berisiko.

SAATNYA BELANJA UNTUK RAKYAT - Kalau melihat hal tersebut, ini sudah merupakan kategori gawat, karena konstruksi anggaran yang dikumpulkan dari berbagai sumber pendapatan, baik eksploitasi sumber daya alam, pengumpulan pajak, pinjaman luar negeri, dan sumber-sumber lainnya yang diatur oleh undang-undang, tidak memiliki dampak yang besar bagi upaya mewujudkan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Logika anggaran pembangunan yang terlalu administratif telah mengerangkeng kreativitas penyelenggara negara untuk memercepat pertumbuhan dan perkembangan pelayanan umum masyarakat.

Pada aspek lain, logika administratif telah dimanfaatkan oleh administrator ulung untuk hidup tenang dengan honor besar dan fasilitas sempurna, tapi tetap dikategorikan sebagai pejabat bersih karena tidak pernah bersentuhan dengan pelanggaran hukum. Ngeunah pisan nya (enak sekali ya) memanfaatkan istilah belanja langsung dan tidak langsung.

Pada akhirnya ada belanja langsung yang bikin nyaman dan ada belanja tidak langsung yang bikin tidak nyaman... Siapa berani bikin belanja langsung sebanyak-banyaknya yang bikin nyaman para pegawainya, siapa berani nekat bikin belanja yang tidak langsung, tapi bikin nyaman masyarakatnya? Pek we pikiran lah...!!! (coba pikirkan…!!!).

Saatnya pengelola anggaran yang pasang badan demi rakyat dihargai, jadi pahlawan sejati, sedangkan yang ulung dalam administrasi tapi rakyat gigit jari dikasih gelar banci... Kalau yang ini nggak setuju juga nggak apa-apa... moal maksa, ah...

Jadi menurut saya, judul belanja sudah saatnya kita ganti. Jangan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung, sebab ngabingungkeun... Ganti saja dengan Belanja untuk Pegawai dan Belanja untuk Masyarakat, biar nanti ketahuan gede mana bagian Kang Dedi dengan bagian Ma Icih... dan ini berlaku bukan hanya untuk daerah saja lho, tapi untuk semua, termasuk kementerian dan semua lembaga negara. Setuju kan? Kalau nggak setuju juga nggak apa-apa...

*) Penulis adalah Bupati Purwakarta

BACA JUGA: