JAKARTA, GRESNEWS.COM – Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 (PP 27/1983) perlu direvisi mengikuti perkembangan zaman. PP yang mengatur soal nominal ganti rugi atas salah tangkap atau salah tahan tersebut, nominalnya tidak sesuai dengan kerugian akibat salah tahan atau tangkap.

Untuk diketahui, Pasal 9 ayat (1) PP 27/1983 berisi ketentuan ganti rugi dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP yaitu berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp5.000 dan setinggi-tingginya Rp1 juta.

Ketua Dewan Etik Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sugeng Teguh Santoso mengatakan PP 27/1983 harus menjadi salah satu PP yang menjadi perhatian menteri. Sebab PP yang mengatur soal ganti rugi penahanan seseorang yang dinyatakan tidak bersalah, nominalnya terlalu kecil.

"Harus ada penyesuaian dengan nilai saat ini,” ujar Sugeng pada Gresnews.com, Jumat (3/4).

Ia melanjutkan penyesuaian ganti rugi tersebut tidak hanya harus disesuaikan dengan nilai saat ini tapi juga harus dikaitkan dengan status penghasilan orang bersangkutan yang dirugikan akibat penahanan. Contohnya, jika orang yang salah ditahan adalah seorang pegawai maka harus melihat berapa penghasilannya.

Menurutnya, ganti rugi terhadap orang yang salah tersebut tidak bisa disamaratakan. Dampaknya memang akan sangat berpengaruh terhadap anggaran Negara ketika PP ini diubah dan disesuaikan dengan profesi seseorang. Ia menyatakan revisi PP ini memang masih memerlukan kajian yang lebih intensif.

Senada dengan Sugeng, anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan PP 27/1983 memang mutlak perlu direvisi. Ke depannya, ia mewacanakan agar dalam revisi Undang-Undang KUHAP bisa dicantumkan ganti rugi atas tidak profesionalnya penyidik berupa salah tangkap, salah sita atau salah geledah harus dirumuskan bukan dengan angka.

"Kalau dirumuskan dengan angka maka harus diberikan formula kenaikannya," ujar Arsul saat dihubungi Gresnews.com pada kesempatan terpisah, Jumat (3/4).

Menurut Arsul, formula kenaikan nominal ganti rugi terhadap korban salah tangkap atau salah tahan bisa mengikuti kenaikan harga emas. Misalnya, jika ganti rugi saat ini setinggi-tingginya diberikan Rp1 juta dan dinaikkan menjadi 5juta maka ganti rugi untuk 10 tahun ke depannya mengikuti standar kenaikan harga emas.

Menurutnya, ganti rugi yang diikuti dengan kenaikan harga emas lebih baik dibandingkan dengan harus mengubah PP untuk meningkatkan nominal angka ganti rugi.

Saat ditanya agar ganti rugi disesuaikan dengan profesi orang yang bersangkutan, menurut Arsul, tidak perlu. Sebab tidak mungkin sebuah peraturan dibuat dengan perhitungan status sosial atau status pekerjaan. PP tersebut tetap harus dirumuskan dengan frasa ‘sekurang-kurangnya atau setinggi-tingginya’ soal nominal ganti rugi. Sehingga nominal yang pantas sesuai kesalahan yang dilakukan aparat penegak hukum nantinya akan diputuskan oleh hakim.

Arsul juga mewacanakan kalau salah tangkap disebabkan kelalaian berat atau unsur kesengajaan maka para penegak hukum yang melakukan penangkapan bisa dikenakan pidana. Menurutnya, harus ada pasal yang mengatur secara jelas dan tegas agar para penegak hukum semakin profesional dan tidak main asal tangkap. Adapun pasal yang mengatur soal salah tangkap ini bukan cuma pasal umum tentang perampasan kemerdekaan orang.

Untuk diketahui, berdasarkan berkas dari website Mahkamah Agung kasus salah tangkap pernah terjadi di Palembang. Mulanya terjadi keributan di Jalan KH Azhari Kecamatan Seberang Ulu II, Palembang (11/5/2003) yang mengakibatkan seorang warga bernama Chandra tewas. Sementara pelaku pembunuhan kabur.

Penyelidikan atas kasus tersebut pun dilakukan selama bertahun-tahun oleh polisi. Berdasarkan keterangan empat saksi yang melihat kejadian yakni Atikasari, Betty, Abdul Muhalid, dan Rudiansyah yang mengaku melihat kejadian, pelaku atas pembunuhan tersebut bernama Marzuki.

Akhirnya polisi mengeluarkan surat penangkapan. Bukannya menangkap dan menahan Marzuki yang dimaksud, Polrestabes Palembang malah menangkap Juki, orang lain yang tidak ada hubungannya dengan kasus ini. Juki ditangkap hanya karena dinilai memiliki kesamaan nama dengan Marzuki. Meski Juki sudah menunjukkan KTP, polisi tetap menangkap dan menahan Juki yang baru saja menyelesaikan akad nikah. Akhirnya Juki terpaksa meninggalkan perayaan resepsi pernikahannya.

Lalu baru pada 2 Juli 2007 Juki dibebaskan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Palembang yang menyatakan Juki tidak bersalah. Putusan PN pun dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung. Juki pun meminta ganti rugi sebanyak Rp1,06 mliar untuk materiil dan Rp1 miliar untuk immateriil. Lalu pada 2012, Pengadilan Negeri Palembang disusul Pengadilan Tinggi Palembang menolak banding Juki dan gugatannya untuk ganti rugi.

BACA JUGA: