JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua lembaga pemerintah, yakni Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kementerian Perhubungan RI berbeda pendapat dalam pengaturan penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja pada sektor perikanan sebagai Pelaut atau Anak Buah Kapal (ABK). Perbedaan pandangan terutama pada apakah ABK wajib memilki KTKLN ataukah tidak.

Perbedaan pandangan ini berdampak pada pelaut/ABK yang tidak mendapat jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, dari akibat adanya hubungan kerja antara Anak Buah Kapal (ABK) dengan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).

"Karena perbedaan persyaratan penempatan dan perlindungan dalam ketentuan yang mengatur antara BNP2TKI dan Kementerian Perhubungan RI berdampak bagi ABK tiada jaminan perlindungan," ujar kuasa hukum ABK, Iskandar Zulkarnaen di gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (25/02).

Dikatakan Iskandar, pada ketentuan Pasal 26 Ayat (2) huruf f  UU No. 39 Tahun 2004, menyatakan, Penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN.
 
"Memperhatikan ketentuan Pasal 26 Ayat (2) point f, maka dapat diartikan setiap warga Negara Indonesia yang hendak bekerja dan ditempatkan di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri wajib memiliki KTKLN," ujarnya.
 
Sementara, lanjut ia, berdasarkan pada Pasal 1 angka 11 dalam bab Ketentuan Umum, bahwa KTKLN yang dimaksud dalam undang-undang ini merupakan kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.
 
Belum lagi jika menukil UU 39/2014 Pasal 63 Ayat (1) dimana dinyatakan KTKLN diterima apabila telah memenuhi persyaratan dokumen penempatan TKI di luar negeri, pembekalan akhir penempatan, telah diikutsertakan dalam program asuransi. Dokumen dalam hal ini termasuk Paspor, Visa, Perjanjian Kerja, dan lain-lain.

"Praktiknya sedikit sekali TKI yang memiliki dan memegang sendiri perjanjian kerja. Tidak jarang mereka dipaksa menandatangani perjanjian yang mereka sendiri tidak tau isinya secara keseluruhan," katanya.
 
Maka itulah,  ABK menantang BNP2TKI untuk memfasilitasi agar setiap penandatanganan kontrak perjanjian kerja antara TKI dan PPTKIS bisa dilakukan secara terang, jelas, dan perjanjian kerja itu sendiri harus dimiliki/dipegang oleh setiap tenaga kerja yang akan berangkat.

Menanggapi uji materi penghapusan Pasal 26 Ayat (2) huruf f tentang Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), pemerhati ketenagakerjaan Poempida Hidayatulloh menilai bahwa pasal tersebut memang harus diganti dan diperjelas dalam konteks memberikan kepastian kegunaan dari mekanisme pendataan yang ada.

"Sehingga data yang didapat menjadi data yang memiliki integritas yang bermanfaat untuk perlindungan TKI," ujarnya.

Dirinya menegaskan bersedia untuk menjadi saksi ahli pada sidang lanjutan di MK. "Saya akan jadi saksi ahli dari pihak pemohon pada saat di MK mendatang," kata mantan Wakil Ketua Timwas TKI DPR ini.

BACA JUGA: