JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi kembali menerima pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Perppu Pilkada). Permohonan uji materil (judicial revew) ini diajukan Ketua Umum Dewan Tanfidzi DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Muchsin Bin Ahmad Al-Atthas. Habib Muhsin mempersoalkan ketentuan Pasal 203 Ayat (1) terkait kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan walikota.

Pasal 203 Ayat (1) yang dimohonkan itu berbunyi: "Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya".
                                                               
Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 24 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Serta bertolak belakang dengan Pasal 173 Perpu Pilkada. Pemohon beranggapan pemberlakuan ketentuan Pasal 203 Ayat (1) Perppu Pilkada sepanjang terdapat ketentuan Pasal 24 Ayat (5) UU Pemda berpotensi menyebabkan dilantiknya seseorang yang bukan merupakan aspirasi dari masyarakat.
 
"Kedudukan gubernur DKI Jakarta harus diisi melalui mekanisme dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat," tutur Habib Muhsin, melalui kuasa hukumnya, Fazri Apriliansyah saat menyampaikan permohonannya di sidang perdana pengujian Perpu Pilkada di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (17/12).
 
Alasannya, kedudukan gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 dipilih berdasarkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis".

Sementara proses pemilihannya dilakukan secara langsung oleh rakyat, berdasarkan Pasal 24 Ayat (5) UU Pemda yang menyatakan: "Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dan Ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan".
 
Fazri berpendapat, dasar hukum Pasal 203 Ayat (1) tidak dapat diterapkan untuk melantik pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi gubernur. Alasannya karena gubernur yang digantikan tidak "diberhentikan berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap" melainkan karena "berhenti dengan mengundurkan diri". Ketika gubernur berhenti atas permintaan sendiri, maka telah terjadinya kekosongan jabatan gubernur.
 
Ahok, lanjutnya, tidak dapat dilantik secara ex-officio menggantikan gubernur DKI Jakarta sebagaimana amanat Pasal 35 Ayat (1) UU Pemda yang menyebutkan bahwa: "Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (2), Pasal 31 Ayat (2), dan Pasal 32 Ayat (7) jabatan kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden".
 
Menanggapi permohonan tersebut, sidang panel yang dipimpin Wakil MK, Arief Hidayat menyarankan agar pemohon memperbaiki permohonannya. Sebab di dalam permohonan tersebut, pemohon mempertentangkan Perppu Pilkada dengan UU Pemda.
 
"MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang lainnya," jelas Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Selanjutnya Maria mengingatkan, apa pun hasil dari permohonan pengujian ini nanti, tidak akan berpengaruh terhadap status Ahok. Sebab, pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah terjadi.
 
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto menilai pemohon belum mampu menunjukkan kerugian konstitusional yang dialami akibat berlakunya Pasal 203 Ayat (1) Perppu Pilkada tersebut. "Saudara belum menggambarkan hubungan norma dengan kerugian konstitusional Saudara alami," terangnya.
 
Lain lagi dengan Arief Hidayat. Menurutnya, permohonan pemohon belum masuk kategori uji materi (judicial revew) yang menjadi kewenangan MK, tetapi cenderung berupa pengaduan konstitusi (constitustional complain).
 
Kemudian, Arief mengingatkan kepada pemohon bahwa MK juga tengah menggelar sidang pengujian formil dan materil Perpu Pilkada sejak Kamis (13/11) lalu yang dimohonkan enam pemohon berbeda. "Persidangan berikutnya proses pemeriksaan pemohon akan dijadikan satu dengan permohonan lainnya yang akan digelar 8 Januari 2015," ungkapnya.

BACA JUGA: