JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) digugat ke Mahkamah Konstitusi lantaran dianggap tidak mencantumkan pasal soal kurikulum kesehatan reproduksi. Menurut para pemohon, pengetahuan soal kesehatan reproduksi sangat diperlukan khususnya bagi usia anak yang mengalami perubahan biologis dalam dirinya.

Pemohon tersebut diantaranya Ketua Pengurus Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sarsanto W Sarwono, Anis Su´adah sebagai orangtua murid, Sukarni sebagai Guru Konseling Madrasah Aliyah I Wates, dan Esti Sutari sebagai guru konseling SMAN II Wates. Di antara penggugat ada juga yang berstatus pelajar yaitu Emmanuela Lupy Ragawidya dan Anggun Pertiwi, serta mahasiswa bernama Ragil Prasedewo.  

Mereka menggugat Pasal 37 Ayat (1) huruf h UU Sisdiknas. Pasal ini menyebutkan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat sejumlah mata pelajaran mencakup pendidikan jasmani dan olahraga.

Kuasa hukum para pemohon Rachmawati Putri menyatakan agar ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang memuat pendidikan jasmani dan olahraga ditafsirkan termasuk pendidikan kesehatan reproduksi. Menurutnya kesehatan reproduksi anak juga menjadi bagian hak pendidikan, informasi, rasa aman, dan perlindungan yang dijamin UUD 1945.

"Anak dengan usia 10-18 tahun merupakan masa transisi dari masa anak ke masa dewasa. Pada masa itu mereka seringkali dihadapkan pada kebiasaan yang tidak sehat khususnya perilaku seks berisiko," ujar Rachmawati pada sidang pengujian UU Sisdiknas di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (5/3).

Rachmawati melanjutkan, materi dan pengetahuan soal kesehatan reproduksi sangat diperlukan dalam usia tumbuh kembang anak. Sebab pada usia tersebut mereka mengalami perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional. "Kalau hak materi kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan tidak terpenuhi maka dapat berisiko bagi kesehatan reproduksi usia anak sekolah," katanya.

Rachmawati mencontohkan risiko kesehatan reproduksi diantaranya kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, penyakit seks menular, kekerasan seksual, pencabulan, pernikahan dini, dan potensi terkena virus HIV/AIDS. "Potensi tersebut bisa terjadi akibat dari anak-anak cenderung mencari informasi dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti melalui internet," tegasnya.

Data dari Komnas Perlindungan Anak pada 2010 mengungkapkan terdapat 859 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Setelah 2010, tahun berikutnya angka kekerasan pada anak terus meningkat. Pada 2011 mencapai 1.455 kasus. Lalu pada 2012 meningkat lagi mencapai 1.634 kasus. Sehingga kuasa hukum pemohon menilai banyaknya kasus ini membuat anak sangat memerlukan perlindungan negara.

Selanjutnya, Rachmawati menyebutkan Pasal 71 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah menjamin  setiap orang berhak memperoleh informasi  mengenai kesehatan reproduksi. Pasal tersebut mendefinisikan kesehatan reproduksi meliputi saat sebelum hamil, saat hamil, melahirkan, sesudah melahirkan, pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, kesehatan seksual, dan kesehatan sistem reproduksi. Ia pun meminta agar Pasal 37 Ayat (1) huruf h UU Sisdiknas dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Menanggapi hal ini, Hakim Konstitusi Aswanto meminta agar permohonan ini bisa menjelaskan kerugian konstitusional para pemohon secara komprehensif. "Perlu dijelaskan kerugian konstitusional dan bukan kerugian ekonomi," ujar Aswanto pada kesempatan yang sama.

Merespons permintaan hakim, salah satu pemohon Anis Su´adah menceritakan soal kerugiannya di hadapan persidangan. Ia mengatakan memiliki anak laki-laki yang dididik di pesantren. Anak tersebut mengaku mengalami perubahan biologis dalam dirinya setelah mimpi basah dan diadukan pada pemohon.

Anis pun menjelaskan pada anaknya bahwa indikasi tersebut merupakan penunjuk anaknya telah dewasa. Ia mengeluhkan persoalan ini tidak mampu dijawab oleh pendidik anaknya di pesantren karena persoalan reproduksi masih dianggap tabu.

"Untung saya memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, kalau orang tua lainnya tidak memiliki pengetahuan yang sama tentu anak pasti akan kebingungan," ujar Anis.

BACA JUGA: