JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rencana pemerintah yang berniat menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu melalui cara tunggal lewat rekonsiliasi menuai kritik. Pemerintah diminta tak hanya memilih cara rekonsiliasi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu itu. Namun kasus pelangaran HAM itu diselesaikan dengan melihat kasus perkasus.

Selagi ada kasus yang bisa diproses hukum, pemerintah seharusnya tidak menyamaratakan menjadi rekonsiliasi. Penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu ini dianggap penting agar kasus ini tidak terus menerus menjadi ‘komoditas’ politik.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan pada pemilu presiden 2014 jelas terlihat persoalan HAM menjadi bagian integral dari politik nasional. Sehingga wajar ketika setiap kali ada momen politik tertentu isu HAM juga akan mencuat.

Dalam konteks penyelesaian, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu itu saat ini telah menjadi bagian dari agenda resmi kenegaraan pemerintahan. Penuntasan HAM diantaranya tercantum dalam nawacita visi misi pemerintahan terpilih saat ini.

Kedua, terdapat klausul dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang secara tegas menyebutkan bahwa pemerintah akan selesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dengan pembentukan komite adhoc kepresidenan untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Berkaca pada pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun, belum ada satu pun agenda penyelesaian pelanggaran HAM berat. Sehingga pemerintahan saat ini yang telah bertekad untuk menyelesaikan kasus HAM itu, harus segera mengambil momen dan melakukan langkah-langkah khusus untuk menuntaskannya.

Selain kasus 1998, salah satu kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dinilai pelik, adalah terkait pembantaian kader Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang dituduh PKI pada 1965. Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) Bejo Untung menuturkan sudah 50 tahun berlalu sejak kejadian 1965, tapi negara belum juga menyelesaikannya.

Kini ada wacana dari Kejaksaan Agung dan Komnas HAM untuk penyelesaian pelanggaran HAM. Ia pun menyambut baik niat kedua lembaga. Apalagi juga ada wacana Presiden Jokowi akan meminta maaf pada korban pembantaian 1965.

"Tapi yang menjadi persoalan permintaan maafnya bagaimana. Kalau maaf-maafannya semacam halal bihalal saya tidak terima. Jadi harus ada tindak lanjutnya lagi," ujar Bejo dihubungi gresnews.com, Selasa (28/7).

Ia menambahkan inisiatif negara yang akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu sebenarnya sangat positif dan harus didukung. Tapi ia menuntut negara juga memperhatikan soal rehabilitasi korban pelanggaran HAM. Ia sempat mengusulkan agar dikeluarkan Keppres rehabilitasi. Rehabilitasi dinilai penting,  karena korban pelanggaran HAM khususnya kasus 1965 selalu mendapatkan stigma yang dipersalahkan.

"Padahal kami tidak melakukan apa-apa. Kami tidak melakukan pemberontakan. Tapi kami ditangkap dan dipenjarakan," lanjutnya.

MEKANISME PENUNTASAN DIMINTA TIDAK TUNGGAL - Bejo menuturkan dirinya sudah melakukan berbagai upaya agar ada penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menimpanya dan korban lainnya. Namun desakan penuntasan hukum seperti dilakukan pada masa rezim Presiden Soeharto itu gagal,  lantaran kekuasaannya terlalu besar.

Lalu YPKP 65 juga pernah melakukan judicial review Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C. Keppres tersebut berisi aturan yang menghalangi pemberian hak pensiun bagi orang yang diduga terkait PKI dan masuk golongan C. Atas gugatan tersebut, MA pun membatalkan Keppres.

Upaya penegakan hukum lainnya dilakukan oleh Komnas HAM untuk menyelidiki perihal pelanggaran HAM masa lalu. Hanya saja, upaya yang dilakukan Komnas HAM pun kembali sia-sia lantaran kejaksaan selalu mengembalikan berkas penyelidikan dengan alasan belum lengkap.

Hingga akhirnya Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung berinisiatif untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan jalur rekonsiliasi dengan cara non yudisial. Selebihnya belum ada lagi kemajuan positif untuk korban pelanggaran HAM 1965.

Menurutnya, dari pihak pemerintah yang cukup gigih hanya Komnas HAM yang telah melakukan penyelidikan atas kasus 1965. Bahwa dari hasil penyelidikan itu diduga ada keterlibatan penguasa saat itu. Diantaranya ada keterlibatan Kamtib, Kodim, dan Koramil yang doiduga ikut melakukan kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965. Sehingga perlu dibentuk pengadilan HAM adhoc untuk mengadili para ‘penjahat’ HAM tersebut. Ketika tidak diadili dikhawatirkan ada pengulangan di masa yang akan datang.

"Upaya dari lainnya belum ada, panglima TNI, Polri belum ada," tuturnya.  

YPKP sendiri menurut Bejo, tidak menolak cara penyelesaian non yudisial. Tapi ia berharap proses non yudisial tidak menghilangkan proses hukum. Kalaupun ada rekonsiliasi harus ada tahapannya yaitu ada pengungkapan kebenaran untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebab tanpa mengetahui pelaku dan korban akan menjadi tidak jelas soal apa yang harus direkonsiliasikan.

Menurutnya perlu ada pengungkapan kebenaran melalui Keppres rehabilitasi untuk memanggil semua korban dimintai keterangan dan memanggil para pelaku. Lalu dipertemukan dan negara minta maaf. Permintaan maaf Jokowi saya sambut dan itu merupakan pintu masuk penyelesaian.

Sementara Wahyudi juga berpendapat penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak hanya dapat ditempuh melalui rekonsiliasi. Tapi terdapat berbagai macam metode penyelesaian. Komite adhoc semestinya bisa melakukan penelaahan kira-kira akan menggunakan jalur apa saja. Sebab tidak ada jalan tunggal dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Jalan lain penuntasan kasus pelanggaran HAM selain rekonsiliasi, misalnya pengungkapan kebenaran, ada proses akuntabilitas hukum di pengadilan, dan pemulihan bagi korban. Cara-cara penuntasan kasus pelanggaran HAM harus dilihat berdasarkan kasus per kasus. Sebab tidak semua kasus bisa dibawa ke pengadilan. Misalnya ada kasus yang bisa diselesaikan dengan  pengungkapan kebenaran  dan rekonsiliasi.

Lalu perlu ditelaah juga mana saja kasus pelanggaran HAM yang bisa diselesaikan di pengadilan. Menurutnya, penelaahan ini diperlukan agar kasus pelanggaran HAM tidak terus menerus menjadi komoditas politik atau hanya diperbincangkan dalam momen-momen tertentu. Padahal belum ada satupun upaya terhadap pemulihan hak korban.

Untuk itu pemerintah, harus berkomitmen untuk merujuk pada visi misi nawacita dan RPJMN agar penuntasan pelanggaran HAM bisa diselesaikan pada masa pemerintahan saat ini.

Elsam sendiri mendorong komite kepresidenan untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Dalam komite tersebut tidak ada embel-embel penyebutan rekonsiliasi atau pengungkapan kebenaran. Sebab komite ini diharapkan bisa memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus tertentu yang bisa dibawa ke pengadilan.

Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang bisa dibawa ke pengadilan adalah kasus penghilangan paksa tragedi Mei 1998. Kasus tersebut secara teknis hukum menurutnya memenuhi syarat untuk dibawa ke pengadilan. Lalu ada juga rekomendasi DPR untuk kasus tersebut agar dibentuk pengadilan HAM adhoc.

Lalu untuk kasus tertentu yang tidak memungkinkan dibawa ke pengadilan maka bisa dilakukan pengungkapan kebenaran dan dilanjutkan rekonsiliasi. Sehingga ada pembedaan untuk kasus per kasus. Selanjutnya, komite tersebut juga harus memikirkan bagaimana mekanisme pemulihan  dan proses integrasi sosial korban-korban.

REHABILITASI DAN KOMPENSASI KORBAN - Wahyudi mengatakan selama puluhan tahun, korban pelanggaran HAM berat mengalami stigma dan diskriminasi yang mengakibatkan adanya proses pemisahan korban dari warga negara pada umumnya. Sehingga harus dipikirkan proses reintegrasi sosial para korban.

Atas dasar itu tidak bisa komite ini disebut sebagai komite rekonsiliasi. Sebab ia menekankan kembali bahwa tidak ada jalan tunggal penyelesaian penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Sehingga ada banyak jalan yang bisa dilalui untuk menyelesaikan hutang kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Menurut Wahyudi mekanisme melalui pengadilan memang dianggap berat baik proses pidana di pengadilan HAM maupun proses keperdataannya. Sebab pengalihan aset yang terjadi di masa lalu terjadi secara masif. Ia mencontohkan dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965, ada banyak pengambilalihan tanah dan properti. Baik oleh militer maupun oleh kelompok tertentu terhadap aset yang dimilliki orang yang dituduh komunis.

Dianggap berat proses perdatanya karena nantinya akan ada identifikasi kepemilikan aset untuk proses pengembalian. Lalu terkait dengan proses pidana, sebagai hasil dari komite penyelidik pelanggaran HAM yang ditunjuk Komnas HAM, sudah dilakukan sesuai ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta sudah dilimpahkan ke kejaksaan agung.

Dalam konteks ini, kejaksaan agung juga tidak bisa secara serta merta melewatkan seluruh proses yang harus dilalui. Sebab ini bagian dari mandat UU. Sehingga tinggal bagaimana jaksa agung menindaklanjuti dengan penyidikan.
Kalau dalam proses penyidikan tidak dimungkinkan melalui proses pengadilan, maka tinggal dikeluarkan Surat Pemberhentian Penyidikan (SP3) dalam penyelidikannya untuk menghentikannya. Kecuali untuk kasus yang terang benderang seperti penghilangan paksa 1998, rekomendasi DPR sudah keluar agar dibentuk pengadilan HAM.

Menurutnya tidak bisa proses hukum dilakukan sesuai mandat UU dan tiba-tiba dihentikan begitu saja dan diganti dengan mekanisme yang lain. UU Pengadilan HAM sendiri Pasal 47 disebutkan kalau tidak mungkin melalui pengadilan HAM maka bisa diselesaikan melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tapi catatannya harus dibereskan dulu proses hukumnya dari tujuh kasus yang sudah diselidiki Komnas HAM.

Tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu itu diantaranya peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talang Sari di Lampung pada 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, serta peristiwa Wasior dan Wamena 2003.

"Rekonsiliasi bukan jalan terakhir, tapi salah satu jalan yang disediakan. Sehingga tidak bisa pilihannya kita hanya akan ambil rekonsiliasi. Karena kompleksitas kejahatan di masa lalu yang tidak bisa diselesaikan dengan hanya satu jalan. Prinsip non repetisi untuk mencegah keberulangan juga harus dipikirkan," lanjut  Wahyudi.

Sementara Bejo menuturkan ketika ia dibebaskan secara massal pada 1979, ia menilai hal tersebut hanya sebagai pembebasan semu. Sebab ia hanya dipulangkan dan diberikan surat tidak terlibat gerakan 30 September 1965. Malahan sewaktu-waktu akan dipanggil lagi. Jadi sama sekali tidak ada rehabilitasi ataupun kompensasi sama sekali dari negara. Sehingga meskipun dibebaskan ia merasa tetap seperti di dalam tahanan.

Bejo menjelaskan pembebasan massal tersebut memang dilakukan karena pemerintah Indonesia saat itu ditekan komunitas internasional. Indonesia tidak akan mendapat bantuan modal asing ketika tidak membebaskan tahanan politik. Pihak pemerintahan saat ini pun tak ada yang mendatangi korban pelanggaran HAM 1965 untuk menawarkan rehabilitasi apalagi kompensasi. Presiden Jokowi dengan komitmen nawacitanya ingin menyelesaikannya. Sehingga ia pun menunggu implementasi janji tersebut.

BACA JUGA: