JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mulai melakukan persiapan pilkada baik langsung ataupun melalui DPRD lantaran pilkada direncanakan akan dilaksanakan serentak pada 16 Desember 2015. Salah satu persiapannya adalah terkait rencana untuk merekonstruksi aturan penyelesaian sengketa pilkada yang selama ini dianggap tidak efisien dan berlarut-larut dari segi waktu.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan, penyelesaian sengketa pemilu memang perlu diperbaiki karena yang terjadi selama ini dilakukan melalui beberapa pintu lembaga. Misalnya sengketa suara sudah digugat di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung, tetapi masih digugat lagi sebagai pelanggaran kode etik.

"Akhirnya KPU harus marathon hadapi gugatan hukum dengan pintu yang terlalu banyak. Gugatan sengketa selesai di satu pintu belum tentu selesai di pintu lain," ujar Titi kepada Gresnews.com, Minggu (21/12).

Menurutnya, gugatan dengan banyak pintu perlu diatur lagi lebih jelas. Ia menjelaskan sengketa pilkada terdiri dari dua jenis yaitu sengketa tahapan pemilu dan hasil suara pemilu. Kedua jenis sengketa tersebut harus diatur secara jelas pintu atau lembaga yang menyelesaikannya.

"Perlu juga diatur apakah satu gugatan bisa digugat ke pintu lain atau otomatis diputus jika sudah digugat ke satu pintu," ujar Titi.

Ia menambahkan, untuk gugatan tahapan pemilu sebaiknya fokus diselesaikan oleh pengawas pemilu. Untuk administrasi diselesaikan KPU. Kalau pelapor tidak puas dengan penyelesaiannya bisa dilanjutkan ke penyelesaian pidana dan kode etik. Lalu untuk gugatan hasil difokuskan bisa selesai di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.  

Saat ditanya kemungkinan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyelesaikan sengketa pidana agar waktu lebih efisien, ia menilai hal tersebut belum dimungkinkan. Alasannya anggota pengawas pemilu belum didesain untuk jadi penegak hukum pemilu dan penyidik tindak pidana pemilu.

Kalau pengawas pemilu dibebankan sebagai penegak hukum pemilu tanpa kapasitas yang memadai dikhawatirkan akan timbul masalah baru dalam penyelesaian sengketa pemilu. "Penyelesaian sengketa pemilu tidak boleh dilakukan serampangan," lanjutnya.

Sementara itu, deputi koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menuturkan untuk penyelesaian sengketa hasil suara pemilu sebaiknya diselesaikan di tingkat pusat. Sebabnya penyelesaian sengketa suara di tingkat pusat bisa meminimalisir dari konflik di tingkat daerah.

Ia mencontohkan konflik yang mungkin terjadi kalau penyelesaian sengketa dilakukan di daerah maka konflik bisa terjadi di setiap daerah sengketa. "Kalau modelnya pilkada serentak maka Perppu menunjuk Pengadilan Tata Usaha Negara," ujar Masykurudin kepada Gresnews.com, Minggu (21/12).

Dia menambahkan untuk sengketa tahapan pemilu yang terkait dengan pidana biasanya diselesaikan melalui polisi. Tapi menurutnya penyelesaian pidana pemilu melalui kepolisian dan kejaksaan sangat tidak efektif karena prosesnya rumit dan memakan waktu yang lama.

"Sehingga baiknya sengketa administratif dan pidana diselesaikan di tingkat lokal melalui Bawaslu yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa berkekuatan hukum tetap," ujarnya.

Menurutnya, untuk membuat Bawaslu bisa menyelesaikan sengketa pidana dan administratif, lembaga tersebut harus diperkuat. Sehingga penyelesaiannya cukup di satu lembaga saja agar lebih efektif. Tapi hal penting yang perlu diperhatikan Bawaslu harus merekrut dengan orang yang memiliki kemampuan hukum yang baik dan sesuai standar penegakan hukum pemilu.

Sebelumnya, Komisioner KPU Ida Budhiati mewacanakan untuk merekonstruksi aturan penyelesaian sengketa pemilu. Sebabnya selama ini penyelesaiannya cenderung lambat dan berlarut-larut. Akibatnya pemenang pemilu baru bisa dipastikan sekitar tiga bulan setelah pemilu untuk menyelesaikan sengketa pemilu lebih dulu.

BACA JUGA: