JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rekomendasi Komisi Yudisial (KY) terhadap Mahkamah Agung (MA) terkait skors yang diberikan pada hakim praperadilan Sarpin Rizaldi menimbulkan perdebatan. Pertimbangan KY dianggap tidak tepat karena banyak menimbulkan pertanyaan.

Dalam pertimbangan putusan yang dikeluarkan pada Selasa (30/6), KY memiliki tiga alasan untuk menskors Sarpin selama 6 bulan. Pertama, KY menilai Sarpin tidak teliti dan profesional karena yang disampaikan ahli bertentangan dengan yang dimuat Sarpin dalam putusannya.

Kedua, Sarpin melakukan kesalahan karena salah menuliskan identitas ahli dari Prof Sidharta yang merupakan ahli filsafat hukum menjadi ahli hukum pidana. Ketiga, KY menyatakan Sarpin terbukti menerima gratifikasi berupa fasilitas pembelaan atau jasa kuasa hukum dari kuasa hukum secara gratis. Meskipun dalam konteks ini, KY menyatakan tidak berhasil memperoleh konfirmasi langsung dari Sarpin dan kuasa hukum yang bersangkutan. Dua kali KY memanggil Sarpin namun ia tidak bersedia mendatangi panggilan KY.

Keempat, Sarpin dianggap melanggar etika karena memberikan respon berlebihan dihadapan publik dan tidak bersikap rendah hati. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY (UU KY), rekomendasi KY terhadap MA soal Sarpin memang digolongkan dalam sanksi sedang sesuai dengan Pasal 22D ayat (2) huruf b UU KY.

TERGANTUNG KETUA MA - Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengatakan seluruh putusan KY selama ini memang yang bisa mengeksekusi hanya MA. Tapi kalau sampai 60 hari rekomendasi disampaikan pada MA dan MA tidak memiliki pendapat lain serta tidak mengeksekusinya maka rekomendasi KY harus dilaksanakan sesuai Pasal 22E ayat (1) UU KY.

"Kalau MA punya pendapat lain, nanti dilakukan pemeriksaan bersama dengan KY. Kalau ini sanksi sedang jadi tidak perlu ada MKH. Kalau sanksi pemberhentian baru ada MKH," ujar Imam saat dihubungi gresnews.com, Rabu (1/7).

Juru bicara MA Suhadi mengatakan yang berwenang menjatuhkan hukuman atas Sarpin nantinya adalah ketua MA. Soal bagaimana sikap MA terhadap usulan KY, ia enggan mengomentari. Sebab MA sebelum mengeluarkan pernyataan MA harus meneliti lebih dulu bentuk usulan tersebut.

"Ini kan baru diskors saja, bagaimana materi dari permasalahannya, kemudian apa dasar rekomendasi putusan non palu 6 bulan harus jelas," ujar Suhadi saat dihubungi gresnews.com.

Saat ditanya apakah MA hanya akan menindaklanjuti rekomendasi KY atau akan memeriksa substansi yudisial putusan Sarpin, Suhadi mengatakan selama ini MA tidak memeriksa Sarpin baik dari segi etik dan yuridis. Sebab MA menilai tidak ada yang dipandang bermasalah. Sehingga MA hanya akan terfokus pada rekomendasi dari KY.

HAKIM HARUS PROFESIONAL - Terkait hal ini, perwakilan Koalisi Masyarakat Anti Korupsi Erwin Natosmal menyatakan apresiasinya terhadap putusan KY. Menurutnya putusan ini akan menjadi preseden positif ke depan bahwa hakim harus terikat pada prinsip profesionalitas. Sehingga hakim tidak bisa menafsirkan sewenang-wenang soal kekuasaan kehakiman. "Kami apresiasi," ujar Erwin pada gresnews.com dalam kesempatan terpisah.

Dalam Keputusan Bersama Ketua MA dan KY tentang Pedoman Kode Etik dan Perilaku Hakim (KEPPH) nomor 10 memang disebutkan hakim harus bersikap professional. Dalam penerapannya hakim harus memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kualitas pribadi agar dapat melaksanakan tugas peradilan dengan baik.

Hakim juga harus melaksanakan tanggungjawab administrasi dan bekerjasama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan. Poin ini menjadi salah satu alasan KY untuk memberikan skorsing non palu 6 bulan pada Sarpin. Sebabnya Sarpin dianggap tidak profesional karena salah mengutip dan salah menuliskan kapasitas ahli.

Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, soal salah kutip bisa jadi bukan langsung kesalahan Sarpin semata. "Sebab ada panitera pengganti yang menginformasikannya ke beliau," ujar Anggara saat dihubungi gresnews.com, Rabu (1/7).

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Muzakkir menuturkan kalau persoalan salah kutip menjadi masalah maka akan banyak hakim yang bermasalah di KY. Ia bahkan menuding saat membaca putusan MA ada yang salah.

"Saya kurang tahu persis apakah itu menjadi wewenang KY atau MA. Kalau salah kutip atau salah tafsir pendapat ahli maka substansinya salah atau tidak? Kalau saya memberikan keterangan sebagai ahli, dikutip satu alinea kadang-kadang. Itu langgar kode etik atau tidak? Apa definisi profesionalisme. Sehingga yang menjadi tanda tanya KY membuat definisi profesionalisme seperti apa,?" ujar Muzakkir.

Menurutnya, KY harus memberikan penjelasan pada publik soal standar profesionalisme hakim. Tujuannya agar semua pihak bisa menerima standar profesionalisme hakim khususnya ketika diletakkan pada konteks perkara ini.


RESPONS BERLEBIHAN SARPIN - Terkait pertimbangan KY soal respon berlebihan Sarpin pada publik, Peneliti ICJR Anggara mengatakan poin pertimbangan ini memang dianggap yang mengena terhadap kode etik hakim. Menurutnya, sebagai hakim, putusan adalah mulutnya. Sehingga seharusnya Sarpin memang dinilai tidak perlu berlebihan bereaksi terhadap publik yang mengomentari putusannya.

"Saya pikir ke depan kalau ada reaksi publik terhadap suatu putusan pengadilan, tidak usah meresponnya reaktif. Biasa saja. Tidak usah berlebihan. Biarkan masyarakat melakukan penilaian terhadap putusan yang dihasilkan bisa melalui eksaminasi. Dalam kasus ini, pengadilan harus proaktif untuk perkara yang menarik perhatian masyarakat, putusan harus segera dipublish. Jadi publik bisa membacanya dengan lebih baik dan jernih," ujar Anggara.

Selanjutnya, pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Teuku Nasrullah menuturkan ketika Sarpin memberikan respons dengan melapor pada kepolisian bahwa tidak kuat lagi menerima komentar terhadap dirinya. Menurutnya, Sarpin tidak masalah ketika putusannya dikomentari, tapi Ia menilai Sarpin mempermasalahkan tuduhan negatif atau makian orang yang ditujukan secara personal.

"Dia ambil hukum itu sudah benar. Apa dia tidak boleh memperjuangkan martabatnya? Jadi apa yang dilakukan KY tidak tepat. Seharusnya KY tidak ambil sikap itu karena menimbulkan ketegangan yang lebih luas lagi antara Sarpin dengan KY. Kecuali ditemukan fakta pelanggaran yang dilakukan Sarpin dalam ambil putusan, kalau ada ambil jalur hukum. Tapi jangan hancurkan kredibilitas hakim tersebut karena dia punya argumentasi hukum yang bahkan sudah dibenarkan Mahkamah Konstitusi," ujar Teuku pada Gresnews.com.

Lalu Muzakkir menambahkan seharusnya KY juga bertindak yang sama untuk tidak berlebihan di hadapan publik. Menurutnya, KY sudah berlebihan di hadapan publik bahkan sebelum mengadili praperadilan Sarpin. Contohnya, keburukan atau teguran pada Sarpin disampaikan pada publik sebelum mengadilan praperadilan Komjen Budi Gunawan.

"Reaksi yang berlebihan bergantung pada aksinya berlebihan atau tidak. Lalu ada laporan dari orang apakah hakim harus diperiksa? Mestinya pada saat melaporkan harus ada bukti yang cukup untuk mendasarkan perkara itu diterima atau tidak. Sehingga seorang hakim tidak bisa diproses hanya karena laporan," ujar Muzakkir saat dihubungi gresnews.com, Rabu (1/7).

KY dalam memanggil hakim yang diperiksa menurutnya juga harus berdasarkan bukti-bukti yang dinilai terlebih dahulu. Kalau bukti belum dinilai lalu hakim sudah dipanggil maka KY berubah fungsi yang seharusnya menjaga kehormatan hakim, malah menyerang kehormatan hakim. Sehingga KY harus bijaksana dalam hal ini.

PERDEBATAN GRATIFIKASI JASA KUASA HUKUM - Persoalan gratifikasi menjadi salah satu pertimbangan KY dalam vonis non palu 6 bulan terhadap Sarpin. Komisioner KY Imam menjelaskan soal gratifikasi dianggap melanggar poin kejujuran karena hakim atau keluarganya tidak boleh menerima pemberian berupa uang, barang dan jasa. Menurutnya bantuan hukum dari advokat merupakan jasa. "Karena KY sudah panggil tapi tidak ada klarifikasi. Kecuali datang dan dijelaskan tidak masalah. Jadi yang salah bukan memberi tapi yang menerima yang tidak boleh," ujar Imam.

Dalam Keputusan bersama Ketua MA dan KY tentang Pedoman Kode Etik dan Perilaku Hakim (KEPPH) Nomor 2 tercantum ketentuan hakim wajib berperilaku jujur. Dalam poin tersebut hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri hakim, orangtua, anak atau anggota keluarga hakim lain untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut, orang yang sedang diadili, pihak lain kemungkinan kuat akan diadili, dan pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara.

Menanggapi hal ini, peneliti ICJR Anggara mengatakan hakim sebagai pejabat negara sebenarnya bisa menggunakan jaksa pengacara negara yang seharusnya digunakan terlebih dahulu daripada menggunakan jasa advokat lain. Tapi ia enggan mengomentari lebih lanjut lantaran saat melaporkan Komisioner KY, Sarpin bertindak secara personal.

"Itu yang saya tidak mampu mengerti apakah itu dibenarkan atau tidak melaporkan secara personal. Sebab jika status hakimnya melekat sebagai jabatan maka sebaiknya menggunakan jasa pengacara negara ketimbang menggunakan advokat umumnya," ujar Anggara pada gresnews.com, Rabu (1/7).

Lalu Teuku Nasrullah juga mengatakan pemberian bantuan hukum secara gratis dari Hotma Sitompul terhadap Sarpin dikategorikan gratifikasi dianggap keliru. Sebab ketika ada seseorang yang tidak sanggup membayar pengacara lalu ada yang memberikannya secara cuma-cuma maka tidak dapat dianggap gratifikasi.

"Misalnya hakim Artidjo Alkostar atau komisioner KY, beliau itu kan tidak punya uang saking jujurnya. Ada masalah. Tiba-tiba ada pengacara yang memberikan jasa hukum cuma-cuma karena punya kepedulian terhadap komitmen beliau dalam penegakan hukum lalu dianggap gratifikasi. Itu keliru. Ada dasarnya dalam UU Bantuan Hukum dan Pasal 56 KUHAP," ujar Teuku.

Selanjutnya Muzakkir menuturkan soal gratifikasi hakim belum mempelajari secara mendalam apakah hakim yang melaporkan seseorang didampingi advokat bisa dikatakan sebagai gratifikasi atau tidak. "Apakah dia cukup datang sendiri ke pengadilan atau tidak didampingi penasihat hukum. Kalau penasihat hukum boleh mendampingi syaratnya penasihat yang seperti apa. Apakah kalau pernah berperkara dengan yang bersangkutan tidak boleh misalnya," ujar Muzakkir.

Ia menambahkan kalau hakim yang bersangkutan meminta nasihat pada penasihat hukum tertentu lalu ada perkara, hakim bersangkutan memang seharusnya tidak mengadili perkara tersebut karena bisa ada konflik kepentingan. Tapi ketika ada pendampingan dan tidak ada perkara yang ditangani hakim tersebut maka tidak ada konflik kepentingan.

BACA JUGA: